Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi (MK) banyak menerima amicus curiae menjelang pembacaan putusan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024. Amicus curiae adalah istilah latin yang berarti “friends of the court” atau “sahabat pengadilan”.
Mereka datang dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, advokat, hingga mantan Presiden Republik Indonesia, baik secara kelompok, kelembagaan, maupun perseorangan.
Sampai Jumat (19/4), MK telah menerima sebanyak 48 amicus curiae. Namun, tidak semuanya akan didalami oleh hakim konstitusi. Pasalnya, majelis hakim sepakat bahwa hanya amicus curiae yang diterima hingga 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami.
Bukan tanpa alasan batas waktu tersebut ditentukan. Kepala Biro Hukum dan Administrasi Kepaniteraan MK Fajar Laksono mengatakan bahwa batas 16 April tersebut selaras dengan tenggat waktu penyerahan kesimpulan sidang oleh pihak-pihak dalam perkara PHPU Pilpres 2024. Selain itu, agar tidak mengganggu jalannya rapat permusyawaratan hakim (RPH).
Berdasarkan dokumen rekapitulasi yang diterima dari MK, hanya ada 14 amicus curiae yang memenuhi batas waktu tersebut. Mereka adalah Barisan Kebenaran untuk Demokrasi; Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI); TOP Gun; serta Aliansi Akademisi dan Masyarakat Sipil.
Kemudian, Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (Center For Law and Social Justice) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM); Pandji R. Hadinoto; Busyro Muqoddas, Saut Situmorang, Feri Amsari, Usman Hamid, Abraham Samad, dan lain-lain; serta Organisasi Mahasiswa UGM-Universitas Padjadjaran-Universitas Diponegoro-Universitas Airlangga.
Berikutnya, Megawati Soekarnoputri dan Hasto Kristiyanto; Forum Advokat Muda Indonesia (FAMI); Yayasan Advokasi Hak Konstitusional Indonesia (YAKIN); Aliansi Penegak Demokrasi Indonesia (APDI); Amicus Stefanus Hendriyanto; serta Komunitas Cinta Pemilu Jujur dan Adil (KCP-JURDIL).
Terbanyak sepanjang sejarah
Jumlah pengajuan amicus curiae terhadap sengketa Pilpres 2024 menjadi yang terbanyak sepanjang sejarah. Fajar yang juga juru bicara MK itu mengatakan bahwa amicus curiae bahkan belum pernah ada dalam PHPU Pilpres sebelumnya.
“Ini menjadi amicus curiae paling banyak saya kira. Bahkan, sebelumnya belum pernah ada,” kata Fajar.
MK memandang amicus curiae ini sebagai bentuk kepedulian dari masyarakat melalui opininya terhadap perkara sengketa pilpres. Menurut Fajar, ramainya sahabat pengadilan menunjukkan atensi publik yang ikut memantau perkara yang tengah ditangani oleh MK.
Animo pengajuan diri sebagai sahabat pengadilan bahkan terus mengalir setelah batas waktu yang ditentukan MK. MK memang tidak bisa melarang pengajuan sebagai amicus curiae. Mereka yang mengajukan setelah tanggal 16 April, tetap diterima dan diadministrasikan, tetapi pendapatnya tidak akan didalami oleh hakim konstitusi.
MK pun berencana untuk mempublikasikan pendapat amicus curiae yang diterima jika memang menjadi bagian dari domain publik. Terkait hal ini, Fajar mengatakan MK akan mempertimbangkan terlebih dahulu bersama majelis hakim konstitusi.
Belum diatur secara khusus
Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Prof. Susi Dwi Harijanti menjelaskan amicus curiae dapat disampaikan oleh individu atau organisasi yang memiliki kepentingan terhadap suatu perkara, tetapi ia bukan pihak dalam perkara tersebut. Artinya, sahabat pengadilan merupakan orang yang berada di luar perkara, tetapi menaruh perhatian pada perkara tersebut.
Susi mengatakan, amicus curiae belum diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Meskipun demikian, kehadiran amicus curiae dimungkinkan dipandang dalam hukum melalui Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat,” demikian bunyi pasal dimaksud.
Berdasarkan norma pada pasal itu, hakim konstitusi diwajibkan menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Pasal tersebut, kata Susi, sejalan dengan ihwal dari amicus curiae yang bermaksud mempengaruhi putusan hakim melalui penyampaian informasi, pendapat, maupun keahliannya.
