Mataram (ANTARA) - Angka perkawinan anak di Nusa Tenggara Barat (NTB) masih tinggi, bahkan angkanya di atas rata-rata nasional.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTB, Nunung Triningsih, mengakui dari data Pengadilan Tinggi Agama NTB selama periode 2023 terdapat 723 kasus pengajuan dispensasi pernikahan di bawah umur.
"Kawin anak masih kerap terjadi dengan salah satu celahnya adalah melalui permohonan dispensasi ke pengadilan, meski kasus dispensasi pernikahan di NTB angkanya fluktuatif," ujarnya pada dialog kebijakan publik bertemakan "Dilematik Dispensasi Kawin dalam Perkawinan Anak di NTB" di kantor Gubernur NTB di Mataram, Rabu.
Ia mengatakan dari tahun 2019 ada 302 kasus, tahun 2020 ada 875, tahun 2021 meningkat di angka 1.127, tahun 2022 menurun jadi 710 dan tahun 2023 sebanyak 723 kasus.
Sementara berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2022 NTB merupakan provinsi dengan angka perkawinan anak tertinggi di tingkat nasional, yakni 16,23 persen. Angka tersebut dua kali lipat lebih besar dari capaian nasional pada tahun 2022, yakni 8,06 persen.
"Meskipun angkanya menurun menurut Susenas, dari 16,61 persen di 2020, menjadi 16,23 persen di 2022, namun penurunan ini masih kurang signifikan," terang Nunung.
Menurut dia, Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB telah berinisiatif mengeluarkan serangkaian kebijakan, di antaranya Peraturan Daerah (Perda) NTB Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pencegahan Perkawinan Anak dan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 34 Tahun 2023 tentang Rencana Aksi Daerah Pencegahan Perkawinan Anak Tahun 2023-2026. Namun demikian, perkawinan anak masih kerap terjadi, salah satunya dilakukan melalui jalur dispensasi.
"Kami sudah memiliki Perda dan awik-awik, namun sanksi yang masih belum diterapkan secara tegas yang menyulitkan dalam menindak pelaku perkawinan anak. Komitmen kita bersama dalam melakukan pencegahan perkawinan anak dan jika kita melakukan bersama, angka kasus perkawinan bisa menurun," katanya.
Direktur Eksekutif Plan Indonesia, Dini Widiastuti, menegaskan bahwa temuan di lapangan dan konsultasi anak menunjukkan pentingnya penguatan peran masyarakat dalam pencegahan perkawinan anak, termasuk tokoh agama dan adat.
"Perlunya pengawasan dan dukungan organisasi kemasyarakatan, serta komunitas anak dan kaum muda, termasuk Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), termasuk sekolah untuk mampu mengenali risiko, melaporkan kasus, dan merespon kasus perkawinan anak," ujarnya.
Kepentingan terbaik untuk Anak Plan Indonesia bersama dengan Koalisi 18+ dalam kesempatan ini juga meluncurkan kertas kebijakan tentang Pemenuhan dan Perlindungan Hak Anak dalam Permohonan dan Putusan Dispensasi Usia Perkawinan yang disusun oleh Plan Indonesia. Studi ini juga diharapkan dapat menjadi masukan terhadap Mahkamah Agung dalam melakukan evaluasi atas PERMA 5/2019.
Sekretaris Dinas DP3AP2KB Kabupaten Lombok Barat, Erni Suryana mengatakan untuk mencegah terjadinya pernikahan di bawah umur pihaknya sudah melakukan kerja sama dengan Pengadilan Agama Giri Menang agar tidak mudah mengabulkan permohonan dispensasi nikah.
"Jadi banyak kasus-kasus permohonan yang ditolak Pengadilan Agama. Tapi masalahnya banyak masyarakat yang mengajukan permohonan dispensasi sudah menikah dulu," ujarnya.
Ketua Kamar Agama Mahkamah Agung, Prof Amran Suadi, menyatakan setelah terbitnya UU Nomor 16 Tahun 2019, Mahkamah Agung segera merespon dengan menerbitkan Perma Nomor 5 Tahun 2019 sebagai upaya mencegah perkawinan pada usia anak.
Selain itu, hakim selalu berupaya memastikan kepentingan terbaik bagi anak dengan memeriksa permohonan dispensasi dengan cermat.
