Denpasar (ANTARA) - Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi Bali mengungkap konflik dua mantan pejabat tinggi Universitas Udayana yakni antara terdakwa mantan rektor I Gede Nyoman Antara dengan Anak Agung Raka Sudewi yang juga mantan rektor dan pernah menjadi saksi dalam sidang perkara dugaan tindak pidana korupsi dana sumbangan pengembangan institusi.
Hal itu terungkap dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Denpasar, Bali, Selasa dengan agenda pemeriksaan terdakwa Prof. I Nyoman Gede Antara.
Jaksa Nengah Astawa menanyakan kepada terdakwa Prof. Antara terkait penyebab ketidakharmonisan dua pejabat tinggi Unud tersebut hingga berpengaruh terhadap kinerja satuan kerja di universitas itu sendiri.
"Dari saya mungkin subjektif sekali, saya merasakan sejak saya menyampaikan maksud saya maju menjadi calon rektor secara terbuka kepada beliau (Prof. Raka Sudewi), saya bilang Bu, mungkin setelah ibu jadi rektor saya ingin maju," kata Prof. Antara di hadapan majelis hakim.
Prof. Antara mengaku kemungkinan sejak saat itu Prof. Rakasudewi tidak berkenan karena dirinya terlalu berani menyampaikan itu pada saat dia masih berstatus sebagai bawahan rektor.
"Atau mungkin beliau berpikir belum saatnya saya melapor seperti itu. Padahal beberapa bulan lagi beliau sudah selesai. Jadi dari pada saya sembunyikan lebih baik saya terus terang," katanya.
Sejak saat itu, Prof. Antara mengaku tidak banyak dilibatkan dalam berbagai rapat pimpinan sehingga menyebabkan hubungan keduanya semakin renggang sebagai partner kerja.
Dalam sidang tersebut, JPU juga membeberkan isi pesan WhatsApp terdakwa Nyoman Putra Sastra (berkas penuntutan terpisah) dengan terdakwa I Nyoman Gede Antara yang isinya 'ya kita lihat-lihat situasi. Impact besar kita bersatu USDI, NPS, dan lain-lain'.
"Apakah memang situasinya pada saat itu tidak bagus karena adanya blok-blok seperti itu? Atau dalam konteks apa ini saudara terdakwa?," cecar Jaksa.
"Maksud saya supaya unit-unit lain tidak diperlakukan seperti saya. Jangan seperti saya supaya tak ada kesulitan lagi. Kalau semua seperti itu kan jadi masalah di Universitas. Semua sesuai arahan Bu rektor," kata Terdakwa Prof. Antara.
Baca juga: Kejari Mataram ungkap pemufakatan jahat di kasus korupsi dana KUR
Baca juga: Jaksa Tipikor Mataram tuntut 10 tahun mantan kabid minerba
Begitu pun saat Jaksa membacakan isi pesan antara terdakwa Prof. Nyoman Gede Antara dan Nyoman Putra Sastra pada 20 Januari 2021 yang isinya 'mendadak ada audit mendalam SPI. Ada isu penyalahgunaan anggaran wkwkwk'.
"Apa maksudnya? Ada isu apa sebenarnya pada Januari 2021?," tanya jaksa.
Prof. Antara mengaku lupa akan hal tersebut. Dirinya mengelak bahwa urusan dana sumbangan pengembangan institusi adalah urusan biro perencanaan keuangan bukan urusan biro akademik yang saat itu dipimpinnya.
"Mohon maaf, saya sebetulnya lupa-lupa ingat yang mulia. Karena yang mengaudit SPI itu bukan tim kami. Yang menjadi auditor bukan akademi, itu keuangan. Saya tidak tahu apa-apa. Setahu saya memang lima auditor sejak 2018 dari BPK, inspektorat, SPI, Akuntan publik. Setiap tahun pasti ada. Kami tidak pernah khawatir. Kami senang menerima auditor," kata Antara.
Hal itu terungkap dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Denpasar, Bali, Selasa dengan agenda pemeriksaan terdakwa Prof. I Nyoman Gede Antara.
Jaksa Nengah Astawa menanyakan kepada terdakwa Prof. Antara terkait penyebab ketidakharmonisan dua pejabat tinggi Unud tersebut hingga berpengaruh terhadap kinerja satuan kerja di universitas itu sendiri.
"Dari saya mungkin subjektif sekali, saya merasakan sejak saya menyampaikan maksud saya maju menjadi calon rektor secara terbuka kepada beliau (Prof. Raka Sudewi), saya bilang Bu, mungkin setelah ibu jadi rektor saya ingin maju," kata Prof. Antara di hadapan majelis hakim.
Prof. Antara mengaku kemungkinan sejak saat itu Prof. Rakasudewi tidak berkenan karena dirinya terlalu berani menyampaikan itu pada saat dia masih berstatus sebagai bawahan rektor.
"Atau mungkin beliau berpikir belum saatnya saya melapor seperti itu. Padahal beberapa bulan lagi beliau sudah selesai. Jadi dari pada saya sembunyikan lebih baik saya terus terang," katanya.
Sejak saat itu, Prof. Antara mengaku tidak banyak dilibatkan dalam berbagai rapat pimpinan sehingga menyebabkan hubungan keduanya semakin renggang sebagai partner kerja.
Dalam sidang tersebut, JPU juga membeberkan isi pesan WhatsApp terdakwa Nyoman Putra Sastra (berkas penuntutan terpisah) dengan terdakwa I Nyoman Gede Antara yang isinya 'ya kita lihat-lihat situasi. Impact besar kita bersatu USDI, NPS, dan lain-lain'.
"Apakah memang situasinya pada saat itu tidak bagus karena adanya blok-blok seperti itu? Atau dalam konteks apa ini saudara terdakwa?," cecar Jaksa.
"Maksud saya supaya unit-unit lain tidak diperlakukan seperti saya. Jangan seperti saya supaya tak ada kesulitan lagi. Kalau semua seperti itu kan jadi masalah di Universitas. Semua sesuai arahan Bu rektor," kata Terdakwa Prof. Antara.
Baca juga: Kejari Mataram ungkap pemufakatan jahat di kasus korupsi dana KUR
Baca juga: Jaksa Tipikor Mataram tuntut 10 tahun mantan kabid minerba
Begitu pun saat Jaksa membacakan isi pesan antara terdakwa Prof. Nyoman Gede Antara dan Nyoman Putra Sastra pada 20 Januari 2021 yang isinya 'mendadak ada audit mendalam SPI. Ada isu penyalahgunaan anggaran wkwkwk'.
"Apa maksudnya? Ada isu apa sebenarnya pada Januari 2021?," tanya jaksa.
Prof. Antara mengaku lupa akan hal tersebut. Dirinya mengelak bahwa urusan dana sumbangan pengembangan institusi adalah urusan biro perencanaan keuangan bukan urusan biro akademik yang saat itu dipimpinnya.
"Mohon maaf, saya sebetulnya lupa-lupa ingat yang mulia. Karena yang mengaudit SPI itu bukan tim kami. Yang menjadi auditor bukan akademi, itu keuangan. Saya tidak tahu apa-apa. Setahu saya memang lima auditor sejak 2018 dari BPK, inspektorat, SPI, Akuntan publik. Setiap tahun pasti ada. Kami tidak pernah khawatir. Kami senang menerima auditor," kata Antara.