Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto mengatakan bahwa target penurunan prevalensi stunting nasional menjadi 14 persen pada 2024 dapat tercapai apabila kemandirian keluarga di akar rumput terbentuk.
“Komisi XI DPR memandang bahwa stunting (dapat) selesai kalau ada kemandirian keluarga,” kata Edy yang hadir secara virtual dalam diskusi media di Jakarta, Selasa.
Kemandirian keluarga yang dimaksud yaitu keluarga di akar rumput mampu mengetahui masalah stunting, mampu mencari solusi terhadap penyelesaian stunting, serta yang terpenting mampu memanfaatkan sumber pangan lokal yang dimiliki keluarga untuk mengatasi stunting.
“Stunting itu hanya akan selesai kalau ada kemandirian di bidang kesehatan. Kalau bahasa saya, berdikari. Berdikari di bidang kesehatan. Jadi keluarga ini harus tahu betul, mampu mengetahui masalah, mampu mencari alternatif pemecahan masalahnya, dan mampu menggunakan resources yang dimiliki,” katanya.
Berdasarkan pengalamannya turun ke lapangan bersama mitra, Edy menilai bahwa sumber pangan yang dimiliki keluarga sebetulnya telah tersedia, tetapi masih banyak yang belum mampu memanfaatkan sumber dengan baik. Oleh sebab itu, menurut dia, edukasi dan pendampingan di akar rumput menjadi penting terutama oleh SDM puskesmas.
“Saya melihat bahwa layanan kesehatan primer, puskesmas jadi basis dan tenaga kesehatan di desa sebagai pemain itu menjadi kunci keberhasilan dalam intervensi spesifik,” ujarnya.
Dia menekankan pentingnya kementerian/lembaga melakukan program intervensi spesifik atau intervensi yang berhubungan langsung dengan penyebab terjadinya stunting di masyarakat, tidak saja intervensi sensitif, sehingga target penurunan stunting terwujud pada 2024.
Edy juga mengingatkan kepada kementerian/lembaga yang terlibat di dalam program penanganan stunting untuk menyeimbangkan antara intervensi sensitif dan intervensi spesifik sehingga anggaran bisa dimanfaatkan secara optimal untuk mencapai target.
“Kalau mau 2024 selesai, data peta keluarga dan persoalan stunting dengan penyebabnya itu yang difokuskan adalah intervensi spesifiknya. Ini penting. Jangan hanya pada intervensi yang sensitif,” ujarnya.
Edy menyebutkan anggaran terkait program stunting sudah dipertahankan sejak beberapa tahun terakhir dengan rincian sebanyak Rp39,8 triliun pada 2020, Rp35,3 triliun pada 2021, dan sekitar Rp34,1 triliun pada 2022.
Di sisi lain, Edy juga mengapresiasi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang sudah menjadi koordinator penanganan stunting nasional. Ia mengingatkan bahwa anggaran terkait stunting yang tersedia di masing-masing kementerian/lembaga harus dapat dikoordinir dengan baik sehingga tidak berjalan sendiri-sendiri.
“BKKBN sekarang harus dituntut bisa menjadi panglima di dalam menggerakkan 14 kementerian/lembaga ini agar fokus pada penanganan stunting,” katanya.
Pada kesempatan yang sama melalui pertemuan virtual, Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengatakan pihaknya mengorganisasikan anggaran di berbagai kementerian/lembaga terkait dengan prinsip konvergensi.
Sebagai contoh, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memiliki anggaran untuk membangun jamban dan sanitasi rumah. Hasto mengatakan pihaknya turut mendorong agar pembangunan tersebut diprioritaskan untuk kelompok risiko stunting melalui penyediaan data dari BKKBN.
Baca juga: Pemkab Lombok Tengah meminta desa gotong royong tuntaskan kasus stunting
Baca juga: Pernikahan dini jadi penyebab stunting di Desa Sukarara
“Sehingga di daerah-daerah itu, data yang ditindaklanjuti untuk bedah rumah atau untuk jamban itu adalah data yang sudah di-approve oleh BKKBN setempat, ini sudah MoU antara Kementerian PUPR dan BKKBN,” kata Hasto.
