Mataram (ANTARA) - Kejaksaan merilis potensi kerugian negara yang muncul dalam kasus dugaan korupsi dana Badan Layanan Umun Daerah (BLUD) pada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sumbawa, Nusa Tenggara Barat tahun anggaran 2021.
"Potensi kerugian negaranya sekitar Rp1,6 miliar," kata Kepala Kejari (Kajari) Sumbawa Adung Sutranggono melalui sambungan telepon, Rabu.
Baca juga: Kasus dugaan korupsi BLUD RSUD Sumbawa masuk penyidikan jaksa, 6 saksi diperiksa
Baca juga: Kejaksaan menyelidiki dugaan korupsi dana BLUD RSUD Sumbawa
Namun demikian, Adung meyakinkan bahwa potensi tersebut belum bersifat akhir. Melainkan, dia meyakinkan bahwa penyidik masih harus menguatkan dari hasil pemeriksaan ahli audit.
"Jadi, untuk angka kerugian masih harus kami kuatkan lagi," ujarnya.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, penyidik kini sedang menunggu salinan transaksi perbankan dari pengelolaan dana BLUD.
"Semoga dalam waktu dekat, itu (salinan transaksi perbankan) sudah kami dapatkan dari pihak bank," ucap dia.
Dia pun menyampaikan bahwa penelusuran kerugian negara pada kasus ini sudah masuk dalam agenda gelar perkara bersama BPKP Perwakilan NTB.
"Bersama BPKP kami sudah lakukan gelar awal. Untuk selanjutnya kami akan bersurat secara resmi untuk meminta membantu penghitungan," katanya.
Lebih lanjut, Adung mengatakan pemeriksaan saksi juga masih berjalan. Dia meyakinkan agenda tersebut berlangsung secara maraton pada dua pekan pertama Mei 2023.
Kejari Sumbawa menangani kasus ini berdasarkan adanya laporan masyarakat. Tindak lanjut laporan, jaksa melakukan kajian dari dokumen kelengkapan laporan yang menguatkan indikasi pidana dalam pengelolaan dana BLUD tahun 2021.
Laporan ini pun sebelumnya terungkap pernah masuk ke Kejati NTB pada November 2021. Dalam laporan, diuraikan terkait adanya proyek pengadaan barang dan jasa dengan anggaran satu miliar lebih dilelang menggunakan mekanisme penunjukan langsung.
Proyek tersebut antara lain pengadaan alkes DRX Ascend System yang nilainya mencapai Rp1,49 miliar. Ada juga Mobile DR senilai Rp1,04 miliar.
Menurut pelapor, ada dugaan mekanisme yang berbenturan dengan Peraturan Bupati Sumbawa Nomor: 16/2015 tentang PBJ pada BLUD RSUD Sumbawa dan Perpres Nomor: 16/2018 tentang PBJ Pemerintah.
Kemudian, ada juga penyimpangan anggaran jasa pelayanan kesehatan (jaspelkes). Muncul dugaan penyalahgunaan kewenangan dalam remunerasi pegawai.
Dalam laporan, Direktur RSUD Sumbawa periode pengelolaan dana BLUD tahun 2021, diduga turut mendapatkan keistimewaan dengan jatah 5 persen dari total keseluruhan jaspelkes.
Dasar hukum itu pun mengacu pada Peraturan Direktur RSUD Sumbawa Nomor: 82/2021 tentang Pembagian Jaspel pada RSUD Sumbawa.
Dalam uraian peraturan, besaran jaspelkes ini untuk unsur pimpinan dengan remunerasi dari jaspelkes 5 persen yang dibagi lagi menjadi 3 persen untuk kinerja direktur; 0,77 persen kinerja kabag TU; 0,73 persen kinerja kabid pelayanan; dan 0,5 persen kinerja kabid keperawatan.
Padahal, untuk pengaturan jaspelkes ini harus mengacu pada Permendagri Nomor: 79/2018 tentang BLUD yang berisi tentang Aturan Pembagian Remunerasi yang menggunakan peraturan kepala daerah, bukan peraturan direktur RSUD.
