Jakarta (ANTARA) - Pakar Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahardiansah menilai pasal-pasal terkait tembakau harus dipisahkan dari Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan.
Trubus dalam keterangannya di Jakarta, Jumat mengatakan bahwa selama ini produk turunan tembakau sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012.
Oleh karena itu, ia mempertanyakan relevansi pengaturan pasal terkait produk tembakau dalam RPP Kesehatan.
"Jadi, kalau diatur di situ (RPP Kesehatan) terkait tembakau, kemungkinan akan berdampak pada industri. Seharusnya memang di dalam RPP itu tidak mengatur lebih lanjut lagi terkait tembakau. Lebih bagus dibiarkan saja sesuai undang-undangnya, yaitu terpisah (dari RPP Kesehatan)," ujarnya.
Selain itu, Trubus menekankan perlunya partisipasi publik secara luas dalam proses penyusunan RPP Kesehatan. Harapannya, agar pemerintah memiliki kebijakan yang terbaik bagi semua pihak, termasuk bagi industri.
"Ini akan membantu proses perumusan," katanya.
Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa hingga saat ini masih banyak terdapat pasal-pasal dalam RPP Kesehatan yang menuai perdebatan publik, termasuk pasal-pasal tembakau. Untuk itu, Trubus mendesak agar pengesahan RPP Kesehatan untuk ditunda atau tidak dipaksakan dikejar dalam waktu dekat.
Diketahui, Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) menilai pengaturan produk tembakau sebaiknya dipisahkan dari pembahasan RPP Kesehatan dengan pertimbangan bahwa industri hasil tembakau (IHT) memiliki ekosistem yang berbeda secara signifikan dengan sektor kesehatan.
Ketua Umum Gappri Henry Najoan mengatakan pasal-pasal terkait produk tembakau seharusnya diatur dalam pengaturan tersendiri sebagaimana mandat UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Banyaknya larangan terhadap produk tembakau seperti adanya pembatasan kandungan TAR dan nikotin serta pelarangan bahan tambahan dikhawatirkan dapat menyebabkan penutupan usaha bagi anggota Gappri ke depannya.
"Kretek yang menjadi produk anggota kami, menggunakan bahan tambahan rempah sebagai penggenap rasa. Anggota kami juga menggunakan tembakau dalam negeri yang berkadar nikotin tinggi dalam pembuatan rokok. Kalau dibatasi dan dilarang, kami lah yang terkena dampak terlebih dahulu," kata dia.
Baca juga: Peneliti: Tembakau alternatif lebih rendah risiko kesehatan
Baca juga: Ahli menegaskan vape miliki kandungan sama berbahaya dengan rokok
Henry juga menegaskan sebelum adanya RPP Kesehatan, IHT telah menghadapi banyak tekanan regulasi. Dari 446 regulasi yang saat ini mengatur IHT, sebanyak 400 (89,68 persen) berbentuk kontrol, 41 (9,19 persen) lainnya mengatur soal cukai hasil tembakau, dan hanya 5 (1,12 persen) regulasi yang mengatur isu ekonomi/kesejahteraan.
Untuk itu, Gappri memohon kepada pemerintah memprioritaskan upaya perlindungan IHT yang menjadi tempat bergantung bagi 6,1 juta jiwa.
"Kami mengusulkan untuk tidak dilakukan perubahan pengaturan terhadap industri produk tembakau yang berpotensi semakin memberatkan kelangsungan usaha IHT nasional," tuturnya.
Trubus dalam keterangannya di Jakarta, Jumat mengatakan bahwa selama ini produk turunan tembakau sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012.
Oleh karena itu, ia mempertanyakan relevansi pengaturan pasal terkait produk tembakau dalam RPP Kesehatan.
"Jadi, kalau diatur di situ (RPP Kesehatan) terkait tembakau, kemungkinan akan berdampak pada industri. Seharusnya memang di dalam RPP itu tidak mengatur lebih lanjut lagi terkait tembakau. Lebih bagus dibiarkan saja sesuai undang-undangnya, yaitu terpisah (dari RPP Kesehatan)," ujarnya.
Selain itu, Trubus menekankan perlunya partisipasi publik secara luas dalam proses penyusunan RPP Kesehatan. Harapannya, agar pemerintah memiliki kebijakan yang terbaik bagi semua pihak, termasuk bagi industri.
"Ini akan membantu proses perumusan," katanya.
Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa hingga saat ini masih banyak terdapat pasal-pasal dalam RPP Kesehatan yang menuai perdebatan publik, termasuk pasal-pasal tembakau. Untuk itu, Trubus mendesak agar pengesahan RPP Kesehatan untuk ditunda atau tidak dipaksakan dikejar dalam waktu dekat.
Diketahui, Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) menilai pengaturan produk tembakau sebaiknya dipisahkan dari pembahasan RPP Kesehatan dengan pertimbangan bahwa industri hasil tembakau (IHT) memiliki ekosistem yang berbeda secara signifikan dengan sektor kesehatan.
Ketua Umum Gappri Henry Najoan mengatakan pasal-pasal terkait produk tembakau seharusnya diatur dalam pengaturan tersendiri sebagaimana mandat UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Banyaknya larangan terhadap produk tembakau seperti adanya pembatasan kandungan TAR dan nikotin serta pelarangan bahan tambahan dikhawatirkan dapat menyebabkan penutupan usaha bagi anggota Gappri ke depannya.
"Kretek yang menjadi produk anggota kami, menggunakan bahan tambahan rempah sebagai penggenap rasa. Anggota kami juga menggunakan tembakau dalam negeri yang berkadar nikotin tinggi dalam pembuatan rokok. Kalau dibatasi dan dilarang, kami lah yang terkena dampak terlebih dahulu," kata dia.
Baca juga: Peneliti: Tembakau alternatif lebih rendah risiko kesehatan
Baca juga: Ahli menegaskan vape miliki kandungan sama berbahaya dengan rokok
Henry juga menegaskan sebelum adanya RPP Kesehatan, IHT telah menghadapi banyak tekanan regulasi. Dari 446 regulasi yang saat ini mengatur IHT, sebanyak 400 (89,68 persen) berbentuk kontrol, 41 (9,19 persen) lainnya mengatur soal cukai hasil tembakau, dan hanya 5 (1,12 persen) regulasi yang mengatur isu ekonomi/kesejahteraan.
Untuk itu, Gappri memohon kepada pemerintah memprioritaskan upaya perlindungan IHT yang menjadi tempat bergantung bagi 6,1 juta jiwa.
"Kami mengusulkan untuk tidak dilakukan perubahan pengaturan terhadap industri produk tembakau yang berpotensi semakin memberatkan kelangsungan usaha IHT nasional," tuturnya.