Mengungkap praktik joki skripsi di perguruan tinggi

id joki skripsi,pendidikan tinggi,perguruan tinggi,prof dr cecep darmawan,praktik Oleh FB Anggoro

Mengungkap praktik joki skripsi di perguruan tinggi

Ilustrasi. Lulusan program doktor, pascasarjana, dan sarjana sebuah perguruan tinggi mengikuti wisuda. ANTARA/Irwansyah Putra

Banda Aceh (ANTARA) - Pertahanan nurani mahasiswa semester 10 itu akhirnya runtuh juga ketika melihat seorang temannya yang menggunakan jasa joki skripsi bisa wisuda duluan, sedangkan ia sudah menggarap skripsi selama 3 semester namun tidak kunjung kelar pula.

"Awalnya saya optimistis untuk jujur, tapi karena kalah dari kawan itu, saya jadi cemburu," kata mahasiswa yang menggunakan joki skripsi kepada ANTARA di Banda Aceh pada akhir Juli 2024.

Ia meminta namanya dirahasiakan karena tinggal menunggu jadwal wisuda dari sebuah perguruan tinggi di Provinsi Aceh. Pengaruh lingkungan menjadi salah satu faktor dirinya menggunakan joki skripsi, ditambah lagi karena faktor ketidakmampuan dan redupnya motivasi.

Selain itu, joki skripsi juga menggunakan kecanggihan teknologi untuk menawarkan jasanya dengan menyebar poster digital ke grup Whatsapp dan membuat akun Instagram. Joki dan pemesan jasa tidak harus bertatap muka, cukup dengan mengirim foto koreksi skripsi dan rekaman suara dosen pembimbing, maka si joki bisa bekerja dari jarak jauh.

"Saya tidak pernah bertemu (langsung) dengan jokinya karena katanya dia sudah di Yogyakarta untuk lanjut studi S-2," kata mahasiswa itu yang mengaku merogoh kocek Rp900 ribu untuk menggarap 65 persen skripsinya.

Mahasiswa tersebut akhirnya bisa lulus sidang skripsi dengan nilai 86 atau setara A minus.


Pergeseran nilai sosial

Joki skripsi sebenarnya bukan hal baru di dunia pendidikan tinggi di negeri ini. Mereka bekerja secara transaksional untuk membantu membuat skripsi sesuai pesanan untuk orang lain sebagai penulis hantu (ghost writer), yang rela namanya untuk tidak ditulis di karya ilmiah.

Jika seseorang mengetik tagar #jokiskripsi di pencarian media sosial Instagram, maka bisa segera melihat ratusan ribu unggahan yang memenuhi layar gawai tentang perjokian intelektual tersebut.

Unggahan penyedia jasa joki yang menjajakan pembuatan tugas, skripsi, hingga tesis, terpampang secara eksplisit. Tampilannya disusun dengan bahasa marketing yang memikat, desain yang apik, bahkan ada yang detail mencantumkan tarifnya.

Bagi mahasiswa yang kuliah pada era akhir 1990-an dan awal milenium, joki skripsi pada masa itu seperti kentut yang terasa bau tapi tidak mudah mencari pelakunya. Sekarang ini joki skripsi telah memanfaatkan kecanggihan teknologi, dan dampaknya bisa mengarahkan pada pergeseran nilai sosial di masyarakat dalam memandang mereka jadi kenormalan baru atau new normal.

Kemajuan teknologi memang bagai dua sisi mata uang ketika praktik joki skripsi makin tanpa tedeng aling-aling sehingga mudah diakses pengguna media sosial, yang notabene lebih banyak generasi muda. Karena sering terpapar dengan informasi yang membanjiri gawai mereka, praktik perjokian dikhawatirkan sudah dianggap jadi hal yang biasa dalam sistem perguruan tinggi.

"Ini sih gila, saya enggak pernah berani buka-bukaan tawarkan seperti itu," kata Kirana, yang mengaku pernah menjadi joki skripsi dan tesis selama 2 tahun di sebuah perguruan tinggi ternama di Jakarta Pusat, ketika dihubungi ANTARA dari Banda Aceh.

