Lombok Barat, NTB (ANTARA) - Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Nusa Tenggara Barat mengungkapkan terdapat lima kabupaten/kota di wilayah itu dengan jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) rawan terbanyak pada pilkada serentak 27 Nopember 2024.
Anggota Bawaslu NTB, Hasan Basri menyebutkan lima daerah dengan TPS rawan terbanyak itu, yakni Kabupaten Lombok Timur dengan 2.057 TPS, Sumbawa dengan 1.354 TPS, Bima dengan 1.281 TPS, Lombok Tengah dengan 661 TPS, dan Lombok Barat dengan 648 TPS. Sementara lima kabupaten/kota lain seperti Kota Bima terdapat 151 TPS rawan, Kota Mataram 491 TPS rawan, Lombok Utara 576 TPS rawan, Sumbawa Barat 394 TPS rawan, dan Dompu 583 TPS rawan.
"Pada dasarnya seluruh TPS yang ada di NTB rawan, namun dari 10 daerah yang ada, hanya lima kabupaten/kota yang jumlah TPS rawan-nya terbanyak," ujarnya usai acara konsolidasi media dalam rangka penguatan media pada pengawasan tahapan pilkada serentak 2024 di kawasan wisata Senggigi, Kabupaten Lombok Barat, Jumat.
Baca juga: Korem 162/WB petakan daerah rawan gangguan keamanan Pilkada NTB 2024
Ia menjelaskan pihaknya telah memetakan potensi TPS rawan pilkada untuk mengantisipasi gangguan/hambatan di TPS pada hari pemungutan suara. Hasilnya, terdapat empat indikator TPS rawan yang paling banyak terjadi, delapan indikator yang banyak terjadi, dan 13 indikator yang tidak banyak terjadi namun tetap perlu diantisipasi.
"Pemetaan kerawanan tersebut dilakukan terhadap delapan variabel dan 25 indikator, diambil dari sedikitnya 1.166 kelurahan/desa di 117 kecamatan dan 10 kabupaten/kota yang melaporkan kerawanan TPS di wilayahnya. Pengambilan data TPS rawan dilakukan selama 6 hari pada 10 sampai dengan 15 November 2024," terangnya.
Untuk variabel dan indikator potensi TPS rawan tersebut, sebut Hasan, antara lain pertama penggunaan hak pilih (DPT) yang tidak memenuhi syarat, DPTb, potensi DPK. Penyelenggara pemilihan di luar domisili, pemilih disabilitas terdaftar di DPT, riwayat sistem noken tidak sesuai ketentuan, dan/atau riwayat PSU/PSSU).
Kedua keamanan (riwayat kekerasan, intimidasi atau penolakan penyelengaraan pemungutan suara. Ketiga, politik uang. Keempat, politsasi SARA. Kelima, netralitas (penyelenggara pemilihan, ASN, TNI/Polri, Kepala Desa dan/atau perangkat desa.
Baca juga: Tiga daerah di NTB masuk kategori rawan tinggi Pilkada 2024
Keenam, logistik (riwayat kerusakan, kekurangan/kelebihan, dan/atau keterlambatan). Ketujuh, lokasi TPS (sulit dijangkau, rawan konflik, rawan bencana, dekat dengan lembaga pendidikan/pabrik/pertambangan, rumah paslon/posko tim kampanye, dan/atau lokasi khusus). Kedelapan, jaringan listrik dan internet.
Sementara untuk empat indikator potensi TPS rawan yang paling banyak terjadi terdapat di 2.711 TPS terdapat pemilih penyandang disabilitas yang terdaftar dalam DPT di TPS tersebut. Kemudian 2.065 TPS yang terdapat pemilih DPT yang sudah tidak memenuhi syarat (meninggal dunia, alih status menjadi TNI/Polri. Selanjutnya 612 TPS yang Terdapat terdapat Pemilih Pindahan (DPTb) dan 571 TPS yang terdapat KPPS yang merupakan pemilih di luar domisili TPS tempatnya bertugas.
