Yogyakarta (ANTARA) - Regenerasi relawan Desa Tangguh Bencana (Destana) dinilai menjadi tantangan tersendiri dalam penanganan bencana agar elan atau semangat juang mengurangi risiko bencana dapat terus dipertahankan.
Kepala Desa (Kalurahan) Argomulyo, Kecamatan Caringin, Sleman, DIY, Danang Hendri Bintoro, di Argomulyo, Rabu, mengatakan sebagian relawan Destana di wilayahnya tangguh karena mereka sebagian besar mengalami erupsi Gunung Merapi tahun 2010.
Peristiwa yang menelan 353 korban jiwa pada November 2010 itu sangat membekas sehingga kinerja mereka mendapat pengakuan sebagai Destana terbaik di DIY pada 2018.
Supriyono (61), relawan Destana Argomulyo yang sehari-hari petani, membenarkan, tetapi tidak mengkhawatirkan regenerasi itu. Dia yang kehilangan 14 kerabatnya pada erupsi Merapi 2010 itu mengatakan membentuk Destana itu mudah, tetapi menjadikannya tangguh tidaklah mudah.
Desa tangguh, menurut BNPB, memiliki kemampuan mengenali ancaman di wilayahnya dan mampu mengorganisasi sumber daya masyarakat mengurangi kerentanan dan sekaligus meningkatkan kapasitas demi mengurangi risiko bencana.
Dikatakannya, Destana Argomulyo acap menerima tamu dari berbagai daerah bahkan dari mancanegara, seperti dari Singapura atau Australia. Yang sulit, kata mereka, rela berjuang menanggulangi, mengurangi risiko bencana dengan sepenuh hati tanpa mengharapkan apa-apa.
Mengutip dari Partono, relawan Destana Argomulyo lainnya yang juga kehilangan tiga keluarganya, relawan tidak mengharapkan pengakuan dari orang lain, cukup dari Gusti Allah. Relawan harus siap bekerja 24 jam tanpa digaji atau imbalan apapun.
Etos seperti ini yang tidak dimiliki banyak orang yang mengaku relawan, kata Supriyono.
Digambarkannya, sebegitu tingginya pengabdian relawan Destana Argomulyo sehingga warga meminta mereka menangani semua kasus bencana. "Kini, jika terjadi kecelakaan, hajatan, orang hilang, bahkan butuh darah, warga meminta kami yang menangani," ujarnya.
Diakuinya, sebelum erupsi Merapi 2010, warga desa hanyalah menonton.
Tahun 2012, mereka berinteraksi dengan PKPU, kini menjadi Human Initiative (HI), yang semula menyalurkan bantuan dari donatur, lalu meningkat melatih dan mengubah pola pikir (mindset) warga. Dari penonton menjadi relawan yang peduli warga.
Kepala TK Bianglala Yogyakarta Novitasari Dyah mengajar di kelas tentang bencana gempa bumi, Rabu (2/10/2024). (ANTARA/Erafzon Saptiyulda AS)
HI tidak hanya menggarap warga Argomulyo, tetapi juga Bianglala Kindergarten yang mengajar sejak 2005, kini dengan 80 murid TK, PAUD dan penitipan anak (TPA), untuk peduli bencana. Kepala TK Bianglala, Novitasari Dyah (37) telah berkarier 11 tahun. Ia menjelaskan interaksi dengan HI bermula dalam menyalurkan bantuan sosial dari orang tua murid untuk diteruskan kepada yang berhak.
Evaluasi dan pelatihan dari HI membuat Bianglala menyiapkan perangkat keras mitigasi, seperti jalur evakuasi, alat peraga dan lainnya untuk dipahami anak TK. "Tantangannya bagaimana memberi pemahaman kepada murid TK," kata Novita.
Baca juga: BPBD antisipasi potensi bencana saat pertandingan MotoGP Mandalika
Baca juga: Menteri Erick sebut Yayasan BUMN refocusing
Mereka mengedukasi dengan alat peraga sederhana, seperti gambar rumah rusak, rumah sakit, dan lainnya, lalu menyampaikan pesan melalui nyanyian seperti, "Bumi bentuk bulat, lempeng di kulit bumi, bila lempeng bertumbuk, terjadi gempa bumi, sekolahku bergoyang, aku harus berlindung." Guru memperagakan melindungi kepala dengan tangan, tas atau bantal, lalu mengajak muridnya tiarap di lantai.
Saat dilakukan simulasi mitigasi bencana, anak Bianglala melakukannya dengan gembira. "Mereka minta agar simulasi mengikuti jalur evakuasi diulang lagi karena mengasyikan," kata Novita.
