Mataram (Antara NTB) - Terdakwa pembebasan lahan dalam kawasan hutan lindung di Kedaro Mahrip bersumpah di hadapan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Mataram bahwa dirinya tidak pernah bertemu dengan pihak BPN Lombok Barat.

"Wallah billah ta`ala, demi Allah, saya tidak pernah bertemu dengan pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Lombok Barat, apalagi dengan pimpinannya," kata terdakwa H. Mahrip di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Jumat.

Terdakwa mengemukakan hal itu ketika menjawab pertanyaan Wari Juniati, pimpinan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Mataram, terkait dengan penerbitan sertifikat lahan seluas 10 hektare itu.

Sebelumnya, dalam berita acara pemeriksaan (BAP) penyidik Kejaksaan Negeri Mataram, mantan Wakil Bupati Lombok Barat itu diduga memiliki peran penting dalam penerbitan sembilan sertifikat di dalam kawasan hutan lindung.

Namun, dalam persidangan pada hari Jumat (13/11), terdakwa mengaku bahwa "kuncup bunga" kasusnya baru diketahui setelah melihat pemberitaan di media massa. Hal itu pun dipertegasnya bahwa lahan seluas 10 hektare yang dibebaskan BPN Lombok Barat tersebut menjadi sorotan Kepala Dinas Kehutanan NTB periode Hj. Hartinah.

"Jadi, tujuh bulan setelah istri saya memegang sertifikat lahannya, Kadishut NTB Hartinah yang didampingi Kadishut Lombok Barat datang menemui kami di rumah," ujarnya.

Berawal dari pertemuan itu, H, Mahrip mengetahui kepastian bahwa lahan tersebut bermasalah karena berada dalam kawasan hutan lindung milik negara.

"Sejak saat itu saya tahu persoalannya," kata Mahrip.

Terdakwa menceritakan bahwa lahan tersebut awalnya ditawarkan oleh Kepala Desa Kedaro Mustafa.

"Dia mengatakan bahwa lahan ini adalah wilayah garapan warga disana," ucapnya.

Setelah terjadi jual beli dengan Mustafa, H. Mahrip meminta kepada Muksan, kenalannya yang bekerja di BPN Lombok Barat, untuk mengurus sertifikat lahan yang awalnya diduga lahan garapan warga itu.

"Jadi, selama ini Muksan yang membantu saya untuk membuatkan sertifikat lahan di BPN Lombok Barat. Tidak hanya saya, keluarga saya juga. Setiap pembuatan sertifikat, selalu minta tolong sama Muksan," ujarnya.

Setelah mengajukan melalui Muksan, BPN Lombok Barat akhir tahun 2009 menerbitkan sembilan sertifikat lahan. Empat di antaranya mengatasnamakan istri Mahrip, yakni Inda Mahrip dan lima lainnya atas nama Nunuk.

"Dia serahkan seluruh sertifikat lahan itu melalui saya. Jadi, sekitar satu tahun satu bulan dari periode pengajuan, sertifikatnya baru diterbitkan BPN Lombok Barat," kata Mahrip. (*)

Pewarta :
Editor : Awaludin
Copyright © ANTARA 2024