Jakarta (ANTARA) - Kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) berkedok program magang mahasiswa ke Jerman atau ferienjob menjadi sorotan publik Indonesia akhir-akhir ini.
Kasus ini terungkap setelah empat mahasiswa Indonesia yang sedang mengikuti ferienjob mengadu kepada KBRI Berlin.
Setelah ditelusuri KBRI, sebanyak 33 perguruan tinggi di Indonesia diduga terlibat dalam kasus dengan total 1.047 mahasiswa menjadi korban tindak pidana kejahatan lintas negara ini.
Polri kemudian menyelidiki lebih jauh kasus ini dan telah menetapkan lima tersangka yang seluruhnya WNI, dua orang di Jerman dan tiga orang lainnya di Indonesia. Mereka dijerat Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO dengan ancaman penjara paling lama 15 tahun dan denda Rp600 juta.
Kelima tersangka yakni ER alias EW (39), A alias AE (37), AJ (52), SS (65), dan MA (60) juga terancam dikenai Pasal 81 UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 tahun dan pidana denda hingga Rp15 miliar.
Berdasarkan keterangan yang dihimpun pihak kepolisian, awalnya para mahasiswa mendapat informasi mengenai ferienjob dari PT CVGEN dan PT SHB yang mengadakan sosialisasi di kampus-kampus mereka.
Para pelaku mengiming-imingi para mahasiswa dengan menjanjikan program magang setara dengan 20 SKS perkuliahan. Mereka pun mengklaim program tersebut telah terdaftar di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), padahal sejatinya tidak.
Untuk bisa mengikuti program magang tersebut, para mahasiswa diminta membayar biaya pendaftaran sebesar Rp150 ribu ke rekening PT CVGEN dan membayar sebesar 150 euro (sekitar Rp2,5 juta) untuk pembuatan letter of acceptance (LoA) kepada PT SHB.
Setelah LoA terbit, korban harus membayar sebesar 200 Euro lagi kepada PT SHB untuk pembuatan approval atau izin kerja dari otoritas Jerman.
Mahasiswa juga dibebankan dana talangan sebesar Rp30 juta hingga Rp50 juta yang pengembalian dana tersebut dengan cara pemotongan upah kerja setiap bulan.
Setelah mahasiswa sampai di Jerman, mereka langsung disodori surat kontrak kerja oleh PT SHB dan izin kerja untuk didaftarkan ke Kementerian Tenaga Kerja Jerman.
Para mahasiswa yang menjadi korban melaksanakan ferienjob dalam kurun waktu selama 3 bulan, dari Oktober hingga Desember 2023.
Tak sesuai janji
Alih-alih mengikuti magang pendidikan yang dapat dikonversi menjadi SKS perkuliahan di Indonesia, sejumlah mahasiswa malah mengaku harus melakukan pekerjaan fisik selama berada di Jerman.
Salah seorang korban berinisial N asal Jambi menceritakan pengalamannya ketika harus bekerja sebagai kuli panggul paket di sebuah perusahaan logistik internasional di Kota Bremen, Jerman.
Selain tidak sesuai dengan jurusan kuliahnya di Universitas Jambi, N menyebut pekerjaan mengangkut paket bahkan ada yang seberat 30 kilogram dan 40 kilogram, tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan.
Selama bekerja, mereka diawasi ketat dan tidak boleh saling bantu. Beratnya pekerjaan fisik itu membuat banyak mahasiswa jatuh sakit pada pekan pertama bekerja.
N kemudian mengungkap fakta lainnya bahwa ketika penandatanganan kontrak kerja pada 16 Oktober 2023, para mahasiswa tidak diperbolehkan menerjemahkan isi kontrak kerja yang seluruhnya ditulis dengan bahasa Jerman.
Lantas, apa sebenarnya ferienjob ini?
Merujuk keterangan dalam laman Kementerian Luar Negeri RI yang dirilis guna merespons kasus ini, ferienjob adalah kerja paruh waktu dalam masa libur semester yang resmi.
Diatur dalam Pasal 14 ayat 2 Ordonansi Ketenagakerjaan Jerman (Beschaftigungsverordnung/BeschV), ferienjob bukan kerja magang melainkan bagian dari pasar tenaga kerja.
Jenis jobs yang ditawarkan adalah pekerjaan yang pada umumnya termasuk pekerjaan yang mengandalkan tenaga fisik, seperti mengangkat kardus logistik, pengemasan barang untuk dikirim, mencuci piring di restoran, atau menangani koper di bandara (porter).
Kemlu menegaskan bahwa ferienjob tidak dilaksanakan dalam kerangka kerja sama bilateral antarpemerintah. Program ini juga tidak berhubungan dengan kegiatan akademis dan/atau kompetensi akademik mahasiswa.
Tujuan ferienjob adalah mengisi kekurangan tenaga kerja fisik di berbagai perusahaan Jerman dan hanya untuk mengisi masa liburan semester mahasiswa dengan bekerja dan mendapatkan uang tambahan.
Sesuai peraturan Jerman, masa kerja ferienjob maksimum 90 hari dalam jangka waktu 12 bulan selama liburan semester resmi di negara asal dan tidak dapat diperpanjang.