“Komisi XI DPR memandang bahwa stunting (dapat) selesai kalau ada kemandirian keluarga,” kata Edy yang hadir secara virtual dalam diskusi media di Jakarta, Selasa.
Kemandirian keluarga yang dimaksud yaitu keluarga di akar rumput mampu mengetahui masalah stunting, mampu mencari solusi terhadap penyelesaian stunting, serta yang terpenting mampu memanfaatkan sumber pangan lokal yang dimiliki keluarga untuk mengatasi stunting.
“Stunting itu hanya akan selesai kalau ada kemandirian di bidang kesehatan. Kalau bahasa saya, berdikari. Berdikari di bidang kesehatan. Jadi keluarga ini harus tahu betul, mampu mengetahui masalah, mampu mencari alternatif pemecahan masalahnya, dan mampu menggunakan resources yang dimiliki,” katanya.
Berdasarkan pengalamannya turun ke lapangan bersama mitra, Edy menilai bahwa sumber pangan yang dimiliki keluarga sebetulnya telah tersedia, tetapi masih banyak yang belum mampu memanfaatkan sumber dengan baik. Oleh sebab itu, menurut dia, edukasi dan pendampingan di akar rumput menjadi penting terutama oleh SDM puskesmas.
“Saya melihat bahwa layanan kesehatan primer, puskesmas jadi basis dan tenaga kesehatan di desa sebagai pemain itu menjadi kunci keberhasilan dalam intervensi spesifik,” ujarnya.
Dia menekankan pentingnya kementerian/lembaga melakukan program intervensi spesifik atau intervensi yang berhubungan langsung dengan penyebab terjadinya stunting di masyarakat, tidak saja intervensi sensitif, sehingga target penurunan stunting terwujud pada 2024.
Edy juga mengingatkan kepada kementerian/lembaga yang terlibat di dalam program penanganan stunting untuk menyeimbangkan antara intervensi sensitif dan intervensi spesifik sehingga anggaran bisa dimanfaatkan secara optimal untuk mencapai target.
“Kalau mau 2024 selesai, data peta keluarga dan persoalan stunting dengan penyebabnya itu yang difokuskan adalah intervensi spesifiknya. Ini penting. Jangan hanya pada intervensi yang sensitif,” ujarnya.
Edy menyebutkan anggaran terkait program stunting sudah dipertahankan sejak beberapa tahun terakhir dengan rincian sebanyak Rp39,8 triliun pada 2020, Rp35,3 triliun pada 2021, dan sekitar Rp34,1 triliun pada 2022.
Di sisi lain, Edy juga mengapresiasi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang sudah menjadi koordinator penanganan stunting nasional. Ia mengingatkan bahwa anggaran terkait stunting yang tersedia di masing-masing kementerian/lembaga harus dapat dikoordinir dengan baik sehingga tidak berjalan sendiri-sendiri.
“BKKBN sekarang harus dituntut bisa menjadi panglima di dalam menggerakkan 14 kementerian/lembaga ini agar fokus pada penanganan stunting,” katanya.
Pada kesempatan yang sama melalui pertemuan virtual, Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengatakan pihaknya mengorganisasikan anggaran di berbagai kementerian/lembaga terkait dengan prinsip konvergensi.
Sebagai contoh, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memiliki anggaran untuk membangun jamban dan sanitasi rumah. Hasto mengatakan pihaknya turut mendorong agar pembangunan tersebut diprioritaskan untuk kelompok risiko stunting melalui penyediaan data dari BKKBN.
Baca juga: Pemkab Lombok Tengah meminta desa gotong royong tuntaskan kasus stunting
Baca juga: Pernikahan dini jadi penyebab stunting di Desa Sukarara
“Sehingga di daerah-daerah itu, data yang ditindaklanjuti untuk bedah rumah atau untuk jamban itu adalah data yang sudah di-approve oleh BKKBN setempat, ini sudah MoU antara Kementerian PUPR dan BKKBN,” kata Hasto.