Mataram (ANTARA) - Wakil Dekan Fakultas Dakwah (FD) Institut Agama Islam Hamzanwadi (IAIH) Nahdlatul Wathan (NW) Lombok Timur, Yunita Indinabila menilai kebijakan Kemendikbudristek tentang tidak diwajibkannya skripsi sebagai syarat kelulusan, harus dimatangkan dahulu.
"Alternatif pengganti skripsi ini harus dimatangkan dulu, seperti bagaimana standar penilaiannya, apakah cukup dgn tugas individu atau perangkatan, lalu bagaimana cara membimbingnya, terutama fokus dengan peminatannya," katanya saat dihubungi di Mataram, Kamis.
Baca juga: Unram setuju kelulusan tanpa skripsi
Baca juga: Dekan FDIK UIN Mataram: skripsi diganti artikel kebijakan bagus
Ia menyebutkan skripsi itu perkara mental, sehingga dosen bisa tahu mahasiswa itu mentalnya kuat dengan cara bisa menguasai skripsinya.
"Terkadang di kelas mereka lambat memahami materi namun saat mengerjakan skripsi mahasiswa itu rajin belajar, rajin bimbingan, sehingga mampu menguasai permasalahan dalam skripsinya," katanya.
Disebutkan, jika dilihat dari Program studi (Prodi) Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) tentu lebih bagus jika standar kelulusan bukan hanya tulisan, akan tetapi penelitian juga.
"Kita di prodi KPI yang mana mahasiswa lulusannya dipersiapkan untuk menjadi praktisi, artinya memang harus terjun dan lansung bersentuhan dalam dunia masyarakat," katanya.
"Mahasiswa saat ini diminta untuk peka dan aktif terhadap lingkungan sekitar sehingga fokus pada fenomena sosial," lanjutnya.
Ia juga menambahkan, kebijakan meniadakan skripsi untuk pendidikan Strata 1 (S1) tentunya harus ada kerja sama dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, institut, fakultas, prodi, mahasiswa, masyarakat (media, institusi, lembaga).
Sebelumnya, Mendikbudristek Nadiem Makarim mengatakan, tidak lagi mewajibkan skripsi sebagai syarat kelulusan dengan catatan, pihak prodi harus menerapkan kurikulum berbasis proyek atau bentuk sejenis lainnya.
"Tugas akhir bisa berbentuk macam-macam, bisa berbentuk prototipe, proyek, ataupun bentuk lain tergantung keputusan masing-masing perguruan tinggi," katanya.
"Alternatif pengganti skripsi ini harus dimatangkan dulu, seperti bagaimana standar penilaiannya, apakah cukup dgn tugas individu atau perangkatan, lalu bagaimana cara membimbingnya, terutama fokus dengan peminatannya," katanya saat dihubungi di Mataram, Kamis.
Baca juga: Unram setuju kelulusan tanpa skripsi
Baca juga: Dekan FDIK UIN Mataram: skripsi diganti artikel kebijakan bagus
Ia menyebutkan skripsi itu perkara mental, sehingga dosen bisa tahu mahasiswa itu mentalnya kuat dengan cara bisa menguasai skripsinya.
"Terkadang di kelas mereka lambat memahami materi namun saat mengerjakan skripsi mahasiswa itu rajin belajar, rajin bimbingan, sehingga mampu menguasai permasalahan dalam skripsinya," katanya.
Disebutkan, jika dilihat dari Program studi (Prodi) Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) tentu lebih bagus jika standar kelulusan bukan hanya tulisan, akan tetapi penelitian juga.
"Kita di prodi KPI yang mana mahasiswa lulusannya dipersiapkan untuk menjadi praktisi, artinya memang harus terjun dan lansung bersentuhan dalam dunia masyarakat," katanya.
"Mahasiswa saat ini diminta untuk peka dan aktif terhadap lingkungan sekitar sehingga fokus pada fenomena sosial," lanjutnya.
Ia juga menambahkan, kebijakan meniadakan skripsi untuk pendidikan Strata 1 (S1) tentunya harus ada kerja sama dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, institut, fakultas, prodi, mahasiswa, masyarakat (media, institusi, lembaga).
Sebelumnya, Mendikbudristek Nadiem Makarim mengatakan, tidak lagi mewajibkan skripsi sebagai syarat kelulusan dengan catatan, pihak prodi harus menerapkan kurikulum berbasis proyek atau bentuk sejenis lainnya.
"Tugas akhir bisa berbentuk macam-macam, bisa berbentuk prototipe, proyek, ataupun bentuk lain tergantung keputusan masing-masing perguruan tinggi," katanya.