Jakarta (ANTARA) - Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan RI Siti Nadia Tarmizi menyatakan status kedaruratan kesehatan masyarakat yang segera dicabut oleh pemerintah menandai bahwa COVID-19 di Indonesia sudah lebih terkendali, meskipun penyakitnya belum hilang. "Sekarang, pandemi di Indonesia sudah turun. Dari kaca mata definisi epidemiologi sudah turun menjadi endemi," katanya di Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan, indikator situasi COVID-19 di Indonesia saat ini sudah lebih terkendali, terlokalisasi, tapi masih menjadi masalah penyakit di Indonesia yang perlu ditangani. Dilansir dari laporan harian COVID-19 di Indonesia hari ini, angka kasus aktif turun sebanyak 53 kasus dari total 9.974 kasus, kasus konfirmasi bertambah 179 kasus dari total 6,81 juta kasus lebih sejak Maret 2020.
Angka kasus konfirmasi itu terpaut jauh dari ambang batas aman yang ditentukan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencapai 8.000 kasus harian di Indonesia. Nadia mengatakan, kondisi COVID-19 di Indonesia saat ini sudah tidak lagi menjadi penyakit yang mengkhawatirkan, sehingga dapat disejajarkan dengan penyakit menular lainnya, seperti HIV, sifilis dan lainnya.
Pakar ilmu kesehatan yang juga Direktur Pasca-Sarjana Universitas YARSI Prof Tjandra Yoga Aditama mengemukakan Indonesia segera mengumumkan bahwa COVID-19 bukan lagi darurat kesehatan masyarakat, tapi ada sejumlah hal yang perlu dimaknai setiap individu untuk merespons kebijakan itu.
"Anggota masyarakat perlu mengetahui apa yang masih tetap perlu dilakukan. Sehubungan kebijakan tidak diwajibkannya lagi penggunaan masker di transportasi umum dan ruang publik," katanya.
Tjandra yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) menganjurkan pemakaian masker saat masuk ruangan yang berisiko tertular penyakit lewat udara. "Kalau sedang sakit di saluran pernapasan jenis apapun, maka baiknya pakai masker untuk tidak menulari orang lain," katanya.
Terhadap masyarakat yang tinggal di kawasan berpolusi tinggi, kata Tjandra, masker masih sangat diperlukan untuk mencegah penyakit di saluran napas. "Cuci tangan tentu sebaiknya terus dilakukan karena dapat mencegah penularan berbagai penyakit, bukan hanya COVID-19," katanya.
Baca juga: InaVac bukti kolaborasi kemandirian farmasi nasional
Baca juga: Need to anticipate COVID transmission during homecoming
Juga, kalau ada yang terduga sakit maka segera memeriksakan diri agar jelas diagnosisnya dan lalu jelas juga penanganannya, kata Tjandra menambahkan. Tjandra berpesan kepada pemerintah agar surveilan COVID-19 terus dijalankan, baik deteksi kasus dan kematian maupun juga surveilan biomolekuler genomik agar segera terdeteksi kalau muncul varian baru. "Penelitan dan pengembangan Ilmu pengetahuan kedokteran dan kesehatan di bidang COVID-19 juga perlu terus didukung pemerintah," katanya.
Yang lebih penting lagi, kata Tjandra, kebijakan pemerintah secara umum harus tetap memberi porsi penting bagi kesehatan, khususnya kegiatan promotif preventif.
Ia mengatakan, indikator situasi COVID-19 di Indonesia saat ini sudah lebih terkendali, terlokalisasi, tapi masih menjadi masalah penyakit di Indonesia yang perlu ditangani. Dilansir dari laporan harian COVID-19 di Indonesia hari ini, angka kasus aktif turun sebanyak 53 kasus dari total 9.974 kasus, kasus konfirmasi bertambah 179 kasus dari total 6,81 juta kasus lebih sejak Maret 2020.
Angka kasus konfirmasi itu terpaut jauh dari ambang batas aman yang ditentukan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencapai 8.000 kasus harian di Indonesia. Nadia mengatakan, kondisi COVID-19 di Indonesia saat ini sudah tidak lagi menjadi penyakit yang mengkhawatirkan, sehingga dapat disejajarkan dengan penyakit menular lainnya, seperti HIV, sifilis dan lainnya.
Pakar ilmu kesehatan yang juga Direktur Pasca-Sarjana Universitas YARSI Prof Tjandra Yoga Aditama mengemukakan Indonesia segera mengumumkan bahwa COVID-19 bukan lagi darurat kesehatan masyarakat, tapi ada sejumlah hal yang perlu dimaknai setiap individu untuk merespons kebijakan itu.
"Anggota masyarakat perlu mengetahui apa yang masih tetap perlu dilakukan. Sehubungan kebijakan tidak diwajibkannya lagi penggunaan masker di transportasi umum dan ruang publik," katanya.
Tjandra yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) menganjurkan pemakaian masker saat masuk ruangan yang berisiko tertular penyakit lewat udara. "Kalau sedang sakit di saluran pernapasan jenis apapun, maka baiknya pakai masker untuk tidak menulari orang lain," katanya.
Terhadap masyarakat yang tinggal di kawasan berpolusi tinggi, kata Tjandra, masker masih sangat diperlukan untuk mencegah penyakit di saluran napas. "Cuci tangan tentu sebaiknya terus dilakukan karena dapat mencegah penularan berbagai penyakit, bukan hanya COVID-19," katanya.
Baca juga: InaVac bukti kolaborasi kemandirian farmasi nasional
Baca juga: Need to anticipate COVID transmission during homecoming
Juga, kalau ada yang terduga sakit maka segera memeriksakan diri agar jelas diagnosisnya dan lalu jelas juga penanganannya, kata Tjandra menambahkan. Tjandra berpesan kepada pemerintah agar surveilan COVID-19 terus dijalankan, baik deteksi kasus dan kematian maupun juga surveilan biomolekuler genomik agar segera terdeteksi kalau muncul varian baru. "Penelitan dan pengembangan Ilmu pengetahuan kedokteran dan kesehatan di bidang COVID-19 juga perlu terus didukung pemerintah," katanya.
Yang lebih penting lagi, kata Tjandra, kebijakan pemerintah secara umum harus tetap memberi porsi penting bagi kesehatan, khususnya kegiatan promotif preventif.