Pada Maret 2022, Badan Ketenagakerjaan Federal Jerman menerbitkan brosur mengenai persyaratan dan prosedur penerimaan ferienjob di Jerman. Ferienjob ditawarkan kepada mahasiswa di negara-negara Uni Eropa (EU), dan untuk negara non-EU baru dimulai sejak tahun 2022.
Benahi tata kelola
Di luar masalah ekspektasi, munculnya kasus ferienjob ini bisa dipicu karena ketidakjelasan tata kelola program magang bagi mahasiswa Indonesia ke luar negeri.
Berbeda dengan pola pemberangkatan pekerja migran Indonesia yang sesuai UU diatur oleh Kementerian Ketenagakerjaan bekerja sama dengan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) sebagai pelaksana, sampai saat ini belum ada pengaturan yang jelas bagi mahasiswa Indonesia yang ingin magang di luar negeri.
Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kemendikbudristek Kiki Yuliati menyatakan bahwa ferienjob bukan merupakan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).
Magang yang masuk dalam program MBKM tidak diselenggarakan dalam masa libur tetapi pada semester berjalan karena harus berkontribusi terhadap nilai atau prestasi akademik mahasiswa.
Selain itu, magang yang masuk dalam MBKM juga harus berkaitan dengan pembelajaran yang menguatkan kompetensi yang diikuti mahasiswa di program studinya sehingga meski tidak sama namun harus selaras sehingga memperkuat pembelajaran di kampus.
Kiki menuturkan Pemerintah mewajibkan penyelenggara magang yang masuk dalam program MBKM untuk merancang kegiatan yang bisa melatih hard skill dan soft skill mahasiswa.
Dia pun menganggap telah terjadi misinformasi di masyarakat terkait ferienjob yang dipersepsikan sebagai magang MBKM.
Namun, penegasan dari Kemendikbudristek itu saja tidak cukup untuk mencegah kasus TPPO berkedok magang ke luar negeri kembali terulang.
Pasca-terungkap kasus itu, Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) mengatakan melakukan evaluasi dan akan memperbaiki regulasi untuk memfasilitasi mahasiswa Indonesia magang ke luar negeri.
Deputi bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama Kemenko PMK Warsito bahkan berharap agar kasus ini jangan sampai membuat mahasiswa urung untuk melakukan aktivitas magang.
Program magang ke luar negeri akan terus dilanjutkan karena sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kompetensi keterampilan dan pengalaman kerja para mahasiswa.
Tentunya dalam proses pembenahan tata kelola tersebut ada banyak aspek yang perlu diatur secara detail, terutama siapa pihak yang bertanggung jawab mengenai pemberangkatan mahasiswa ke luar negeri, kementerian mana yang berhak memberikan izin bagi agensi yang memberangkatkan mahasiswa, termasuk soal biaya magang yang perlu ditegaskan apakah harus ditanggung sepenuhnya oleh mahasiswa atau dapat didukung pihak kampus.
Yang tidak kalah penting, regulasi tersebut juga harus mengatur berapa lama waktu magang yang disyaratkan setiap hari, apakah ada proses pembelajaran atau mentoring di dalamnya, apakah program magang yang diikuti mahasiswa harus sesuai dengan jurusan kuliah mereka, dan apakah mahasiswa berhak mendapat gaji selama mengikuti magang.
Pemerintah pun harus secara tegas menjelaskan definisi antara dua jenis program magang, baik itu magang pendidikan maupun magang pencari kerja serta kriteria yang menyertai masing-masing program tersebut.
Berhati-hati
Sambil menunggu Pemerintah merampungkan perbaikan regulasi, mahasiswa dan universitas di Indonesia diminta berhati-hati terhadap tawaran program magang ke luar negeri.
Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kemlu Judha Nugraha minta para mahasiswa untuk mempelajari baik-baik tawaran magang ke luar negeri dengan memastikan kredibilitas perusahaan/end user di negara tujuan serta memastikan berangkat melalui agensi yang memiliki izin resmi dari pemerintah.
Sebelum berangkat, para mahasiswa harus menandatangani kontrak magang di Indonesia — bukan setelah sampai di negara yang dituju — seperti yang terjadi pada kasus fereinjob lalu.
Mahasiswa diwajibkan memahami kontrak magang mereka, pahami pula jenis pekerjaan, kondisi pekerjaan, serta hak dan kewajiban mereka. Mahasiswa juga harus mengikuti prosedur resmi magang di luar negeri sesuai aturan yang berlaku di Indonesia.
Baca juga: Tersangka TPPO magang Jerman terima keuntungan inmaterial
Baca juga: Mahasiswa magang dan balada TPPO
Jika menemui tawaran yang diduga ada unsur penipuan, jangan ragu untuk segera melaporkan ke pihak berwajib. Kasus fereinjob tersebut sekaligus menjadi pengingat bagi para mahasiswa Indonesia agar tidak mudah terbuai dengan tawaran magang ke luar negeri sehingga tanpa pikir panjang mereka memutuskan berangkat.
Pihak kampus pun seharusnya lebih memperkuat pengawasan bagi para mahasiswanya, dan lebih memprioritaskan program-program kerja sama dengan pihak luar negeri yang tanpa melalui pihak ketiga seperti agensi-agensi yang malah pada akhirnya berkasus, seperti PT CVGEN dan PT SHB.