Lombok Tengah, (Antara) - Kementerian Kelautan dan Perikanan menggelar bimbingan teknis sekaligus menyosialisasikan larangan perdagangan dua spesies ikan pari manta yang sudah disepakati dalam konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar.
"Kegiatan ini merupakan tindaklanjut dari ketentuan `Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora` (CITES) 2013," kata Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Agus Dermawan di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), Rabu.
Kegiatan bimbingan teknis (Bimtek) identifikasi dan pengenalan sirip ikan hiu App, II CITES dan Pari Suku Mobulidae, tersebut diikuti 30 peserta yang berasal dari Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) wilayah NTB, Balai Karantina Ikan, Pengawasan Sumber Daya Perikanan.
Selain itu, dari Pengawas Sumber Daya Kelautan, Bea Cukai, petugas Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tanjung Luar, dan petugas Pelabuhan Perikanan Ikan (PPI) Tanjung Luar, Kabupaten Lombok Timur, dan "Wildlife Conservaton Society" (WCS) selaku unsur lembaga swadaya masyarakat.
Agus menyebutkan, dua spesies ikan Pari Manta yang dilarang untuk diperdagangkan adalah Ikan Pari Manta Oseanik (Manta birostris) dan Ikan Pari Manta Karang (Manta alfredi). Kedua jenis ikan itu terancam punah karena penangkapan yang tanpa terkendali.
Selain kedua jenis ikan pari tersebut, kata dia, ada juga empat jenis ikan hiu yang diatur perdagangannya sesuai kesepakatan CITES 2013, yakni Hiu Koboi (Carcharhinus longimanus), Hiu Martil Scalloped (Sphyrna lewini), Hiu Martil Besar (Sphyrna mokarran), Hiu Martil Caping (Sphyrna zygaena).
Keenam spesies hiu dan manta tersebut masuk dalam daftar Appendix II CITES yang berarti perdagangan internasional terhadap ketujuh spesies tersebut (baik hidup, mati, atau bagian tubuhnya) akan diatur secara ketat oleh CITES, termasuk penerapan kuota penangkapan di suatu wilayah.
Pengaturan ketat tersebut dimaksudkan untuk menjaga kelestarian spesies agar terhindar dari ancaman kepunahan.
"Jadi dua jenis spesies Pari Manta itu tidak boleh ditangkap dan diperdagangkan. Kalau empat jenis spesies hiu tersebut boleh ditangkap dan diperdagangkan, namun ada kuotanya," kata Agus.
Selain ketentuan internasional, lanjutnya, pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan regulasi nasional perlindungan beberapa spesies hiu dan pari, yakni perlindungan penuh untuk Pari Gergaji, Hiu Paus, dan Pari Manta.
Melalui Bimtek ini, kata Agus, diharapkan bisa memahami dan mengenal jenis-jenis hiu dan pari yang masuk dalam Appendix CITES dan mekanisme pemanfaatannya.
"Regulasi yang sudah ditetapkan itu tentu tidak serta-merta diterapkan. Kami sosialisasikan dulu secara bertahap. Kalau sudah masyarakat diberikan pemahaman, namun tetap membandel tentu ada sanksi hukumnya," ujar Agus.
"Kegiatan ini merupakan tindaklanjut dari ketentuan `Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora` (CITES) 2013," kata Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Agus Dermawan di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), Rabu.
Kegiatan bimbingan teknis (Bimtek) identifikasi dan pengenalan sirip ikan hiu App, II CITES dan Pari Suku Mobulidae, tersebut diikuti 30 peserta yang berasal dari Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) wilayah NTB, Balai Karantina Ikan, Pengawasan Sumber Daya Perikanan.
Selain itu, dari Pengawas Sumber Daya Kelautan, Bea Cukai, petugas Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tanjung Luar, dan petugas Pelabuhan Perikanan Ikan (PPI) Tanjung Luar, Kabupaten Lombok Timur, dan "Wildlife Conservaton Society" (WCS) selaku unsur lembaga swadaya masyarakat.
Agus menyebutkan, dua spesies ikan Pari Manta yang dilarang untuk diperdagangkan adalah Ikan Pari Manta Oseanik (Manta birostris) dan Ikan Pari Manta Karang (Manta alfredi). Kedua jenis ikan itu terancam punah karena penangkapan yang tanpa terkendali.
Selain kedua jenis ikan pari tersebut, kata dia, ada juga empat jenis ikan hiu yang diatur perdagangannya sesuai kesepakatan CITES 2013, yakni Hiu Koboi (Carcharhinus longimanus), Hiu Martil Scalloped (Sphyrna lewini), Hiu Martil Besar (Sphyrna mokarran), Hiu Martil Caping (Sphyrna zygaena).
Keenam spesies hiu dan manta tersebut masuk dalam daftar Appendix II CITES yang berarti perdagangan internasional terhadap ketujuh spesies tersebut (baik hidup, mati, atau bagian tubuhnya) akan diatur secara ketat oleh CITES, termasuk penerapan kuota penangkapan di suatu wilayah.
Pengaturan ketat tersebut dimaksudkan untuk menjaga kelestarian spesies agar terhindar dari ancaman kepunahan.
"Jadi dua jenis spesies Pari Manta itu tidak boleh ditangkap dan diperdagangkan. Kalau empat jenis spesies hiu tersebut boleh ditangkap dan diperdagangkan, namun ada kuotanya," kata Agus.
Selain ketentuan internasional, lanjutnya, pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan regulasi nasional perlindungan beberapa spesies hiu dan pari, yakni perlindungan penuh untuk Pari Gergaji, Hiu Paus, dan Pari Manta.
Melalui Bimtek ini, kata Agus, diharapkan bisa memahami dan mengenal jenis-jenis hiu dan pari yang masuk dalam Appendix CITES dan mekanisme pemanfaatannya.
"Regulasi yang sudah ditetapkan itu tentu tidak serta-merta diterapkan. Kami sosialisasikan dulu secara bertahap. Kalau sudah masyarakat diberikan pemahaman, namun tetap membandel tentu ada sanksi hukumnya," ujar Agus.