Kirana menyatakan dahulu joki skripsi menawarkan jasa dari mulut ke mulut. Ia pun tidak menampik ada praktik perjokian yang dilakukan orang di dalam kampus karena saat itu ia adalah asisten dosen di kampusnya.

Yang paling banyak ia bantu merupakan teman seangkatannya untuk jenjang pendidikan magister. Mereka bukan tidak bisa buat tesis, tapi karena tidak ada waktu akibat kesibukan kerja mereka.

"Apakah dengan saya bantu menyusun tesis mereka dianggap tidak qualified memimpin? Saya rasa tidak karena mereka memang sibuk dengan pekerjaan. Karena, mereka ada yang sudah jadi bupati, petinggi partai politik, dan manajer kantor cabang bank," ujarnya.


Area abu-abu

Praktik perjokian bermain di area abu-abu dalam sistem pendidikan nasional sehingga belum menimbulkan efek jera. Yang terjadi, justru gerakannya makin canggih seiring perkembangan digitalisasi. Undang-Undang (UU) No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tidak secara gamblang mengatur sanksi bagi penyedia jasa joki.

UU Sisdiknas di dalamnya mengatur hukum bagi lulusan perguruan tinggi yang karya ilmiahnya digunakan untuk memperoleh gelar akademik, profesi, atau vokasi, terbukti merupakan jiplakan dicabut gelarnya (Pasal 25 ayat 2). Sanksi bagi lulusan yang terbukti karya ilmiahnya merupakan jiplakan, adalah pidana penjara paling lama dua tahun dan atau denda maksimal Rp200 juta (Pasal 70). Namun, tidak dijelaskan penjiplakan itu seperti apa.

Aktivitas perjokian karya ilmiah juga melanggar UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang mana regulasi tersebut menyebutkan pendidikan tinggi harus berasaskan kejujuran (Pasal 3).

Berselang 18 tahun setelah UU Sisdiknas terbitlah Peraturan Mendikbud No. 39 tahun 2021 tentang Integritas Akademik dalam Menghasilkan Karya Ilmiah, yang lebih rinci menjelaskan bentuk pelanggaran terhadap prinsip moral dalam lingkungan akademik. Pasal 9 menyebutkan pelanggaran tersebut, antara lain fabrikasi, falsifikasi, plagiat, kepengarangan yang tidak sah, konflik kepentingan, dan pengajuan jamak.

Hasil dari perjokian skripsi dan karya ilmiah lainnya bisa dikategorikan sebagai plagiat karena mengambil sebagian/seluruh karya orang lain tanpa menyebut sumber secara tepat, menulis ulang tanpa menggunakan bahasa sendiri walau menyebut sumber, dan mengambil sebagian atau seluruh karya atau gagasan milik sendiri yang telah diterbitkan tanpa menyebut sumber secara tepat.

Kepengarangan yang tidak sah paling dekat untuk mengategorikan perjokian karya ilmiah, terutama pada penjelasan berupa menyuruh orang lain membuat karya sebagai karyanya tanpa memberikan kontribusi.

Adapun perjokian yang melibatkan internal kampus seperti dosen dan atau asisten dosen, bisa dikategorikan pelanggaran konflik kepentingan karena merupakan perbuatan menghasilkan karya ilmiah yang mengikuti keinginan untuk menguntungkan pihak tertentu.

Namun, Permendikbud No. 39/2021 mengarahkan pada mekanisme penyelesaian pelanggaran secara internal di perguruan tinggi. Pemeriksaan dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh senat perguruan tinggi (Pasal 15 ayat 2). Tim itu memberikan rekomendasi sanksi yang akan diambil oleh pemimpin perguruan tinggi.

Sanksinya juga bukan pidana, melainkan sanksi administratif bagi pelaku dari sivitas akademika, yakni pemimpin perguruan tinggi, dosen, dan mahasiswa. Penyedia jasa atau joki karya ilmiah tidak disentuh seluruhnya oleh aturan tersebut.