"Potensi kerugian negaranya sekitar Rp1,6 miliar," kata Kepala Kejari (Kajari) Sumbawa Adung Sutranggono melalui sambungan telepon, Rabu.
Baca juga: Kasus dugaan korupsi BLUD RSUD Sumbawa masuk penyidikan jaksa, 6 saksi diperiksa
Baca juga: Kejaksaan menyelidiki dugaan korupsi dana BLUD RSUD Sumbawa
Namun demikian, Adung meyakinkan bahwa potensi tersebut belum bersifat akhir. Melainkan, dia meyakinkan bahwa penyidik masih harus menguatkan dari hasil pemeriksaan ahli audit.
"Jadi, untuk angka kerugian masih harus kami kuatkan lagi," ujarnya.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, penyidik kini sedang menunggu salinan transaksi perbankan dari pengelolaan dana BLUD.
"Semoga dalam waktu dekat, itu (salinan transaksi perbankan) sudah kami dapatkan dari pihak bank," ucap dia.
Dia pun menyampaikan bahwa penelusuran kerugian negara pada kasus ini sudah masuk dalam agenda gelar perkara bersama BPKP Perwakilan NTB.
"Bersama BPKP kami sudah lakukan gelar awal. Untuk selanjutnya kami akan bersurat secara resmi untuk meminta membantu penghitungan," katanya.
Lebih lanjut, Adung mengatakan pemeriksaan saksi juga masih berjalan. Dia meyakinkan agenda tersebut berlangsung secara maraton pada dua pekan pertama Mei 2023.
Kejari Sumbawa menangani kasus ini berdasarkan adanya laporan masyarakat. Tindak lanjut laporan, jaksa melakukan kajian dari dokumen kelengkapan laporan yang menguatkan indikasi pidana dalam pengelolaan dana BLUD tahun 2021.
Laporan ini pun sebelumnya terungkap pernah masuk ke Kejati NTB pada November 2021. Dalam laporan, diuraikan terkait adanya proyek pengadaan barang dan jasa dengan anggaran satu miliar lebih dilelang menggunakan mekanisme penunjukan langsung.
Proyek tersebut antara lain pengadaan alkes DRX Ascend System yang nilainya mencapai Rp1,49 miliar. Ada juga Mobile DR senilai Rp1,04 miliar.
Menurut pelapor, ada dugaan mekanisme yang berbenturan dengan Peraturan Bupati Sumbawa Nomor: 16/2015 tentang PBJ pada BLUD RSUD Sumbawa dan Perpres Nomor: 16/2018 tentang PBJ Pemerintah.
Kemudian, ada juga penyimpangan anggaran jasa pelayanan kesehatan (jaspelkes). Muncul dugaan penyalahgunaan kewenangan dalam remunerasi pegawai.
Dalam laporan, Direktur RSUD Sumbawa periode pengelolaan dana BLUD tahun 2021, diduga turut mendapatkan keistimewaan dengan jatah 5 persen dari total keseluruhan jaspelkes.
Dasar hukum itu pun mengacu pada Peraturan Direktur RSUD Sumbawa Nomor: 82/2021 tentang Pembagian Jaspel pada RSUD Sumbawa.
Dalam uraian peraturan, besaran jaspelkes ini untuk unsur pimpinan dengan remunerasi dari jaspelkes 5 persen yang dibagi lagi menjadi 3 persen untuk kinerja direktur; 0,77 persen kinerja kabag TU; 0,73 persen kinerja kabid pelayanan; dan 0,5 persen kinerja kabid keperawatan.
Padahal, untuk pengaturan jaspelkes ini harus mengacu pada Permendagri Nomor: 79/2018 tentang BLUD yang berisi tentang Aturan Pembagian Remunerasi yang menggunakan peraturan kepala daerah, bukan peraturan direktur RSUD.