Mataram (ANTARA) - KATANYA - ‘Mungkin’ masih hidup dan tertanam, sebuah cara pandang yang melihat bahwa “budaya” hanya milik mereka yang ‘katanya’ berdarah biru dan berbahasa halus. Mungkin jika di Jawa, yang dianggap budaya adalah tari istana, gamelan, batik motif parang, atau sastra dengan bahasa-bahasa metafor yang sulit dipahami oleh masyarakat awam. Pandangan ini sudah lama hidup—dan tanpa sadar dirawat oleh sebagian kalangan—seolah hanya kaum bangsawan yang berhak menamakan diri sebagai penjaga budaya.
Padahal, kebudayaan tidak lahir dari istana saja; ia bisa juga lahir dari dapur, sawah, warung kopi, jalanan, dan pasar. Dari tangan-tangan orang biasa yang setiap hari berjuang menata hidupnya. Kebudayaan sejatinya adalah hasil kreativitas bersama: cara manusia menata dunia agar hidupnya terasa lebih manusiawi (Koentjaraningrat, 2009). Maka, kebudayaan bukan milik kelas sosial tertentu, melainkan cerminan kehidupan masyarakat pemiliknya—entah itu bangsawan dengan gamelannya, atau tukang sayur dengan pantun tawar-menawar misalnya.
Kebudayaan pada dasarnya adalah cermin. Ia memantulkan nilai, cara berpikir, dan pengalaman masyarakat yang melahirkannya. Kalau kita mau menelusuri, setiap bentuk budaya selalu punya alasan sosial di belakangnya. Cara berpakaian petani yang sederhana bukan karena mereka tak tahu mode, tapi karena pakaian itu harus ringan dan mudah dibersihkan di sawah. Begitu pula rumah panggung di Kalimantan atau Sulawesi—itu bukan gaya arsitektur mewah, melainkan solusi agar aman dari banjir dan binatang liar (Geertz, 1973).
Artinya, budaya tidak bisa dipisahkan dari realitas hidup masyarakat. Ia tumbuh dari kebutuhan yang nyata, bukan dari estetika semata. Kalau di kota, mungkin budaya nongkrong di warung kopi atau membuat meme lucu di media sosial pun bisa dibilang bentuk kebudayaan—karena di sanalah orang bertukar pikiran, membangun solidaritas, dan mengekspresikan diri (Storey, 2018). Jadi, setiap masyarakat punya kebudayaannya sendiri, tak peduli apakah itu lahir di keraton, di kampung nelayan, atau di pinggiran kota. Semua sah, semua merepresentasikan kehidupan yang riil.
Kalau ditelusuri lebih jauh, kebudayaan pada dasarnya adalah “akal sehat yang diwariskan.” Ia lahir dari kebutuhan manusia untuk bertahan hidup dan beradaptasi dengan lingkungannya. Rumah panggung, sistem irigasi tradisional, pola tanam musiman, hingga upacara panen—semuanya adalah strategi manusia untuk menaklukkan alam dan mengelola kehidupan. Jadi jangan buru-buru menilai budaya hanya dari sisi keindahan. Di balik setiap tarian, lagu, atau tradisi, selalu ada logika bertahan hidup yang cerdas.
Budaya bukan sekadar soal estetika semata; ia adalah strategi eksistensi manusia. Ketika seseorang menumbuk padi dengan lesung sambil bernyanyi, itu bukan sekadar hiburan—itu cara agar pekerjaan berat terasa ringan, dan rasa kebersamaan tetap hidup. Kebudayaan lahir bukan dari kemewahan, tapi dari kebutuhan. Ia tumbuh karena manusia terus beradaptasi, berinovasi, dan mencari cara agar hidup tetap bisa dijalani dengan penuh makna (Geertz, 1973).
Kalau kebudayaan lahir dari olah pikir dan pengalaman hidup manusia, maka tak ada alasan untuk menganggap hanya sebagian orang yang berhak menciptakannya. Di kampung-kampung, budaya bisa muncul dari permainan anak-anak yang menggunakan biji karet, dari irama kentongan ronda malam, atau dari syair pantun di acara hajatan. Bukankah itu juga ekspresi rasa, kreasi, dan kebersamaan?
Sementara di kota, budaya juga tumbuh dari obrolan warung kopi, mural di tembok gang, hingga musik jalanan di perempatan lampu merah. Semua itu adalah bentuk kebudayaan yang tumbuh dari rakyat, bukan dari ruang tamu istana. Bedanya hanya satu: yang satu mungkin berbalut kemewahan, sementara yang lain berlapis keseharian. Tapi keduanya sama-sama menyimpan nilai estetika, sejarah, dan identitas yang otentik.