Sedangkan delapan indikator potensi TPS rawan yang banyak terjadi itu, lanjut Hasan, yakni sebanyak 444 TPS yang terdapat kendala jaringan internet di lokasi TPS, 249 TPS yang terdapat potensi pemilih memenuhi syarat namun tidak terdaftar di DPT Potensi DPK, 249 TPS yang terdapat riwayat praktik pemberian uang atau materi lainnya yang tidak sesuai ketentuan pada masa kampanye di sekitar lokasi TPS.
Kemudian 166 TPS yang memiliki riwayat kekurangan atau kelebihan dan bahkan tidak tersedia logistik pemungutan dan penghitungan suara saat pilkada, 117 TPS yang dekat lembaga pendidikan yang siswanya berpotensi memiliki hak pilih. 116 TPS yang sulit dijangkau karena kendala secara geografis dan cuaca, 115 TPS yang yang berada di dekat rumah pasangan calon, posko tim kampanye pasangan dan 112 TPS yang yang didirikan di wilayah rawan bencana seperti rawan banjir, longsor, cuaca ekstrem, gempa, dan lain-lain.
Selain itu, 13 indikator potensi TPS rawan yang tidak banyak terjadi namun tetap perlu di antisipasi ini, terdapat 91 TPS yang memiliki riwayat terjadi intimidasi kepada penyelenggara pemilihan, 79 TPS yang memiliki riwayat terjadi kekerasan di TPS, 76 TPS yang terdapat ASN, TNI/Polri atau perangkat desa yang melakukan tindakan/kegiatan yang menguntungkan atau merugikan paslon, 74 TPS yang memiliki riwayat keterlambatan pendistribusian logistik pemungutan dan
penghitungan suara di TPS (maksimal H-1) pilkada.
Baca juga: Bawaslu: 2.909 TPS di NTB rawan kecurangan
Selanjutnya, 70 TPS yang memiliki riwayat logistik pemungutan dan penghitungan suara mengalami kerusakan di TPS, 66 TPS yang didirikan di wilayah rawan konflik, 59 TPS yang terdapat riwayat Pemungutan Suara Ulang (PSU) atau Penghitungan Surat Suara Ulang (PSSU), 46 TPS yang terdapat kendala aliran listrik, 35 TPS di dekat wilayah kerja, seperti wilayah lingkar pertambangan, 25 TPS di lokasi khusus (Lembaga Pemasyarakatan, Pertambangan, dan wilayah relokasi), 25 TPS yang terdapat riwayat praktik menghina/menghasut di antara pemilih terkait isu SARA dan golongan di sekitar TPS, 17 TPS yang terdapat Petugas KPPS berkampanye untuk pasangan calon dan 6 TPS yang mendapat penolakan penyelenggaraan pemungutan suara.
Menurut Hasan pemetaan TPS rawan ini menjadi bahan bagi Bawaslu, KPU, paslon, pemerintah, aparat penegak hukum, pemantau pemilihan, media dan seluruh masyarakat di seluruh tingkatan untuk memitigasi agar pemungutan suara lancar tanpa gangguan yang menghambat pemilihan yang demokratis.
Terhadap data TPS rawan itu, Bawaslu melakukan strategi pencegahan dengan melakukan patroli pengawasan di TPS rawan, koordinasi dan konsolidasi kepada pemangku kepentingan terkait, sosialisasi dan pendidikan politik kepada masyarakat, kolaborasi dengan pemantau pemilu pemilihan, pegiat kepemiluan, organisasi masyarakat dan pengawas partisipatif, dan menyediakan posko pengaduan masyarakat di setiap level yang bisa diakses masyarakat, baik secara offline maupun online.
"Bawaslu juga merekomendasikan KPU untuk menginstruksikan PPS dan KPPS melakukan antisipasi kerawanan, berkoordinasi dengan seluruh pihak, baik pemerintah daerah, aparat penegak hukum, tokoh masyarakat untuk melakukan pencegahan terhadap kerawanan yang berpotensi terjadi di TPS, baik gangguan keamanan, netralitas, kampanye pada hari pemungutan suara, potensi bencana, keterlambatan distribusi logistik, maupun gangguan listrik dan jaringan internet," katanya.