Kondisi ini menggembirakan, karena mereka adalah potensi calon relawan tangguh, ujar Ade Lukman, HI dari Jakarta. Dia mengatakan bencana sering kali tidak dapat diprediksi. Menyambut bulan PRB (Pengurangan Risiko Bencana) 2024, dia mengajak meningkatkan pengetahuan kebencanaan dan informasi lengkapnya bisa dilihat melalui human-initiative.org.
Kepala Desa (Kalurahan) Argomulyo, Kecamatan Caringin, Sleman, DIY, Danang Hendri Bintoro, di Argomulyo, Rabu, mengatakan sebagian relawan Destana di wilayahnya tangguh karena mereka sebagian besar mengalami erupsi Gunung Merapi tahun 2010.
Peristiwa yang menelan 353 korban jiwa pada November 2010 itu sangat membekas sehingga kinerja mereka mendapat pengakuan sebagai Destana terbaik di DIY pada 2018.
Supriyono (61), relawan Destana Argomulyo yang sehari-hari petani, membenarkan, tetapi tidak mengkhawatirkan regenerasi itu. Dia yang kehilangan 14 kerabatnya pada erupsi Merapi 2010 itu mengatakan membentuk Destana itu mudah, tetapi menjadikannya tangguh tidaklah mudah.
Desa tangguh, menurut BNPB, memiliki kemampuan mengenali ancaman di wilayahnya dan mampu mengorganisasi sumber daya masyarakat mengurangi kerentanan dan sekaligus meningkatkan kapasitas demi mengurangi risiko bencana.
Dikatakannya, Destana Argomulyo acap menerima tamu dari berbagai daerah bahkan dari mancanegara, seperti dari Singapura atau Australia. Yang sulit, kata mereka, rela berjuang menanggulangi, mengurangi risiko bencana dengan sepenuh hati tanpa mengharapkan apa-apa.
Mengutip dari Partono, relawan Destana Argomulyo lainnya yang juga kehilangan tiga keluarganya, relawan tidak mengharapkan pengakuan dari orang lain, cukup dari Gusti Allah. Relawan harus siap bekerja 24 jam tanpa digaji atau imbalan apapun.
Etos seperti ini yang tidak dimiliki banyak orang yang mengaku relawan, kata Supriyono.
Digambarkannya, sebegitu tingginya pengabdian relawan Destana Argomulyo sehingga warga meminta mereka menangani semua kasus bencana. "Kini, jika terjadi kecelakaan, hajatan, orang hilang, bahkan butuh darah, warga meminta kami yang menangani," ujarnya.
Diakuinya, sebelum erupsi Merapi 2010, warga desa hanyalah menonton.
Tahun 2012, mereka berinteraksi dengan PKPU, kini menjadi Human Initiative (HI), yang semula menyalurkan bantuan dari donatur, lalu meningkat melatih dan mengubah pola pikir (mindset) warga. Dari penonton menjadi relawan yang peduli warga.
HI tidak hanya menggarap warga Argomulyo, tetapi juga Bianglala Kindergarten yang mengajar sejak 2005, kini dengan 80 murid TK, PAUD dan penitipan anak (TPA), untuk peduli bencana. Kepala TK Bianglala, Novitasari Dyah (37) telah berkarier 11 tahun. Ia menjelaskan interaksi dengan HI bermula dalam menyalurkan bantuan sosial dari orang tua murid untuk diteruskan kepada yang berhak.
Evaluasi dan pelatihan dari HI membuat Bianglala menyiapkan perangkat keras mitigasi, seperti jalur evakuasi, alat peraga dan lainnya untuk dipahami anak TK. "Tantangannya bagaimana memberi pemahaman kepada murid TK," kata Novita.
Baca juga: BPBD antisipasi potensi bencana saat pertandingan MotoGP Mandalika
Baca juga: Menteri Erick sebut Yayasan BUMN refocusing
Mereka mengedukasi dengan alat peraga sederhana, seperti gambar rumah rusak, rumah sakit, dan lainnya, lalu menyampaikan pesan melalui nyanyian seperti, "Bumi bentuk bulat, lempeng di kulit bumi, bila lempeng bertumbuk, terjadi gempa bumi, sekolahku bergoyang, aku harus berlindung." Guru memperagakan melindungi kepala dengan tangan, tas atau bantal, lalu mengajak muridnya tiarap di lantai.
Saat dilakukan simulasi mitigasi bencana, anak Bianglala melakukannya dengan gembira. "Mereka minta agar simulasi mengikuti jalur evakuasi diulang lagi karena mengasyikan," kata Novita.
Kondisi ini menggembirakan, karena mereka adalah potensi calon relawan tangguh, ujar Ade Lukman, HI dari Jakarta. Dia mengatakan bencana sering kali tidak dapat diprediksi. Menyambut bulan PRB (Pengurangan Risiko Bencana) 2024, dia mengajak meningkatkan pengetahuan kebencanaan dan informasi lengkapnya bisa dilihat melalui human-initiative.org.