"Kami juga meyakini bahwa berbagai alasan pengajuan dispensasi kawin dengan alasan kehamilan tidak sejalan dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak," katanya.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTB, Nunung Triningsih, mengakui dari data Pengadilan Tinggi Agama NTB selama periode 2023 terdapat 723 kasus pengajuan dispensasi pernikahan di bawah umur.
"Kawin anak masih kerap terjadi dengan salah satu celahnya adalah melalui permohonan dispensasi ke pengadilan, meski kasus dispensasi pernikahan di NTB angkanya fluktuatif," ujarnya pada dialog kebijakan publik bertemakan "Dilematik Dispensasi Kawin dalam Perkawinan Anak di NTB" di kantor Gubernur NTB di Mataram, Rabu.
Ia mengatakan dari tahun 2019 ada 302 kasus, tahun 2020 ada 875, tahun 2021 meningkat di angka 1.127, tahun 2022 menurun jadi 710 dan tahun 2023 sebanyak 723 kasus.
Sementara berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2022 NTB merupakan provinsi dengan angka perkawinan anak tertinggi di tingkat nasional, yakni 16,23 persen. Angka tersebut dua kali lipat lebih besar dari capaian nasional pada tahun 2022, yakni 8,06 persen.
"Meskipun angkanya menurun menurut Susenas, dari 16,61 persen di 2020, menjadi 16,23 persen di 2022, namun penurunan ini masih kurang signifikan," terang Nunung.
Menurut dia, Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB telah berinisiatif mengeluarkan serangkaian kebijakan, di antaranya Peraturan Daerah (Perda) NTB Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pencegahan Perkawinan Anak dan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 34 Tahun 2023 tentang Rencana Aksi Daerah Pencegahan Perkawinan Anak Tahun 2023-2026. Namun demikian, perkawinan anak masih kerap terjadi, salah satunya dilakukan melalui jalur dispensasi.
"Kami sudah memiliki Perda dan awik-awik, namun sanksi yang masih belum diterapkan secara tegas yang menyulitkan dalam menindak pelaku perkawinan anak. Komitmen kita bersama dalam melakukan pencegahan perkawinan anak dan jika kita melakukan bersama, angka kasus perkawinan bisa menurun," katanya.
Direktur Eksekutif Plan Indonesia, Dini Widiastuti, menegaskan bahwa temuan di lapangan dan konsultasi anak menunjukkan pentingnya penguatan peran masyarakat dalam pencegahan perkawinan anak, termasuk tokoh agama dan adat.
"Perlunya pengawasan dan dukungan organisasi kemasyarakatan, serta komunitas anak dan kaum muda, termasuk Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), termasuk sekolah untuk mampu mengenali risiko, melaporkan kasus, dan merespon kasus perkawinan anak," ujarnya.
Kepentingan terbaik untuk Anak Plan Indonesia bersama dengan Koalisi 18+ dalam kesempatan ini juga meluncurkan kertas kebijakan tentang Pemenuhan dan Perlindungan Hak Anak dalam Permohonan dan Putusan Dispensasi Usia Perkawinan yang disusun oleh Plan Indonesia. Studi ini juga diharapkan dapat menjadi masukan terhadap Mahkamah Agung dalam melakukan evaluasi atas PERMA 5/2019.
Sekretaris Dinas DP3AP2KB Kabupaten Lombok Barat, Erni Suryana mengatakan untuk mencegah terjadinya pernikahan di bawah umur pihaknya sudah melakukan kerja sama dengan Pengadilan Agama Giri Menang agar tidak mudah mengabulkan permohonan dispensasi nikah.
"Jadi banyak kasus-kasus permohonan yang ditolak Pengadilan Agama. Tapi masalahnya banyak masyarakat yang mengajukan permohonan dispensasi sudah menikah dulu," ujarnya.
Ketua Kamar Agama Mahkamah Agung, Prof Amran Suadi, menyatakan setelah terbitnya UU Nomor 16 Tahun 2019, Mahkamah Agung segera merespon dengan menerbitkan Perma Nomor 5 Tahun 2019 sebagai upaya mencegah perkawinan pada usia anak.
Selain itu, hakim selalu berupaya memastikan kepentingan terbaik bagi anak dengan memeriksa permohonan dispensasi dengan cermat.
"Kami juga meyakini bahwa berbagai alasan pengajuan dispensasi kawin dengan alasan kehamilan tidak sejalan dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak," katanya.