Mataram (ANTARA) - Sejumlah tokoh agama dan akademisi di Nusa Tenggara Barat mendorong pengisian Penjabat Gubernur NTB diisi dari kalangan pejabat eselon I yang bertugas di daerah.
Hal itu seiring akan berakhirnya masa jabatan Gubernur Zulkieflimansyah dan Wakilnya Sitti Rohmi Djalilah pada 19 September 2023.
Sekretaris PWNU NTB, Lalu Aksar Anshori, Senin, mengatakan Penjabat Gubernur itu diangkat oleh pemerintah pusat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Hanya saja, wacana pengangkatan Penjabat Gubernur itu juga agar tidak terlalu di politisir.
Pasalnya, Penjabat Gubernur itu adalah pejabat administrasi publik dari kalangan ASN bukan pejabat politik. Di mana salah satu tugasnya adalah mengantarkan pemilu sukses dan mempersiapkan Pilkada serentak 2024.
"Ini kewenangan Presiden melalui Mendagri. Penjabat ini jabatan karir yang di isi oleh ASN dan ini hak ASN yang kebetulan di isi jabatan Eselon I. Di NTB ada Rektor UIN Mataram, Rektor Unram dan Sekda NTB," ujarnya dalam acara diskusi publik dengan tema "Kepemimpinan NTB Dalam Perspektif Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat".
Ia mengatakan mengukur keberhasilan sebuah pemerintahan itu, harus dengan data statistik. Salah satu contohnya, posisi prevalensi stunting di NTB tahun 2022 naik menjadi 32,7 persen.
Sedangkan, angka nasional 21,6 persen di tahun 2022. Artinya angka stunting di NTB masih tergolong tinggi secara nasional. Merujuk data ini jelas angka stunting NTB tidak dalam kondisi belum baik.
"Jadi, siapapun Penjabat Gubernur yang menjabat, sangat sulit untuk bisa menurunkan angka stunting," kata Aksar.
Akademisi Fakultas Ekonomi Unram, Dr Muhamad Irwan, mengatakan jika merujuk ketentuan peraturan perundang-undangan terkait Penjabat Gubernur yang berhak tentunya pejabat eselon satu di daerah. Yakni, Rektor UIN Mataram Prof Masnun Tahir, Rektor Unram Prof Bambang Hari Kusumo dan Sekda NTB Lalu Gita Ariadi.
"Tiga orang ini sangat layak menjadi Penjabat Gubernur. Utamanya, Prof Masnun dan Rektor Unram. Tapi alangkah baiknya, seorang Penjabat Gubernur adalah mereka yang bekerja ulet, memiliki daya jelajah-nya kuat dan tentunya dari kalangan muda," ujarnya.
Sementara itu, Ketua PW Muhammadiyah Dr Falahudin, menilai bahwa peran civil society, sangat penting dalam proses pengusulan Penjabat Gubernur. Sebab, hal itu akan bisa menjadi pertimbangan Presiden melalui Mendagri untuk memilih siapa pejabat yang layak untuk ditempatkan di NTB.
"Muhammadiyah itu adalah negara Pancasila. Wujud kemerdekaan Muhammadiyah tidak bermazhab. Maka, memilih pemimpin itu berdasarkan konsensus. Dan kami Samikna Wa Atoqna atas apapun keputusan Pak Presiden. Jika misalnya Pak Rektor UIN yang dipilih kita juga siap menerima karena kami sudah merekomendasikan ketiga nama putra daerah itu kok," jelas Falahudin.
Rektor Universitas Muhammadiyah Mataram (UMM), Abdul Wahab, menambahkan bahwa sosok seorang pemimpin itu tidak terlepas dari relasi. Selanjutnya, harus juga seagama dan harus istiqomah dari sisi agama dan muamalah.
"Yang pasti, kalau untuk di NTB, sangat sulit jika pemimpin itu non Islam. Maka ini yang kita ingatkan, untuk hati-hati dalam memilih pemimpin itu. Apalagi, seorang Penjabat Gubernur," katanya.
Oleh karena itu, dalam diskusi tersebut ke empat narasumber berharap dalam pengusulan nama calon Penjabat Gubernur NTB oleh DPRD Provinsi dan pemerintah pusat memperhatikan aspirasi publik sebagai perwujudan nyata prinsip partisipasi dalam berdemokrasi.
Adapun harapan publik di NTB agar Penjabat Gubernur NTB yang diusulkan DPRD dan ditetapkan oleh pemerintah pusat memperhatikan kriteria pluralis.
Tidak memiliki resistensi dengan semua kelompok termasuk tidak memiliki resistensi dengan pemerintah serta partai politik dan kandidat peserta Pemilu.