Anggota Bawaslu NTB, Hasan Basri menyebutkan lima daerah dengan TPS rawan terbanyak itu, yakni Kabupaten Lombok Timur dengan 2.057 TPS, Sumbawa dengan 1.354 TPS, Bima dengan 1.281 TPS, Lombok Tengah dengan 661 TPS, dan Lombok Barat dengan 648 TPS. Sementara lima kabupaten/kota lain seperti Kota Bima terdapat 151 TPS rawan, Kota Mataram 491 TPS rawan, Lombok Utara 576 TPS rawan, Sumbawa Barat 394 TPS rawan, dan Dompu 583 TPS rawan.
"Pada dasarnya seluruh TPS yang ada di NTB rawan, namun dari 10 daerah yang ada, hanya lima kabupaten/kota yang jumlah TPS rawan-nya terbanyak," ujarnya usai acara konsolidasi media dalam rangka penguatan media pada pengawasan tahapan pilkada serentak 2024 di kawasan wisata Senggigi, Kabupaten Lombok Barat, Jumat.
Baca juga: Korem 162/WB petakan daerah rawan gangguan keamanan Pilkada NTB 2024
Ia menjelaskan pihaknya telah memetakan potensi TPS rawan pilkada untuk mengantisipasi gangguan/hambatan di TPS pada hari pemungutan suara. Hasilnya, terdapat empat indikator TPS rawan yang paling banyak terjadi, delapan indikator yang banyak terjadi, dan 13 indikator yang tidak banyak terjadi namun tetap perlu diantisipasi.
"Pemetaan kerawanan tersebut dilakukan terhadap delapan variabel dan 25 indikator, diambil dari sedikitnya 1.166 kelurahan/desa di 117 kecamatan dan 10 kabupaten/kota yang melaporkan kerawanan TPS di wilayahnya. Pengambilan data TPS rawan dilakukan selama 6 hari pada 10 sampai dengan 15 November 2024," terangnya.
Untuk variabel dan indikator potensi TPS rawan tersebut, sebut Hasan, antara lain pertama penggunaan hak pilih (DPT) yang tidak memenuhi syarat, DPTb, potensi DPK. Penyelenggara pemilihan di luar domisili, pemilih disabilitas terdaftar di DPT, riwayat sistem noken tidak sesuai ketentuan, dan/atau riwayat PSU/PSSU).
Kedua keamanan (riwayat kekerasan, intimidasi atau penolakan penyelengaraan pemungutan suara. Ketiga, politik uang. Keempat, politsasi SARA. Kelima, netralitas (penyelenggara pemilihan, ASN, TNI/Polri, Kepala Desa dan/atau perangkat desa.
Baca juga: Tiga daerah di NTB masuk kategori rawan tinggi Pilkada 2024
Keenam, logistik (riwayat kerusakan, kekurangan/kelebihan, dan/atau keterlambatan). Ketujuh, lokasi TPS (sulit dijangkau, rawan konflik, rawan bencana, dekat dengan lembaga pendidikan/pabrik/pertambangan, rumah paslon/posko tim kampanye, dan/atau lokasi khusus). Kedelapan, jaringan listrik dan internet.
Sementara untuk empat indikator potensi TPS rawan yang paling banyak terjadi terdapat di 2.711 TPS terdapat pemilih penyandang disabilitas yang terdaftar dalam DPT di TPS tersebut. Kemudian 2.065 TPS yang terdapat pemilih DPT yang sudah tidak memenuhi syarat (meninggal dunia, alih status menjadi TNI/Polri. Selanjutnya 612 TPS yang Terdapat terdapat Pemilih Pindahan (DPTb) dan 571 TPS yang terdapat KPPS yang merupakan pemilih di luar domisili TPS tempatnya bertugas.