“Amicus bisa membantu hakim menganalisis sebuah perkara dari perspektif yang lebih luas,” ujar Susi.
Praktik amicus curiae sudah lazim digunakan di negara yang menggunakan sistem common law, bukan sistem civil law seperti yang dianut oleh Indonesia. Namun, bukan berarti praktik ini nihil dari perjalanan hukum di tanah air. Juru bicara MK pun mengatakan bahwa amicus curiae pernah dipertimbangkan sebagian dalam putusan perkara pengujian undang-undang.
Menurut sejumlah literatur, common law system adalah sistem hukum yang berlaku di negara-negara yang dulunya merupakan koloni Inggris. Sistem ini didasarkan pada keputusan-keputusan pengadilan yang telah diambil sebelumnya dan prinsip-prinsip hukum yang telah berkembang dari waktu ke waktu.
Sedangkan civil law system merupakan sistem hukum yang berkembang di dataran Eropa. Sistem ini menekankan pada penggunaan aturan-aturan hukum yang sifatnya tertulis dalam sistematika hukumnya.
Otoritas hakim konstitusi
Susi mengatakan amicus curiae memang tidak termasuk sebagai alat bukti. Berdasarkan Pasal 38 Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2023, alat bukti dalam PHPU Pilpres dapat berupa surat atau tulisan, keterangan para pihak, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan pihak lain, alat bukti lain, dan/atau petunjuk.
“Apakah amicus brief digunakan atau tidak, sangat tergantung pada hakim,” kata Susi.
Fajar Laksono juga mengatakan, besar atau kecilnya pengaruh yang ditimbulkan oleh amicus curiae dalam putusan suatu perkara tidak bisa diukur. Hal itu baru dapat diketahui setelah hakim konstitusi membacakan putusan.
Di sisi lain, ia menegaskan dipertimbangkan atau tidaknya amicus curiae sepenuhnya menjadi otoritas hakim konstitusi.
Pendapat dari 14 amicus curiae yang diterima MK sebelum tanggal 16 April kini tengah didalami hakim konstitusi. Sejauh mana amicus curiae berpengaruh dalam PHPU Pilpres 2024 akan diketahui dalam sidang pembacaan putusan yang terbuka untuk umum pada Senin, 22 April 2024 pukul 09.00 WIB.
Mereka datang dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, advokat, hingga mantan Presiden Republik Indonesia, baik secara kelompok, kelembagaan, maupun perseorangan.
Sampai Jumat (19/4), MK telah menerima sebanyak 48 amicus curiae. Namun, tidak semuanya akan didalami oleh hakim konstitusi. Pasalnya, majelis hakim sepakat bahwa hanya amicus curiae yang diterima hingga 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami.
Bukan tanpa alasan batas waktu tersebut ditentukan. Kepala Biro Hukum dan Administrasi Kepaniteraan MK Fajar Laksono mengatakan bahwa batas 16 April tersebut selaras dengan tenggat waktu penyerahan kesimpulan sidang oleh pihak-pihak dalam perkara PHPU Pilpres 2024. Selain itu, agar tidak mengganggu jalannya rapat permusyawaratan hakim (RPH).
Berdasarkan dokumen rekapitulasi yang diterima dari MK, hanya ada 14 amicus curiae yang memenuhi batas waktu tersebut. Mereka adalah Barisan Kebenaran untuk Demokrasi; Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI); TOP Gun; serta Aliansi Akademisi dan Masyarakat Sipil.
Kemudian, Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (Center For Law and Social Justice) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM); Pandji R. Hadinoto; Busyro Muqoddas, Saut Situmorang, Feri Amsari, Usman Hamid, Abraham Samad, dan lain-lain; serta Organisasi Mahasiswa UGM-Universitas Padjadjaran-Universitas Diponegoro-Universitas Airlangga.
Berikutnya, Megawati Soekarnoputri dan Hasto Kristiyanto; Forum Advokat Muda Indonesia (FAMI); Yayasan Advokasi Hak Konstitusional Indonesia (YAKIN); Aliansi Penegak Demokrasi Indonesia (APDI); Amicus Stefanus Hendriyanto; serta Komunitas Cinta Pemilu Jujur dan Adil (KCP-JURDIL).
Terbanyak sepanjang sejarah
Jumlah pengajuan amicus curiae terhadap sengketa Pilpres 2024 menjadi yang terbanyak sepanjang sejarah. Fajar yang juga juru bicara MK itu mengatakan bahwa amicus curiae bahkan belum pernah ada dalam PHPU Pilpres sebelumnya.