Memiliki karakter kepemimpinan kuat, namun kontingensi atau cepat menyesuaikan dengan lingkungan. Diterima oleh semua kelompok keagamaan, etnis, semua profesi, usia, dan gender.
Hal itu seiring akan berakhirnya masa jabatan Gubernur Zulkieflimansyah dan Wakilnya Sitti Rohmi Djalilah pada 19 September 2023.
Sekretaris PWNU NTB, Lalu Aksar Anshori, Senin, mengatakan Penjabat Gubernur itu diangkat oleh pemerintah pusat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Hanya saja, wacana pengangkatan Penjabat Gubernur itu juga agar tidak terlalu di politisir.
Pasalnya, Penjabat Gubernur itu adalah pejabat administrasi publik dari kalangan ASN bukan pejabat politik. Di mana salah satu tugasnya adalah mengantarkan pemilu sukses dan mempersiapkan Pilkada serentak 2024.
"Ini kewenangan Presiden melalui Mendagri. Penjabat ini jabatan karir yang di isi oleh ASN dan ini hak ASN yang kebetulan di isi jabatan Eselon I. Di NTB ada Rektor UIN Mataram, Rektor Unram dan Sekda NTB," ujarnya dalam acara diskusi publik dengan tema "Kepemimpinan NTB Dalam Perspektif Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat".
Ia mengatakan mengukur keberhasilan sebuah pemerintahan itu, harus dengan data statistik. Salah satu contohnya, posisi prevalensi stunting di NTB tahun 2022 naik menjadi 32,7 persen.
Sedangkan, angka nasional 21,6 persen di tahun 2022. Artinya angka stunting di NTB masih tergolong tinggi secara nasional. Merujuk data ini jelas angka stunting NTB tidak dalam kondisi belum baik.
"Jadi, siapapun Penjabat Gubernur yang menjabat, sangat sulit untuk bisa menurunkan angka stunting," kata Aksar.
Akademisi Fakultas Ekonomi Unram, Dr Muhamad Irwan, mengatakan jika merujuk ketentuan peraturan perundang-undangan terkait Penjabat Gubernur yang berhak tentunya pejabat eselon satu di daerah. Yakni, Rektor UIN Mataram Prof Masnun Tahir, Rektor Unram Prof Bambang Hari Kusumo dan Sekda NTB Lalu Gita Ariadi.
"Tiga orang ini sangat layak menjadi Penjabat Gubernur. Utamanya, Prof Masnun dan Rektor Unram. Tapi alangkah baiknya, seorang Penjabat Gubernur adalah mereka yang bekerja ulet, memiliki daya jelajah-nya kuat dan tentunya dari kalangan muda," ujarnya.
Sementara itu, Ketua PW Muhammadiyah Dr Falahudin, menilai bahwa peran civil society, sangat penting dalam proses pengusulan Penjabat Gubernur. Sebab, hal itu akan bisa menjadi pertimbangan Presiden melalui Mendagri untuk memilih siapa pejabat yang layak untuk ditempatkan di NTB.
"Muhammadiyah itu adalah negara Pancasila. Wujud kemerdekaan Muhammadiyah tidak bermazhab. Maka, memilih pemimpin itu berdasarkan konsensus. Dan kami Samikna Wa Atoqna atas apapun keputusan Pak Presiden. Jika misalnya Pak Rektor UIN yang dipilih kita juga siap menerima karena kami sudah merekomendasikan ketiga nama putra daerah itu kok," jelas Falahudin.
Rektor Universitas Muhammadiyah Mataram (UMM), Abdul Wahab, menambahkan bahwa sosok seorang pemimpin itu tidak terlepas dari relasi. Selanjutnya, harus juga seagama dan harus istiqomah dari sisi agama dan muamalah.
"Yang pasti, kalau untuk di NTB, sangat sulit jika pemimpin itu non Islam. Maka ini yang kita ingatkan, untuk hati-hati dalam memilih pemimpin itu. Apalagi, seorang Penjabat Gubernur," katanya.
Oleh karena itu, dalam diskusi tersebut ke empat narasumber berharap dalam pengusulan nama calon Penjabat Gubernur NTB oleh DPRD Provinsi dan pemerintah pusat memperhatikan aspirasi publik sebagai perwujudan nyata prinsip partisipasi dalam berdemokrasi.
Adapun harapan publik di NTB agar Penjabat Gubernur NTB yang diusulkan DPRD dan ditetapkan oleh pemerintah pusat memperhatikan kriteria pluralis.
Tidak memiliki resistensi dengan semua kelompok termasuk tidak memiliki resistensi dengan pemerintah serta partai politik dan kandidat peserta Pemilu.
Memiliki karakter kepemimpinan kuat, namun kontingensi atau cepat menyesuaikan dengan lingkungan. Diterima oleh semua kelompok keagamaan, etnis, semua profesi, usia, dan gender.