Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi I DPR RI Christina Aryani menjelaskan langkah-langkah yang dapat dilakukan para korban untuk melaporkan kekerasan berbasis gender online (KBGO). "Yang pertama, blokir kontak pelakunya. Jangan pernah sungkan untuk memblokir kontak seseorang, karena sekarang ini orang jahat di luar sana banyak sekali. Kita tidak tahu, kita berhadapan dengan orang yang seperti apa," kata Christina dalam webinar "Lindungi Ruang Digital dari KBGO", seperti dipantau di Jakarta, Kamis.

Langkah berikutnya, lanjutnya, para korban perlu mendokumentasikan semua hal secara detail untuk mendukung pelaporan dan pengusutan ke pihak berwenang. Kemudian, korban perlu memantau situasi yang dihadapi untuk mencari tahu apakah bisa menghadapi sendirian atau ada ancaman dari pelaku. Selanjutnya, tambahnya, korban juga harus mengakses bantuan pendampingan ke individu, lembaga, atau institusi terpercaya.

Christina juga menyebutkan beberapa kanal pengaduan yang dapat diakses oleh korban KBGO, antara lain Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (kontak: 129), Komnas Perempuan (021-3903963), Task Force KBGO (linktr.ee/taskforcekbgo), Awas KBGO (awaskbgo.id/layanan), dan LBH APIK (081288822669).

Sebagaimana dirumuskan oleh Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), KBGO adalah kekerasan langsung pada seseorang yang didasarkan pada seksualitas atau jenis kelaminnya dan difasilitasi teknologi.

Dia menjelaskan suatu perbuatan tergolong sebagai KBGO apabila pelaku memiliki motif untuk menyerang seksualitas atau jenis kelamin penyintas. Apabila tidak, lanjutnya, maka tindakan itu tergolong kekerasan umum di ranah digital.

Dia mengatakan hukuman pidana bagi para pelaku KBGO telah diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan disebut sebagai kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE). Di dalam UU TPKS disebutkan bahwa pelaku KBGO atau KSBE dapat dipidana penjara maksimal empat tahun dan denda paling banyak Rp200 juta.

Salah satu bentuk KBGO adalah grooming atau love scam, yakni pelaku melibatkan perasaan dengan pura-pura bersikap romantis dan mencintai korban dengan niat melakukan penipuan.

Selanjutnya, sexting, yaitu KBGO yang berbentuk tindakan pengiriman foto alat kelamin atau ujaran-ujaran tidak senonoh. Kemudian, revenge porn atau penyebaran konten intim korban atas dasar ketidaksukaan pelaku terhadap perbuatan korban. Lalu ada sextortion, yaitu penyebaran konten intim dengan tujuan pemerasan. "Yang terakhir adalah cyber-harassing, yaitu membanjiri akun korban dengan komentar yang mengganggu, mengancam, atau menakut-nakuti korban untuk tujuan atau keinginan seksual," jelasnya.

Baca juga: DPR dorong Pemilu 2024 optimalkan pemanfaatan ruang digital
Baca juga: Anggota DPR RI minta pemerintah fokus lindungi WNI di Taiwan

Terkait jumlah aduan kasus KBGO yang dialami masyarakat Indonesia, Christina merujuk data Komnas Perempuan yang mencatat sebanyak 1.721 kasus pada tahun 2021. Kelompok korban paling rentan dalam KGBO ialah perempuan dan anak-anak, meski tidak menutup kemungkinan laki-laki juga bisa menjadi korban.

Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) Tahun 2021, prevalensi KBGO tertinggi di Indonesia, baik selama hidup maupun setahun terakhir, berada pada kelompok usia 15 sampai dengan 19 tahun.

Oleh karena itu, dia mengimbau masyarakat untuk mengedukasi orang-orang terdekatnya mengenai bahaya KBGO, termasuk bentuk-bentuk KBGO yang harus diwaspadai.

"Mungkin, teman-teman ada yang masih masuk ke dalam kelompok usia ini, masih berusia 19 tahun atau mempunyai adik di rumah yang masih 15 tahun atau masih kecil. Ini boleh dibagikan agar mereka mengetahui hal ini. Ini menjadi tugas kita untuk memberitahukan dan menyadarkan orang-orang terdekat kita agar terhindar dari KBGO," ujarnya.



 

Pewarta : Tri Meilani Ameliya
Editor : I Komang Suparta
Copyright © ANTARA 2024