Bagi pelaku yang merupakan pemimpin perguruan tinggi, sanksi administratifnya yakni pemberhentian secara tidak hormat dari jabatannya (Pasal 16), sedangkan bagi mahasiswa yang terbukti melakukan pelanggaran, dikenakan sanksi administratif berupa pengurangan nilai atas karya ilmiah, penundaan dan atau pembatalan pemberian sebagian hak mahasiswa, pembatalan nilai satu atau beberapa mata kuliah, pemberhentian dari status mahasiswa, atau pembatalan ijazah, sertifikat kompetensi, atau sertifikat profesi (Pasal 17).

Pelaku perjokian yang dilakukan dosen sanksinya juga hanya administratif berupa penundaan kenaikan jabatan akademik maksimal 3 tahun, penurunan jabatan akademik satu tingkat, dan atau pemberhentian dari jabatan dosen (Pasal 17).

Penyelesaian pelanggaran integritas akademik secara internal disinyalir kurang efektif untuk memberantas perjokian di perguruan tinggi apabila ada konflik kepentingan yang terlalu kuat, dan apabila perguruan tinggi ingin mencetak sebanyak-banyaknya lulusan untuk meraih atau mempertahankan akreditasinya. Sebabnya, jumlah mahasiswa tidak lulus (drop out) yang tinggi bisa menurunkan akreditasi sebuah perguruan tinggi.

Penyedia jasa kini juga semakin lihai sehingga sulit untuk mendeteksi penjiplakan atau plagiarisme di karya ilmiah. Seorang joki karya ilmiah di Banda Aceh yang ingin identitasnya dirahasiakan mengungkapkan bahwa bekerja dengan menggabungkan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dan kemampuan parafrase untuk menulis ulang suatu teks tanpa kehilangan makna aslinya.

Dengan begitu, karya ilmiah yang dihasilkan tidak bisa dideteksi sebagai copy paste atau plagiat karya orang lain. Dalam sebuah karya ilmiah yang dihasilkan, rata-rata ia berkontribusi sekitar 90 persen, sedangkan sisa 10 persen adalah kontribusi pemesan dan biasanya hanya dalam bentuk ide.

"Ini hasilnya dibuktikan dari turnitin, yakni alat untuk mendeteksi plagiarisme. Saya berbeda dengan joki lain yang copy paste," ujarnya dengan yakin karya ilmiah yang dibantunya bebas dari plagiarisme.

Ini artinya, semakin sulit untuk mengidentifikasi karya ilmiah apakah murni karya satu orang atau ada keterlibatan joki. Cara deteksi yang masih bisa efektif adalah kejelian dari dosen pembimbing dan dosen penguji karya ilmiah itu sendiri.

Kemajuan digitalisasi tanpa dibarengi penguatan regulasi dan etika, akan membuat perjokian dan pelanggaran integritas akademik lainnya makin tumbuh subur. Selain itu, apakah skripsi masih relevan sebagai syarat kelulusan mahasiswa?

Pemerhati pendidikan Prof. Cecep Darmawan menyetujui hal tersebut, bahwa pihak perguruan tinggi adalah salah satu aktor penting untuk mencegah dan memberantas pelanggaran integritas akademik yang mencederai dunia pendidikan nasional. Walaupun karya ilmiah buatan joki itu bisa bebas dari plagiarisme, ia menyebutnya sebagai bentuk penggunaan jasa akademik secara curang.

Praktik perjokian akan terus ada selama masih ada mahasiswa malas yang mencari jalan pintas, dan di sisi lain penyedia jasa merasa diuntungkan dari segi finansial.

"Sekarang tinggal kekuatan dosen pembimbingnya bagaimana, periksa enggak, teliti enggak? Kalau enggak teliti akhirnya dibohongi mahasiswanya," kata guru besar Universitas Pendidikan Indonesia ini.

