Mataram (ANTARA) - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat, memvonis hukuman 7 tahun penjara terhadap mantan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sumbawa Dede Hasan Basri karena terbukti menerima gratifikasi dan suap pada pengelolaan dana Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) 2022.

"Mengadili dengan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Dede Hasan Basri dengan pidana hukuman selama 7 tahun penjara," kata Hakim Ketua Jarot Widiyatmono ketika membacakan putusan terdakwa Dede Hasan Basri di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Mataram, Rabu petang.

Dalam putusan, majelis hakim dengan anggota Glorious Anggundoro dan Djoko Soepriyono turut menjatuhkan pidana denda terhadap terdakwa sebesar Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan. Hakim menjatuhkan pidana pokok tersebut sesuai dengan tuntutan jaksa dengan menyatakan perbuatan terdakwa terbukti melanggar dakwaan pertama.

"Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi beberapa kali jabatan sebagai Direktur RSUD Sumbawa, kuasa pengguna anggaran, pejabat pembuat komitmen, dan pemimpin BLUD pada RSUD Sumbawa," ucap dia.

Dakwaan tersebut berkaitan dengan Pasal 12 huruf e juncto Pasal 18 ayat (1) huruf a dan b, ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Namun, ada sedikit penambahan dalam amar putusan hakim terkait dengan uang pengganti kerugian keuangan negara. Hakim turut membebankan terdakwa membayar uang pengganti sejumlah Rp1,47 miliar subsider 2 tahun kurungan pengganti.

"Turut menetapkan penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan dan menetapkan terdakwa tetap ditahan," ujarnya.

Terkait dengan penambahan uang pengganti kerugian keuangan negara, hakim ad hoc Djoko Soepriyono yang turut membacakan vonis hukuman dalam persidangan menyampaikan bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur memaksa sesuai yang tercantum dalam Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.

"Bahwa perbuatan terdakwa menerima uang fee dari pihak rekanan penyedia barang melalui saksi Muhammad Zainuri telah memenuhi unsur Pasal 12 huruf e Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," kata Djoko.

Terkait dengan keterlibatan saksi Muhammad Zainuri yang merupakan tenaga honorer pada RSUD Sumbawa terungkap sebagai pelengkap unsur pidana pemaksaan yang dilakukan oleh terdakwa dalam kapasitas sebagai Direktur RSUD Sumbawa.

"Sesuai dengan fakta persidangan, secara psikis Muhammad Zainuri berada dalam tekanan terdakwa agar mengumpulkan dan menagih fee dari pihak rekanan. Muhammad Zainuri sebagai tenaga honorer tidak bisa berbuat apa pun mengingat perintah itu langsung dari terdakwa sebagai Direktur RSUD Sumbawa," ujarnya.

Baca juga: Kejari Sumbawa Barat sita aset terdakwa korupsi penyertaan modal perusda
Baca juga: Seratus lebih saksi kasus korupsi masker COVID-19 di Mataram diperiksa

Dengan menguraikan pertimbangan demikian, uang pengganti kerugian keuangan negara Rp1,47 miliar yang dibebankan kepada terdakwa diterangkan dalam amar putusan berasal dari setoran saksi Muhammad Zainuri maupun beberapa pegawai honor lainnya.

"Sesuai dengan fakta persidangan terungkap bahwa dari hasil penarikan atau penagihan fee dari para pihak rekanan disetorkan kepada terdakwa, baik secara tunai maupun transfer ke rekening pribadi terdakwa," ucap dia.

 

Pewarta : Dhimas Budi Pratama
Editor : I Komang Suparta
Copyright © ANTARA 2024