Mataram (ANTARA) - Mantan Bendahara Direktorat Shabara Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat, I Made Sudarmaya mengakui perbuatan telah mencatut 199 nama anggota Polri untuk pengajuan kredit di Bank Perkreditan Rakyat Cabang Batukliang, Kabupaten Lombok Tengah, yang mengakibatkan kerugian negara senilai Rp2,38 miliar.
"Saya pinjam nama anggota supaya dapat kredit," kata Sudarmaya saat hadir sebagai saksi kelima pada sidang perkara korupsi kredit fiktif BPR di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Mataram, Kamis (8/9) jelang tengah malam.
Dalam sidang yang dipimpin hakim ketua I Ketut Somanasa, saksi Sudarmaya yang memberikan kesaksian sekitar pukul 23.30 Wita itu turut menyampaikan bahwa dirinya mendapat kemudahan mencatut nama anggota Polri dengan memanfaatkan jabatan bendahara. "Kan setiap tahun ada perbaikan identitas, termasuk slip gaji anggota, saya punya (data)," ujarnya.
Peluang itu pun terbuka lebar setelah pimpinan BPR Cabang Batukliang datang ke Polda NTB untuk menawarkan kerja sama. Sudarmaya mengingat itu berlangsung pada tahun 2009. "Saat itu saya diberikan kemudahan pihak bank. Yang penting waktu itu administrasi terpenuhi," ucapnya.
Dengan mendapat kemudahan dari pihak bank, Sudarmaya mengaku menjalankan modus catut nama anggota Polri itu hingga tahun 2017. "Cara pengajuan kredit itu bertahap, tidak langsung jadi sekali mengajukan nama 199 anggota. Awalnya hanya empat hingga 10 nama, itu tiap bulan," kata pria yang kini bertugas di Polres Bima Kota.
Kemudian uang yang diterima dari hasil pencairan kredit tersebut digunakan Sudarmaya untuk biaya pinjaman ke anggota lain. "Uang cicilan kredit dari anggota, itu saya setorkan ke pihak bank. Semua saya lakukan atas dasar kemanusiaan kepada anggota yang memang butuh uang," ujarnya.
Modus kredit fiktif yang dijalankan Sudarmaya pun terungkap ketika salah satu anggota yang dicatut namanya pindah tugas ke Ditreskrimum Polda NTB. Saat itu, anggota tersebut akan mengambil rumah.
Korban pun melaporkan hal tersebut ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga dilakukan investigasi dan terungkap adanya pencatutan nama pada tahun 2016. "Saya dilaporkan dan sudah jalani (proses hukum). Kena pidana delapan bulan. Sudah selesai saya jalankan," kata Sudarmaya.
Saat kasus ini masuk Kejari Lombok Tengah, Sudarmaya mengaku pernah memberikan keterangan pada tahap penyidikan. Itu berlangsung tahun 2017. "Sudah pernah beberapa kali saya diperiksa penyidik. Tetapi, beberapa tahun belakangan ini saya tidak pernah hadir karena tugas di Polres Bima Kota," ujarnya.
Baca juga: 34 BPR Syariah Jatim Plus belajar pengelolaan perbankan di Kota Mataram
Baca juga: Jaksa gandeng Polda NTB hadirkan dalang korupsi BPR
Sudarmaya pun mengaku bahwa dua terdakwa tersebut tidak mengetahui modus pengajuan data fiktif tersebut. Kepada dua terdakwa, Agus dan Jauhari, dia mengenalnya tahun 2013. "Sebelumnya saya berurusan pencairan kredit dengan beberapa orang, tetapi saya lupa. Bukan dengan dua terdakwa. Mereka hanya melanjutkan tradisi yang sudah dijalankan pegawai bank sebelumnya," jelasnya.