Sebuah kampus juga salah apabila "tutup mata" terhadap praktik perjokian karya ilmiah demi menyelamatkan akreditasi semata. Sebabnya, kementerian juga tidak memaksakan mahasiswa mengerjakan skripsi sebagai tugas akhir.

Apa yang dimaksud Cecep Darmawan sebenarnya tertuang dalam Permendikbudristek No. 53 tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Dalam regulasi itu dituliskan bahwa tugas akhir program studi sarjana dan magister tidak hanya dalam bentuk tesis, tetapi juga bisa berbentuk prototipe, proyek, atau bentuk tugas akhir lainnya yang dapat menunjukkan ketercapaian kompetensi kelulusan.

Seharusnya kampus, melalui dosen pembimbingnya, melihat kemampuan mahasiswa. Kalau tidak mampu skripsi, ujar Ceceo, bisa diarahkan dalam bentuk lain, misalnya, membuat prototipe atau yang lain yang memungkinkan mahasiswa mengerjakan dan dibimbing langsung oleh dosennya.

Hal senada juga diutarakan oleh pengamat pendidikan Indra Charismiadji, bahwa dirinya lulus dari perguruan tinggi di Amerika Serikat pada tahun 1998 tidak menggunakan skripsi untuk jenjang S-1. Ini artinya Direktorat Pendidikan Tinggi memang harus merevisi dan merestorasi sistem pendidikan nasional, karena ada hal yang secara fundamental keliru dan akan berdampak di masa depan.

Dengan munculnya fenomena joki karya ilmiah yang buka-bukaan di media sosial, masyarakat umum sudah tahu ada praktik perjokian dan pelanggaran lainnya di dalam institusi pendidikan. Lalu apakah masuk akal jika perguruan tinggi mengaku tidak tahu hal itu telah terjadi di dalam pagarnya?

Kemenristek Dikti tidak boleh mendiamkan lembaga pendidikan yang seharusnya jadi tempat menuntut ilmu, mengembangkan ilmu pengetahuan, dan pengembangan diri, malah berubah jadi tempat sekadar mencari stempel kelulusan.

"Misalkan insinyur sipil yang dipercaya membangun jembatan tapi dia lulus pakai joki. Potensi jembatan ambruk besar terjadi karena dia tidak menguasai ilmunya. Itu yang enggak pernah dipikirkan, padahal semua tindakan ada konsekuensinya," katanya.

Direktur Jenderal Dikti Abdul Haris ketika dihubungi belum membalas permintaan wawancara yang dikirimkan ANTARA melalui pesan singkat dan telepon.

Meski demikian, pada publikasi di website resmi Kemdikbudristek yang diterbitkan pada 3 Agustus 2024, Abdul Haris menekankan pentingnya peran pimpinan perguruan tinggi dalam menghadapi tantangan pendidikan tinggi di Indonesia. Pemimpin perguruan tinggi harus mampu memberikan solusi atas tiga hal, yakni masalah ketimpangan akses, ketimpangan kualitas, dan relevansi.

Ketimpangan kualitas juga menjadi hal yang harus diperbaiki. Implementasi kebijakan seperti Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi atau kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) tidak bisa diterapkan secara merata di semua perguruan tinggi karena perbedaan karakteristik masing-masing kampus.

Untuk itu, ia menekankan perlunya standar kualitas yang sesuai dengan kondisi setiap universitas, baik dari segi infrastruktur (hardware), sumber daya manusia (humanware), maupun jaringan (netware).

Relevansi pendidikan tinggi terhadap kebutuhan masyarakat juga menjadi tantangan tersendiri. "Relevansi itu terkait produk dan outcome yang harus dimiliki perguruan tinggi. Pertama, relevansi dari sisi kelulusan. Kemudian, yang kedua dari sisi produk dari riset dan inovasi," katanya.

Agar pelanggaran tidak bertambah liar, sudah saatnya lembaga pendidikan tinggi lebih cermat menelaah setiap karya ilmiah, termasuk skripsi.

Apa pun, perguruan tinggi ikut bertanggung jawab dalam membentuk kualitas dan integritas setiap lulusannya.