Kebudayaan tidak mengenal kasta. Ia bisa lahir di panggung teater megah, tapi juga di jalan becek tempat anak-anak bermain gundu. Selama manusia masih berpikir, berimajinasi, dan berkomunikasi, kebudayaan akan terus menemukan bentuknya—di mana saja, oleh siapa saja.
Sayangnya, sebagian dari kita masih memandang budaya dengan kacamata elitis. Namun, tidak semua orang mau mengakui kenyataan inklusif itu. Budaya rakyat dianggap “rendahan”, “kurang berkelas”, atau bahkan “tidak berbudaya.” Padahal, mengukur kebudayaan dengan standar tertentu sama saja seperti menilai keindahan bunga dari seberapa mahal potnya.
Tidak ada budaya yang lebih tinggi dari yang lain. Tari istana yang penuh tata krama dan gerak lambat, sama berharganya dengan tari rakyat yang enerjik dan spontan. Wayang kulit yang sarat filosofi sama bernilainya dengan ludruk atau lenong yang penuh kelucuan. Keduanya lahir dari kebutuhan yang berbeda, tapi sama-sama memancarkan jiwa masyarakatnya.
Pandangan elitis justru berbahaya. Ia membuat kita kehilangan empati budaya, menutup mata terhadap kreativitas rakyat kecil, dan melupakan bahwa semua yang disebut “budaya besar” dulu pun bermula dari rakyat biasa. Kalau bukan rakyat yang membuat gamelan, siapa yang akan menabuhnya? Kalau bukan nelayan yang bernyanyi di laut, dari mana lagu-lagu rakyat itu berasal?
Untuk memahami kebudayaan dengan benar, kita perlu berhenti menjadi hakim budaya. Kita perlu menjadi pendengar, pengamat, dan pembelajar. Setiap kebudayaan punya logika, nilai, dan sistem makna yang hanya bisa dimengerti dari dalam—dari sudut pandang masyarakat yang melahirkannya (Geertz, 1973).
Ambil contoh ritual panen di desa. Bagi sebagian orang kota, itu mungkin dianggap takhayul atau ketinggalan zaman. Tapi bagi petani, ritual itu adalah cara mengucap syukur, menjaga harmoni, dan memperkuat ikatan sosial. Ada nilai solidaritas, spiritualitas, dan kebersamaan yang tidak bisa diukur dengan nalar ekonomi. Orang lain akan sulit menemukan esensi inti dari kebudayaan yang dimiliki suatu masyarakat, meskipun ia terlibat langsung dalam kebudayaan itu selama bertahun-tahun. Sebagaimana Supanggah (2010) yang menyebut Benamou belum dapat menemukan “rasa” sesungguhnya yang dirasakan masyarakat Jawa (Dalam Benamou, 2010).
Memahami budaya berarti memahami manusia. Dan manusia tidak pernah bisa dilepaskan dari konteks sosialnya. Itulah sebabnya, belajar budaya bukan hanya soal menonton pertunjukan, tapi juga mendengar cerita di baliknya—tentang siapa yang membuatnya, untuk apa, dan bagaimana ia hidup di tengah masyarakat .
Kebudayaan layaknya makhluk hidup. Ia bernapas, tumbuh, berubah, bahkan berdebat dengan zamannya. Ia tidak statis, tidak suci, dan tidak final. Karena itu, setiap usaha untuk “membekukan” kebudayaan—atas nama kesopanan, moralitas, atau ideologi—sebenarnya adalah usaha membunuhnya secara perlahan.
Ekses atau dampak negatif memang tidak bisa dihindari. Di dunia yang terus berubah, budaya juga akan menghadapi benturan, pergeseran, bahkan distorsi. Tapi justru di sanalah letak kekuatannya: kebudayaan selalu menemukan cara baru untuk bertahan, menyesuaikan diri, dan tetap relevan.
Sudah saatnya berhenti menempatkan budaya di menara gading. Kebudayaan tidak tumbuh di ruang yang megah, tapi di ruang yang hidup—di meja makan keluarga, di jalanan kota, di sawah, di pabrik, dan di dunia maya yang penuh kreativitas baru. Maka, sudah seharusnya kita berhenti memisahkan antara “budaya tinggi” dan “budaya rakyat.” Semua adalah hasil olah rasa manusia yang sama-sama berjuang mencari makna hidupnya. Sebab, pada akhirnya, kebudayaan tumbuh bukan karena kemewahan, melainkan karena kehidupan. Dan selama manusia hidup, kebudayaan akan terus bernapas.
*) Penulis adalah seniman sekaligus budayawan