Sudarmaya turut mengatakan bahwa alasan mengajukan kredit fiktif ke BPR Cabang Batukliang karena melihat sistem perbankan yang menurut dia tidak terlalu ketat. "Saya rasa sistem bank ini bobrok. Pencairan kredit pun bisa diantarkan ke rumah," kata Sudarmaya.
"Saya pinjam nama anggota supaya dapat kredit," kata Sudarmaya saat hadir sebagai saksi kelima pada sidang perkara korupsi kredit fiktif BPR di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Mataram, Kamis (8/9) jelang tengah malam.
Dalam sidang yang dipimpin hakim ketua I Ketut Somanasa, saksi Sudarmaya yang memberikan kesaksian sekitar pukul 23.30 Wita itu turut menyampaikan bahwa dirinya mendapat kemudahan mencatut nama anggota Polri dengan memanfaatkan jabatan bendahara. "Kan setiap tahun ada perbaikan identitas, termasuk slip gaji anggota, saya punya (data)," ujarnya.
Peluang itu pun terbuka lebar setelah pimpinan BPR Cabang Batukliang datang ke Polda NTB untuk menawarkan kerja sama. Sudarmaya mengingat itu berlangsung pada tahun 2009. "Saat itu saya diberikan kemudahan pihak bank. Yang penting waktu itu administrasi terpenuhi," ucapnya.
Dengan mendapat kemudahan dari pihak bank, Sudarmaya mengaku menjalankan modus catut nama anggota Polri itu hingga tahun 2017. "Cara pengajuan kredit itu bertahap, tidak langsung jadi sekali mengajukan nama 199 anggota. Awalnya hanya empat hingga 10 nama, itu tiap bulan," kata pria yang kini bertugas di Polres Bima Kota.
Kemudian uang yang diterima dari hasil pencairan kredit tersebut digunakan Sudarmaya untuk biaya pinjaman ke anggota lain. "Uang cicilan kredit dari anggota, itu saya setorkan ke pihak bank. Semua saya lakukan atas dasar kemanusiaan kepada anggota yang memang butuh uang," ujarnya.
Modus kredit fiktif yang dijalankan Sudarmaya pun terungkap ketika salah satu anggota yang dicatut namanya pindah tugas ke Ditreskrimum Polda NTB. Saat itu, anggota tersebut akan mengambil rumah.
Korban pun melaporkan hal tersebut ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga dilakukan investigasi dan terungkap adanya pencatutan nama pada tahun 2016. "Saya dilaporkan dan sudah jalani (proses hukum). Kena pidana delapan bulan. Sudah selesai saya jalankan," kata Sudarmaya.
Saat kasus ini masuk Kejari Lombok Tengah, Sudarmaya mengaku pernah memberikan keterangan pada tahap penyidikan. Itu berlangsung tahun 2017. "Sudah pernah beberapa kali saya diperiksa penyidik. Tetapi, beberapa tahun belakangan ini saya tidak pernah hadir karena tugas di Polres Bima Kota," ujarnya.
Baca juga: 34 BPR Syariah Jatim Plus belajar pengelolaan perbankan di Kota Mataram
Baca juga: Jaksa gandeng Polda NTB hadirkan dalang korupsi BPR
Sudarmaya pun mengaku bahwa dua terdakwa tersebut tidak mengetahui modus pengajuan data fiktif tersebut. Kepada dua terdakwa, Agus dan Jauhari, dia mengenalnya tahun 2013. "Sebelumnya saya berurusan pencairan kredit dengan beberapa orang, tetapi saya lupa. Bukan dengan dua terdakwa. Mereka hanya melanjutkan tradisi yang sudah dijalankan pegawai bank sebelumnya," jelasnya.
Sudarmaya turut mengatakan bahwa alasan mengajukan kredit fiktif ke BPR Cabang Batukliang karena melihat sistem perbankan yang menurut dia tidak terlalu ketat. "Saya rasa sistem bank ini bobrok. Pencairan kredit pun bisa diantarkan ke rumah," kata Sudarmaya.