NTB mendorong pegelolaan Hiu dan Pari secara berkelanjutan

id NTB,Ikan Hiu,Ikan Pari,Dinas Kelautan dan Perikanan

NTB mendorong pegelolaan Hiu dan Pari secara berkelanjutan

Rapat koordinasi dan evaluasi Kelompok Kerja (POKJA) Rencana Pengelolaan Perikanan Hiu dan Pari oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Nusa Tenggara Barat (NTB). (ANTARA/Nur Imansyah).

Mataram (ANTARA) - Dinas Kelautan dan Perikanan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat mendorong pengeloaan perikanan jenis hiu dan pari di daerah menerapkan prinsip berkelanjutan atau ramah lingkungan.

"Penangkapan dan pemanfaatan ikan hiu dan pari di daerah ini harus dikelola dengan ramah dan berkelanjutan, untuk menjaga eksistensi populasi hiu dan pari secara nasional," kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB Yusron Hadi di Mataram, Jumat.

Yusron menjelaskan, Indonesia dikenal sebagai negara penangkap hiu dan pari terbesar di dunia. Perikanan jenis hiu dan pari menjadi komoditas perikanan target di beberapa lokasi dimana masyarakat memiliki ketergantungan tinggi pada kedua jenis ikan itu sebagai komoditas perikanan.

Saat ini, katanya, perikanan hiu dan pari di Indonesia, termasuk di NTB, menghadapi tantangan yang cukup besar karena populasinya terus menurun secara global. Sementara di sisi lain, permintaan akan produk hiu, baik dari luar negeri maupun dalam negeri, sangat besar.

Kondisi tersebut, menurut Yusron, memerlukan upaya pengelolaan perikanan hiu dan pari secara terpadu agar pemanfaatan kedua jenis ikan itu di Indonesia berkelanjutan.

Di wilayah NTB, kata dia, penangkapan hiu dan pari masih dilakukan di kawasan Tanjung Luar, Lombok Timur.

"Salah satu upaya pengelolaan perikanan hiu dan pari di Tanjung Luar, Pemerintah Provinsi NTB, sejak Tahun 2019 telah membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Rencana Pengelolaan Perikanan Hiu dan Pari," ujar Yusron Hadi dalam pertemuan Pokja pengelolaan hiu dan pari.

Yuson menyatakan, pokja pengelolaan perikanan hiu dan pari ini terdiri dari lembaga pemerintahan, akademisi, nelayan, pedagang, dan LSM.

"Pengelolaan ini merupakan inisiasi pengelolaan perikanan Hiu dan Pari yang pertama di Indonesia," ujar Yusron.

Pertemuan pokja tersebut dihadiri sejumlah pihak terkait, termasuk perwakilan Pusat Riset Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan perwakilan Wildlife Conservation Society (WCS), sebuah lembaga nirlaba yang berfokus pada isu perikanan.

"Pertemuan pokja ini untuk mengevaluasi hasil kesepakatan bersama yang telah dilakukan, yaitu kesepakatan masyarakat untuk membatasi upaya penangkapan, tidak menangkap hiu yang dilindungi, dan tidak melakukan penangkapan di habitat kritis bagi hiu hamil dan anakan," katanya.

Menurut Yusron, dari hasil evaluasi implementasi menunjukkan bahwa kesepakatan telah ditaati dengan baik, ditunjukkan dengan turunnya hasil tangkapan hiu-hiu anakan.

Sementara itu, Ketu Tim Peneliti WCS, Evron Asrial menjelaskan bahwa proses diskusi bersama nelayan dan pedagang telah dilakukan sejak Tahun 2018.

"Diharapkan proses diskusi dapat terus dilakukan untuk mendapatkan masukan dan aspirasi dari masyarakat," kata Evron.

Perwakilan WCS, Benaya Simeon mengatakan, pengelolaan dan evaluasi pengelolaan Hiu dan Pari berkelanjutan ini harus terus dilakukan. Sebab, masih ditemukan eksploitasi yang berlebih untuk beberapa spesies prioritas seperti Hiu Mako dan Hiu Lanjaman.

Sementara peneliti hiu dan pari dari Pusat Riset Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dharmadi optimistis ada kemungkinan peningkatan populasi hiu di alam setelah dilakukannya pengelolaan.

"Model pengeloaan hiu dan pari berkelanjutan di Lombok, NTB, ini bisa menjadi contoh. Dengan pola partisipatif dan melibatkan kelompok nelayan, kami yakin eksploitasi bisa dikendalikan dan angka populasi hiu dan pari bisa meningkat ke depan," katanya.