Mataram (ANTARA) - Tahun 2026 menjadi babak ujian bagi kemandirian fiskal daerah di Indonesia. Pemerintah pusat memangkas alokasi Transfer ke Daerah (TKD) hampir 30 persen dari tahun sebelumnya, menekan ruang fiskal banyak pemerintah daerah, termasuk di Nusa Tenggara Barat (NTB). 

Di Lombok Tengah, transfer pusat berkurang Rp383 miliar, sementara di Dompu pemangkasan mencapai Rp158 miliar. Angka-angka itu menunjukkan betapa besar ketergantungan fiskal daerah terhadap kucuran dana pusat selama ini.

Bagi NTB, di mana sekitar 70 persen APBD masih disangga oleh TKD, kebijakan ini ibarat tamparan sekaligus peringatan. Ketika aliran dana dari pusat menyempit, pilihan yang tersisa hanya dua, yakni menyesuaikan diri atau tertinggal. 

Situasi ini bukan sekadar soal berkurangnya uang, tetapi tentang bagaimana daerah menata ulang cara berpikir dan mengelola sumber daya yang dimiliki.

Kebijakan pengurangan TKD sejatinya bukan pemangkasan sepihak, melainkan realokasi anggaran menuju program prioritas nasional yang langsung menyentuh masyarakat. 

Pemerintah menyalurkan dana melalui jalur baru seperti program makan bergizi gratis, sekolah rakyat, dan koperasi desa. Namun perubahan mekanisme ini menciptakan efek domino bagi daerah, terutama dalam pembiayaan layanan dasar dan proyek publik. 

Di lapangan, konsekuensinya bisa berupa gaji pegawai yang tertunda, pembangunan infrastruktur yang melambat, hingga penurunan daya beli masyarakat akibat terbatasnya perputaran uang di daerah.

Kondisi ini menuntut lahirnya inovasi fiskal dan kepemimpinan yang berani. Pemerintah daerah ditantang untuk tidak sekadar memangkas belanja, melainkan menata kembali prioritas dengan cermat. 

Penghematan pada rapat, perjalanan dinas, dan kegiatan seremonial harus diimbangi dengan penguatan sektor produktif yang memberi dampak langsung bagi publik. Setiap rupiah kini harus benar-benar bermakna.

Langkah strategis seperti digitalisasi pajak, optimalisasi retribusi, hingga investasi pada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) bisa menjadi jalan keluar untuk menambah pendapatan. 

Pendekatan pembiayaan kreatif seperti kerja sama pemerintah dengan badan usaha, penerbitan obligasi daerah, atau sinergi dengan sektor swasta juga perlu digalakkan. 

Daerah tak bisa lagi sepenuhnya menunggu kucuran dana dari pusat, melainkan harus mulai “menambang” potensi ekonominya sendiri, baik dari sektor pertanian, pariwisata, maupun industri kecil.

Berkurangnya dana pusat sesungguhnya membuka peluang untuk memperbaiki manajemen keuangan publik. NTB dan daerah-daerah lain dapat menjadikan tekanan ini sebagai momentum pembelajaran fiskal. Transparansi, efisiensi, dan inovasi harus menjadi fondasi baru dalam perencanaan anggaran.

Kemandirian fiskal bukan berarti memutus hubungan dengan pusat, melainkan menguatkan pijakan lokal agar tak rapuh ketika bantuan berkurang. Krisis kali ini memberi pelajaran penting, yakni daerah yang kuat bukan yang menerima dana terbesar, melainkan yang paling cerdas dan adil dalam mengelolanya. 

Jika setiap daerah mampu menggali potensi “uang di tanah sendiri”, maka desentralisasi fiskal benar-benar menemukan maknanya.

Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - MotoGP Mandalika: Pesta Dunia, PR bersama
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - BTT NTB: Dana darurat atau kotak hitam?
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Turide di persimpangan: Siapkah NTB menghadapi PON 2028?
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB: Profesionalisme Tim Percepatan NTB yang dipertaruhkan
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB- Kamar kosong di tengah euforia MotoGP: NTB bersiap atau tertinggal?


Pewarta : Abdul Hakim
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2025