Mataram (ANTARA) - Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang menyebut izin pengerjaan proyek pembangunan revetment di sepadan pantai kawasan wisata Gili Meno, Kabupaten Lombok Utara, bukan terbit dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

"Revetment yang di sepadan pantai itu, izinnya bukan dari KKP, karena itu di luar kawasan (BKKPN). Itu antara BWS (balai wilayah sungai) dan pemda sepertinya," kata Koordinator BKKPN Kupang Wilayah Kerja Perairan Gili Trawangan, Meno, dan Air (Tramena) Martanina melalui sambungan telepon dari Mataram, Senin.

BKKPN, jelas dia, hanya mengurus izin atas pengerjaan breakwater dan groin yang berada di perairan. Proyek breakwater dan groin ini disinyalir masih satu kesatuan dengan proyek revetment dengan nilai pekerjaan mencapai Rp72 miliar.

"Jadi, kalau yang breakwater sama groin itu sudah ada izin PKKPRL-nya. Diberikan sesuai kondisi ekosistem di sana (Gili Meno)," ujarnya.

PKKPRL adalah izin yang diterbitkan pemerintah agar pemanfaatan ruang laut berjalan sesuai rencana tata ruang. Dasar dari penerbitan antara lain adalah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 juncto UU No. 1 Tahun 2014, UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, serta UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Untuk pelaksanaan dijelaskan dalam Permen KP No. 28 Tahun 2021.

"Jadi, dari KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) cuma PKKPRL yang terbit. Untuk amdal dan lain-lain itu dari pemda (pemerintah daerah)," ujarnya.

Baca juga: Aktivis lingkungan soroti proyek dinding pantai di Gili Meno Lombok Utara

Martanina menyampaikan bahwa proyek pencegah abrasi di Gili Meno yang berada di bawah kendali Kementerian PUPR ini sebenarnya berangkat dari rasa kekhawatiran masyarakat di kawasan wisata Gili Trawangan, Meno, dan Air (Tramena) tentang ancaman abrasi.

"Jadi, memang tahun 2019 itu ada permintaan dari masyarakat tiga gili untuk menahan abrasi, karena menurut mereka abrasi itu merupakan ancaman," ucap dia.

Atas adanya permintaan masyarakat ini, pemerintah daerah meneruskan hal tersebut ke pemerintah pusat dan mendapatkan respons positif dari Bappenas.

Pemerintah pusat kemudian memberikan atensi dengan membuat rancangan melalui pembuatan detail engineering design (DED) pada tahun 2022.

"Dari desainnya dilihat lah ternyata dampak abrasi itu mengikis pulau, per tahunnya mencapai 2,5 sampai 3 meter. Selama 10 tahun terakhir sudah hilang 30 meter," katanya.

Baca juga: WNA Swiss terdakwa eksploitasi air Gili Trawangan diperiksa Kejati NTB

Hasil pemetaan tersebut kemudian dibahas lebih lanjut dalam sebuah forum hingga melahirkan persetujuan pengerjaan proyek pencegah abrasi dari sepadan pantai hingga perairan Gili Meno.

"Saat itu ada beberapa metode dan lokasi yang diajukan. Dan saat itu kami ada menolak. Kalau lokasinya di situ bagus terumbu karangnya dan lain-lainnya, kami tolak, metode yang merusak kami tolak," ucap dia.

Oleh karena itu, Martanina meyakini bahwa proyek pembangunan pencegah abrasi ini sudah melalui kajian dan pembahasan yang cukup panjang.

"Akhirnya dari tahun 2022 rancangan itu selesai, dan baru bisa dilaksanakan tahun 2025 ini," ujarnya.

Sebelumnya, keberadaan proyek ini cukup menyedot perhatian publik dan tidak sedikit muncul rasa kecewa dari kalangan wisatawan asing tentang potensi perusakan ekosistem laut.

Potensi tersebut dilihat dari proses pengerjaan proyek yang turut memanfaatkan alat berat untuk pemindahan material bangunan seperti tumpukan bebatuan yang menimbun sepadan pantai hingga perairan.

Baca juga: Warga Gili Meno minta pemerintah sambung pipa air bersih


Pewarta : Dhimas Budi Pratama
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2025