“Ini menjadi amicus curiae paling banyak saya kira. Bahkan, sebelumnya belum pernah ada,” kata Fajar.
MK memandang amicus curiae ini sebagai bentuk kepedulian dari masyarakat melalui opininya terhadap perkara sengketa pilpres. Menurut Fajar, ramainya sahabat pengadilan menunjukkan atensi publik yang ikut memantau perkara yang tengah ditangani oleh MK.
Animo pengajuan diri sebagai sahabat pengadilan bahkan terus mengalir setelah batas waktu yang ditentukan MK. MK memang tidak bisa melarang pengajuan sebagai amicus curiae. Mereka yang mengajukan setelah tanggal 16 April, tetap diterima dan diadministrasikan, tetapi pendapatnya tidak akan didalami oleh hakim konstitusi.
MK pun berencana untuk mempublikasikan pendapat amicus curiae yang diterima jika memang menjadi bagian dari domain publik. Terkait hal ini, Fajar mengatakan MK akan mempertimbangkan terlebih dahulu bersama majelis hakim konstitusi.
Belum diatur secara khusus
Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Prof. Susi Dwi Harijanti menjelaskan amicus curiae dapat disampaikan oleh individu atau organisasi yang memiliki kepentingan terhadap suatu perkara, tetapi ia bukan pihak dalam perkara tersebut. Artinya, sahabat pengadilan merupakan orang yang berada di luar perkara, tetapi menaruh perhatian pada perkara tersebut.
Susi mengatakan, amicus curiae belum diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Meskipun demikian, kehadiran amicus curiae dimungkinkan dipandang dalam hukum melalui Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat,” demikian bunyi pasal dimaksud.
Berdasarkan norma pada pasal itu, hakim konstitusi diwajibkan menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Pasal tersebut, kata Susi, sejalan dengan ihwal dari amicus curiae yang bermaksud mempengaruhi putusan hakim melalui penyampaian informasi, pendapat, maupun keahliannya.
“Amicus bisa membantu hakim menganalisis sebuah perkara dari perspektif yang lebih luas,” ujar Susi.
Praktik amicus curiae sudah lazim digunakan di negara yang menggunakan sistem common law, bukan sistem civil law seperti yang dianut oleh Indonesia. Namun, bukan berarti praktik ini nihil dari perjalanan hukum di tanah air. Juru bicara MK pun mengatakan bahwa amicus curiae pernah dipertimbangkan sebagian dalam putusan perkara pengujian undang-undang.
Menurut sejumlah literatur, common law system adalah sistem hukum yang berlaku di negara-negara yang dulunya merupakan koloni Inggris. Sistem ini didasarkan pada keputusan-keputusan pengadilan yang telah diambil sebelumnya dan prinsip-prinsip hukum yang telah berkembang dari waktu ke waktu.
Sedangkan civil law system merupakan sistem hukum yang berkembang di dataran Eropa. Sistem ini menekankan pada penggunaan aturan-aturan hukum yang sifatnya tertulis dalam sistematika hukumnya.
Otoritas hakim konstitusi
Susi mengatakan amicus curiae memang tidak termasuk sebagai alat bukti. Berdasarkan Pasal 38 Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2023, alat bukti dalam PHPU Pilpres dapat berupa surat atau tulisan, keterangan para pihak, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan pihak lain, alat bukti lain, dan/atau petunjuk.
“Apakah amicus brief digunakan atau tidak, sangat tergantung pada hakim,” kata Susi.
Fajar Laksono juga mengatakan, besar atau kecilnya pengaruh yang ditimbulkan oleh amicus curiae dalam putusan suatu perkara tidak bisa diukur. Hal itu baru dapat diketahui setelah hakim konstitusi membacakan putusan.
Di sisi lain, ia menegaskan dipertimbangkan atau tidaknya amicus curiae sepenuhnya menjadi otoritas hakim konstitusi.
Pendapat dari 14 amicus curiae yang diterima MK sebelum tanggal 16 April kini tengah didalami hakim konstitusi. Sejauh mana amicus curiae berpengaruh dalam PHPU Pilpres 2024 akan diketahui dalam sidang pembacaan putusan yang terbuka untuk umum pada Senin, 22 April 2024 pukul 09.00 WIB.