Mataram (ANTARA) - Ketua DPRD Nusa Tenggara Barat (NTB), Baiq Isvie Rupaeda angkat bicara atas polemik pembagian anggaran pokok-pokok pikiran (pokir) dewan tahun 2025 yang tengah menjadi sorotan hingga menyeret sejumlah anggota legislatif setempat diperiksa kejaksaan.

Menurut Isvie, persoalan internal lembaga seharusnya dapat diselesaikan secara musyawarah tanpa perlu dibawa ke tingkat nasional.

"Jangan sedikit-sedikit disampaikan ke media. Tanya saja pimpinan, dan jangan bawa ke Jakarta. Selesaikan di sini saja," ujar Isvie saat ditemui di Gedung DPRD NTB di Mataram, Kamis.

Isvie dengan tegas membantah adanya praktik pembagian uang terkait pembahasan pokir 2025. Ia mengaku memang menjadi bagian dari pembahasan program tersebut, namun sama sekali tidak pernah terlibat dalam tindakan yang menyimpang.

"Saya tidak tahu soal itu, seumur hidup saya tidak pernah melakukan itu (menyimpang). Tetapi benar bahwa saya yang membahas Pokir 2025 itu dengan DPRD lama," ungkapnya.

Baca juga: Polemik pokir, Ketua DPRD NTB angkat bicara di tengah sorotan publik dan kejaksaan

Anggota DPRD dari Dapil Kabupaten Lombok Timur ini menguatkan pernyataan dari Indra Jaya Usman (IJU), salah satu anggota dewan yang sebelumnya diperiksa oleh Kejaksaan Tinggi NTB.

Ia menyatakan bahwa IJU memang tidak memiliki keterlibatan dalam pembahasan pokir karena belum dilantik menjadi anggota DPRD NTB saat itu.

Baca juga: Dana pokir DPRD Lombok Timur disoal

"Benar apa yang disampaikan IJU, bahwa tidak ikut membahas. Saya yang membahas, betul itu," ujar Isvie.

Isvie menduga polemik ini bisa saja ditunggangi pihak eksternal yang memiliki agenda terselubung. Hal ini memperkeruh suasana dan mengganggu kerja kelembagaan.

"Pasti 1.000 persen itu," jawabnya ketika ditanya apakah isu ini ada campur tangan luar.

Ia pun menyerukan agar proses hukum tetap berjalan secara objektif, serta berharap tidak ada pihak yang memperkeruh situasi.

"Biarkan fakta hukum yang berbicara. Semoga segera selesai," katanya.

Sebagaimana diketahui pokok-pokok pikiran (pokir) DPRD merupakan bagian dari mekanisme penganggaran daerah yang berasal dari aspirasi masyarakat, terutama hasil dari reses anggota DPRD. Pokir dapat berupa usulan proyek pembangunan, bantuan sosial, hingga program-program prioritas masyarakat.

Namun, mekanisme ini juga kerap menjadi celah korupsi atau gratifikasi, terutama jika tidak diawasi secara ketat. Pengelolaan pokir harus memenuhi prinsip transparansi dan akuntabilitas agar tidak disalahgunakan.

Sebelumnya Anggota DPRD Indra Jaya Usman atau yang akrab disapa IJU menyebut bahwa pimpinan yang mengatur soal dana pokir.

"Tentunya itu kewenangan pimpinan lah, istilahnya, yang mengatur soal itu. Karena saya ini hanya anggota biasa," kata IJU yang ditemui usai menjalani pemeriksaan dalam perkara dugaan korupsi dana pokir tahun anggaran 2025 di Kejati NTB.

Dia menerangkan bahwa dirinya menemui pihak kejaksaan sesuai undangan permintaan keterangan. Dari 18 pertanyaan jaksa, ia mengakui tidak mengetahui perihal mekanisme pemanfaatan dana pokir.

"Saya jelaskan kepada jaksa bahwa saya ini baru dilantik September 2024. Sedangkan dana pokir ini baru disahkan bulan Agustus, jadi saya tidak tahu karena saya tidak mengikuti pembahasannya," katanya.

Perihal dugaan IJU turut terlibat dalam pembagian dana pokir dewan, ia menanggapi dengan menyatakan bahwa hal tersebut tidak masuk akal, mengingat dirinya dalam persoalan ini hanya berstatus anggota.

"Saya ini kan baru dilantik September 2024. Tentunya kami-kami yang baru ini tidak tahu menahu lah tentang persoalan pokir ini," ucap dia.

Untuk isu adanya pengalihan dana pokir yang masuk ke kantong pribadi sejumlah anggota DPRD NTB, IJU turut menepis hal tersebut.

"Semakin tidak jelas kalau permasalahannya seperti itu. Kami ini baru dilantik jadi belum tahu apa-apa," kata IJU.


Pewarta : Nur Imansyah
Editor : I Komang Suparta
Copyright © ANTARA 2025