Jakarta (ANTARA) - Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nahar mengimbau institusi pendidikan agar lebih berhati-hati dalam merekrut tenaga bantu pendidikan di sekolah.
"Institusi pendidikan agar lebih berhati-hati dalam mengambil tenaga bantu pendidikan di sekolah, bisa dengan melakukan pendampingan selama proses belajar mengajar," kata Nahar saat dikonfirmasi di Jakarta, Kamis, menanggapi kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum guru terhadap 15 murid Sekolah Dasar (SD) swasta di Yogyakarta.
Pasalnya pelaku merupakan guru perbantuan dari pihak swasta untuk mengajar mata pelajaran content creator di sekolah tersebut, sehingga statusnya sebagai guru tidak tetap di sekolah itu.
Belajar dari kasus ini, kata Nahar, perlu dipikirkan agar sekolah melakukan edukasi mengenai isu seksualitas bagi siswa di sekolah.
"Sosialisasi dan psiko-edukasi ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman siswa tentang seksualitas, sehingga mereka dapat terhindar dari kekerasan seksual," kata dia.
Baca juga: Guru Besar: Tiga fundamental pendidikan di Indonesia untuk raih bonus demografi
Sebelumnya, sebanyak 15 anak di sekolah dasar swasta di Yogyakarta, diduga menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang oknum guru laki-laki berinisial NB (22).
Korban terdiri atas anak perempuan dan anak laki-laki dengan rentang usia 11 - 12 tahun.
Pelaku melakukan tindak kekerasan seksual sembari menyodorkan senjata tajam ke korban. Selain itu, korban juga dipertontonkan video dewasa dan mengajarkan siswa menggunakan aplikasi yang menyediakan layanan pekerja seks komersial.
Pencabulan diduga terjadi sejak Agustus hingga Oktober 2023.
Pelaku merupakan guru mata pelajaran content creator di sekolah tersebut.
Baca juga: Pentingnya peran guru bentuk generasi unggul masa depan
"Institusi pendidikan agar lebih berhati-hati dalam mengambil tenaga bantu pendidikan di sekolah, bisa dengan melakukan pendampingan selama proses belajar mengajar," kata Nahar saat dikonfirmasi di Jakarta, Kamis, menanggapi kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum guru terhadap 15 murid Sekolah Dasar (SD) swasta di Yogyakarta.
Pasalnya pelaku merupakan guru perbantuan dari pihak swasta untuk mengajar mata pelajaran content creator di sekolah tersebut, sehingga statusnya sebagai guru tidak tetap di sekolah itu.
Belajar dari kasus ini, kata Nahar, perlu dipikirkan agar sekolah melakukan edukasi mengenai isu seksualitas bagi siswa di sekolah.
"Sosialisasi dan psiko-edukasi ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman siswa tentang seksualitas, sehingga mereka dapat terhindar dari kekerasan seksual," kata dia.
Baca juga: Guru Besar: Tiga fundamental pendidikan di Indonesia untuk raih bonus demografi
Sebelumnya, sebanyak 15 anak di sekolah dasar swasta di Yogyakarta, diduga menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang oknum guru laki-laki berinisial NB (22).
Korban terdiri atas anak perempuan dan anak laki-laki dengan rentang usia 11 - 12 tahun.
Pelaku melakukan tindak kekerasan seksual sembari menyodorkan senjata tajam ke korban. Selain itu, korban juga dipertontonkan video dewasa dan mengajarkan siswa menggunakan aplikasi yang menyediakan layanan pekerja seks komersial.
Pencabulan diduga terjadi sejak Agustus hingga Oktober 2023.
Pelaku merupakan guru mata pelajaran content creator di sekolah tersebut.
Baca juga: Pentingnya peran guru bentuk generasi unggul masa depan