Sedangkan delapan indikator potensi TPS rawan yang banyak terjadi itu, lanjut Hasan, yakni sebanyak 444 TPS yang terdapat kendala jaringan internet di lokasi TPS, 249 TPS yang terdapat potensi pemilih memenuhi syarat namun tidak terdaftar di DPT Potensi DPK, 249 TPS yang terdapat riwayat praktik pemberian uang atau materi lainnya yang tidak sesuai ketentuan pada masa kampanye di sekitar lokasi TPS.
Kemudian 166 TPS yang memiliki riwayat kekurangan atau kelebihan dan bahkan tidak tersedia logistik pemungutan dan penghitungan suara saat pilkada, 117 TPS yang dekat lembaga pendidikan yang siswanya berpotensi memiliki hak pilih. 116 TPS yang sulit dijangkau karena kendala secara geografis dan cuaca, 115 TPS yang yang berada di dekat rumah pasangan calon, posko tim kampanye pasangan dan 112 TPS yang yang didirikan di wilayah rawan bencana seperti rawan banjir, longsor, cuaca ekstrem, gempa, dan lain-lain.
Selain itu, 13 indikator potensi TPS rawan yang tidak banyak terjadi namun tetap perlu di antisipasi ini, terdapat 91 TPS yang memiliki riwayat terjadi intimidasi kepada penyelenggara pemilihan, 79 TPS yang memiliki riwayat terjadi kekerasan di TPS, 76 TPS yang terdapat ASN, TNI/Polri atau perangkat desa yang melakukan tindakan/kegiatan yang menguntungkan atau merugikan paslon, 74 TPS yang memiliki riwayat keterlambatan pendistribusian logistik pemungutan dan
penghitungan suara di TPS (maksimal H-1) pilkada.
Baca juga: Bawaslu: 2.909 TPS di NTB rawan kecurangan
Selanjutnya, 70 TPS yang memiliki riwayat logistik pemungutan dan penghitungan suara mengalami kerusakan di TPS, 66 TPS yang didirikan di wilayah rawan konflik, 59 TPS yang terdapat riwayat Pemungutan Suara Ulang (PSU) atau Penghitungan Surat Suara Ulang (PSSU), 46 TPS yang terdapat kendala aliran listrik, 35 TPS di dekat wilayah kerja, seperti wilayah lingkar pertambangan, 25 TPS di lokasi khusus (Lembaga Pemasyarakatan, Pertambangan, dan wilayah relokasi), 25 TPS yang terdapat riwayat praktik menghina/menghasut di antara pemilih terkait isu SARA dan golongan di sekitar TPS, 17 TPS yang terdapat Petugas KPPS berkampanye untuk pasangan calon dan 6 TPS yang mendapat penolakan penyelenggaraan pemungutan suara.
Menurut Hasan pemetaan TPS rawan ini menjadi bahan bagi Bawaslu, KPU, paslon, pemerintah, aparat penegak hukum, pemantau pemilihan, media dan seluruh masyarakat di seluruh tingkatan untuk memitigasi agar pemungutan suara lancar tanpa gangguan yang menghambat pemilihan yang demokratis.
Terhadap data TPS rawan itu, Bawaslu melakukan strategi pencegahan dengan melakukan patroli pengawasan di TPS rawan, koordinasi dan konsolidasi kepada pemangku kepentingan terkait, sosialisasi dan pendidikan politik kepada masyarakat, kolaborasi dengan pemantau pemilu pemilihan, pegiat kepemiluan, organisasi masyarakat dan pengawas partisipatif, dan menyediakan posko pengaduan masyarakat di setiap level yang bisa diakses masyarakat, baik secara offline maupun online.
"Bawaslu juga merekomendasikan KPU untuk menginstruksikan PPS dan KPPS melakukan antisipasi kerawanan, berkoordinasi dengan seluruh pihak, baik pemerintah daerah, aparat penegak hukum, tokoh masyarakat untuk melakukan pencegahan terhadap kerawanan yang berpotensi terjadi di TPS, baik gangguan keamanan, netralitas, kampanye pada hari pemungutan suara, potensi bencana, keterlambatan distribusi logistik, maupun gangguan listrik dan jaringan internet," katanya.