Mataram (ANTARA) - Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat mengungkap adanya pemeriksaan warga asing di kasus dugaan korupsi aset pemerintah berupa lahan seluas 65 hektare yang berada di kawasan wisata Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara.
Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati NTB Ely Rahmawati di Mataram, Senin, menjelaskan bahwa penyidik memeriksa warga asing tersebut dalam status saksi. "Jadi, dari saksi-saksi yang kami periksa, baik dari orang yang disewakan dan lainnya, ada warga asing yang juga diperiksa," kata dia.
Terkait dengan kapasitas saksi dari warga asing tersebut, Ely pun enggan menyampaikan. Dia hanya memastikan bahwa pemeriksaan ini bagian dari upaya penyidik dalam melengkapi alat bukti. "Apabila sudah mendapatkan alat bukti yang kuat, minimal dua alat bukti, baru kami akan menetapkan tersangka," ujarnya.
Sebagai upaya melengkapi alat bukti, penyidik juga telah mengantongi keterangan ahli. Namun, dalam hal ini Ely enggan menjelaskan kapasitas ahli yang memberikan keterangan tersebut. "Yang pasti, ahli sudah kami periksa. Ahli ini dari Jakarta," kata Ely.
Dengan menyampaikan perkembangan demikian, dia memastikan bahwa penyidik hingga kini masih melaksanakan serangkaian agenda penyidikan. "Jadi, untuk kasus ini kami masih mengumpulkan alat bukti. Yang jelas, kasus ini tidak berhenti, masih jalan," ucap dia.
Kepala Kejati NTB Sungarpin dalam perkara ini telah menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Nomor: Print-02/N.2/Fd.1/02/2022, tanggal 9 Februari 2022. Pemeriksaan saksi terakhir terungkap dilaksanakan pada 25 Oktober 2022. Pemeriksaan saksi ini sebelumnya terungkap sesuai surat panggilan saksi bernama Marwi yang diterbitkan Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat dengan Nomor: SP-1116/N.2.5/Fd.1/10/2022, tanggal 21 Oktober 2022.
Dalam surat yang ditandatangani Asisten Pidana Khusus Kejati NTB Ely Rahmawati, meminta Marwi hadir menghadap tim penyidik Ema Mulyawati pada Selasa (25/10). Lokasi pemeriksaan Marwi sebagai saksi tertulis di Kantor Kepolisian Sektor (Polsek) Pemenang, Kabupaten Lombok Utara.
Sebelumnya, Marwi dikonfirmasi atas pemeriksaan jaksa mengakui dirinya menduduki lahan dengan luas mencapai 3 are. Dia mendirikan rumah dan toko tempat usaha. Lahan yang tercatat sebagai aset Pemprov NTB itu sudah dia huni sejak kecil. Alasan dia bersama keluarga menduduki lahan karena dahulunya seperti hutan, tidak bertuan.
Dia pun menyadari penguasaan lahan tersebut tanpa ada alas hak kepemilikan, hanya berbekal Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) atas usaha toko miliknya. Penanganan perkara ini merupakan tindak lanjut dari laporan masyarakat yang mengarah ke dugaan pungutan liar (pungli).
Baca juga: Tim SAR menghentikan pencarian turis Prancis tenggelam di Gili Trawangan
Baca juga: Pengusaha meminta pemberlakuan satu pintu Bali-Tiga Gili dikaji kembali
Dugaan tersebut berkaitan dengan lahan yang sebelumnya masuk dalam kesepakatan kontrak produksi untuk pemanfaatan hak pengelolaan lahan (HPL) milik Pemprov NTB. Dari hasil penyelidikan pun terungkap indikasi bahwa persoalan itu mulai muncul di tahun 1998, terhitung sejak PT GTI mengantongi kesepakatan kontrak produksi dari Pemprov NTB.
Dalam periode tersebut terindikasi adanya sejumlah pihak yang mengambil keuntungan pribadi. Dugaan itu berkaitan dengan sewa lahan secara masif dan ilegal. Untuk kondisi terkini di areal seluas 65 hektare kawasan Gili Trawangan, sudah terdapat bangunan permanen yang sebagian besar menjadi ladang bisnis masyarakat penunjang pariwisata.
Pemetaan situasi di atas lahan itu pun telah dilakukan pihak kejaksaan. Hal itu sesuai dengan hasil Kejati NTB saat menjalankan tugas sebagai jaksa pengacara negara (JPN) dalam penyelamatan dan penerbitan aset di kawasan wisata tersebut. Upaya penyelamatan aset ini pun menjadi harapan pemerintah untuk mendongkrak pendapatan asli daerah yang berpotensi memberikan keuntungan hingga triliunan rupiah.
Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati NTB Ely Rahmawati di Mataram, Senin, menjelaskan bahwa penyidik memeriksa warga asing tersebut dalam status saksi. "Jadi, dari saksi-saksi yang kami periksa, baik dari orang yang disewakan dan lainnya, ada warga asing yang juga diperiksa," kata dia.
Terkait dengan kapasitas saksi dari warga asing tersebut, Ely pun enggan menyampaikan. Dia hanya memastikan bahwa pemeriksaan ini bagian dari upaya penyidik dalam melengkapi alat bukti. "Apabila sudah mendapatkan alat bukti yang kuat, minimal dua alat bukti, baru kami akan menetapkan tersangka," ujarnya.
Sebagai upaya melengkapi alat bukti, penyidik juga telah mengantongi keterangan ahli. Namun, dalam hal ini Ely enggan menjelaskan kapasitas ahli yang memberikan keterangan tersebut. "Yang pasti, ahli sudah kami periksa. Ahli ini dari Jakarta," kata Ely.
Dengan menyampaikan perkembangan demikian, dia memastikan bahwa penyidik hingga kini masih melaksanakan serangkaian agenda penyidikan. "Jadi, untuk kasus ini kami masih mengumpulkan alat bukti. Yang jelas, kasus ini tidak berhenti, masih jalan," ucap dia.
Kepala Kejati NTB Sungarpin dalam perkara ini telah menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Nomor: Print-02/N.2/Fd.1/02/2022, tanggal 9 Februari 2022. Pemeriksaan saksi terakhir terungkap dilaksanakan pada 25 Oktober 2022. Pemeriksaan saksi ini sebelumnya terungkap sesuai surat panggilan saksi bernama Marwi yang diterbitkan Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat dengan Nomor: SP-1116/N.2.5/Fd.1/10/2022, tanggal 21 Oktober 2022.
Dalam surat yang ditandatangani Asisten Pidana Khusus Kejati NTB Ely Rahmawati, meminta Marwi hadir menghadap tim penyidik Ema Mulyawati pada Selasa (25/10). Lokasi pemeriksaan Marwi sebagai saksi tertulis di Kantor Kepolisian Sektor (Polsek) Pemenang, Kabupaten Lombok Utara.
Sebelumnya, Marwi dikonfirmasi atas pemeriksaan jaksa mengakui dirinya menduduki lahan dengan luas mencapai 3 are. Dia mendirikan rumah dan toko tempat usaha. Lahan yang tercatat sebagai aset Pemprov NTB itu sudah dia huni sejak kecil. Alasan dia bersama keluarga menduduki lahan karena dahulunya seperti hutan, tidak bertuan.
Dia pun menyadari penguasaan lahan tersebut tanpa ada alas hak kepemilikan, hanya berbekal Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) atas usaha toko miliknya. Penanganan perkara ini merupakan tindak lanjut dari laporan masyarakat yang mengarah ke dugaan pungutan liar (pungli).
Baca juga: Tim SAR menghentikan pencarian turis Prancis tenggelam di Gili Trawangan
Baca juga: Pengusaha meminta pemberlakuan satu pintu Bali-Tiga Gili dikaji kembali
Dugaan tersebut berkaitan dengan lahan yang sebelumnya masuk dalam kesepakatan kontrak produksi untuk pemanfaatan hak pengelolaan lahan (HPL) milik Pemprov NTB. Dari hasil penyelidikan pun terungkap indikasi bahwa persoalan itu mulai muncul di tahun 1998, terhitung sejak PT GTI mengantongi kesepakatan kontrak produksi dari Pemprov NTB.
Dalam periode tersebut terindikasi adanya sejumlah pihak yang mengambil keuntungan pribadi. Dugaan itu berkaitan dengan sewa lahan secara masif dan ilegal. Untuk kondisi terkini di areal seluas 65 hektare kawasan Gili Trawangan, sudah terdapat bangunan permanen yang sebagian besar menjadi ladang bisnis masyarakat penunjang pariwisata.
Pemetaan situasi di atas lahan itu pun telah dilakukan pihak kejaksaan. Hal itu sesuai dengan hasil Kejati NTB saat menjalankan tugas sebagai jaksa pengacara negara (JPN) dalam penyelamatan dan penerbitan aset di kawasan wisata tersebut. Upaya penyelamatan aset ini pun menjadi harapan pemerintah untuk mendongkrak pendapatan asli daerah yang berpotensi memberikan keuntungan hingga triliunan rupiah.