Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman menekankan perlunya konsisten untuk fokus dalam mengatasi permasalahan defisit neraca perdagangan nasional.
"Solusi dalam jangka pendek yang paling efektif dan selalu digulirkan adalah dengan mengendalikan impor. Hal ini sebenarnya lumrah dilakukan karena untuk mendorong peningkatan nilai ekspor," kata Assyifa Szami Ilman dalam siaran pers di Jakarta, Minggu.
Defisit neraca dagang Indonesia pada April 2019 merupakan yang tertinggi sejak April 2013, di mana angka defisit mencapai 2,5 miliar dolar AS. Adapun angka impor tercatat naik sebesar 12,2 persen dan ekspor turun sebesar 10,8 persen.
Menurut Assyifa Szami Ilman, faktor internal dan eksternal berperan dalam capaian neraca perdagangan saat ini.
"Faktor internal yang dimaksud di sini adalah masih dominannya komoditas mentah sebagai komoditas utama ekspor Indonesia. Komoditas ini, walaupun konsisten mendorong ekspor, namun rentan terhadap perubahan harga, sehingga tidak bisa terus menerus diandalkan," jelasnya.
Selain itu, lanjut dia, ketegangan tensi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China juga menjadi sentimen negatif dalam perdagangan internasional. Semua negara yang bermitra dengan AS dan China, termasuk Indonesia, pasti terdampak dari adanya eskalasi perang dagang beberapa waktu terakhir ini.
"Perlu proses transformasi di sektor industri yang cukup memakan waktu dan disertai juga dengan perubahan berbagai macam regulasi yang memberikan insentif pada para pengusaha untuk meningkatkan nilai jual produknya," ungkapnya.
Namun dalam mengendalikan impor, lanjutnya, perlu kehati-hatian karena impor Indonesia saat ini masih didominasi oleh impor bahan baku dan barang modal, yang notabene diperlukan untuk proses produksi dalam negeri.
Ia mengingatkan bahwa beberapa waktu yang lalu, pemerintah menggulirkan aturan tarif impor untuk berbagai macam barang konsumsi, yang sebenarnya relatif kecil apabila dibandingkan dengan impor bahan baku dan impor barang modal. Namun tentunya mengendalikan dua jenis impor lain dapat berpengaruh terhadap kinerja sektor industri dan manufaktur nasional.
"Pada akhirnya, walaupun pengendalian impor ini adalah solusi jangka pendek yang dapat diandalkan, tentunya hal ini tidak bisa selama-lamanya digunakan untuk mengatasi defisit neraca perdagangan. Diperlukan pendekatan yang lebih struktural seperti perubahan regulasi yang sifatnya meningkatkan daya saing industri dalam negeri untuk bisa meningkatkan nilai jual barang ekspornya," ujarnya.
"Solusi dalam jangka pendek yang paling efektif dan selalu digulirkan adalah dengan mengendalikan impor. Hal ini sebenarnya lumrah dilakukan karena untuk mendorong peningkatan nilai ekspor," kata Assyifa Szami Ilman dalam siaran pers di Jakarta, Minggu.
Defisit neraca dagang Indonesia pada April 2019 merupakan yang tertinggi sejak April 2013, di mana angka defisit mencapai 2,5 miliar dolar AS. Adapun angka impor tercatat naik sebesar 12,2 persen dan ekspor turun sebesar 10,8 persen.
Menurut Assyifa Szami Ilman, faktor internal dan eksternal berperan dalam capaian neraca perdagangan saat ini.
"Faktor internal yang dimaksud di sini adalah masih dominannya komoditas mentah sebagai komoditas utama ekspor Indonesia. Komoditas ini, walaupun konsisten mendorong ekspor, namun rentan terhadap perubahan harga, sehingga tidak bisa terus menerus diandalkan," jelasnya.
Selain itu, lanjut dia, ketegangan tensi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China juga menjadi sentimen negatif dalam perdagangan internasional. Semua negara yang bermitra dengan AS dan China, termasuk Indonesia, pasti terdampak dari adanya eskalasi perang dagang beberapa waktu terakhir ini.
"Perlu proses transformasi di sektor industri yang cukup memakan waktu dan disertai juga dengan perubahan berbagai macam regulasi yang memberikan insentif pada para pengusaha untuk meningkatkan nilai jual produknya," ungkapnya.
Namun dalam mengendalikan impor, lanjutnya, perlu kehati-hatian karena impor Indonesia saat ini masih didominasi oleh impor bahan baku dan barang modal, yang notabene diperlukan untuk proses produksi dalam negeri.
Ia mengingatkan bahwa beberapa waktu yang lalu, pemerintah menggulirkan aturan tarif impor untuk berbagai macam barang konsumsi, yang sebenarnya relatif kecil apabila dibandingkan dengan impor bahan baku dan impor barang modal. Namun tentunya mengendalikan dua jenis impor lain dapat berpengaruh terhadap kinerja sektor industri dan manufaktur nasional.
"Pada akhirnya, walaupun pengendalian impor ini adalah solusi jangka pendek yang dapat diandalkan, tentunya hal ini tidak bisa selama-lamanya digunakan untuk mengatasi defisit neraca perdagangan. Diperlukan pendekatan yang lebih struktural seperti perubahan regulasi yang sifatnya meningkatkan daya saing industri dalam negeri untuk bisa meningkatkan nilai jual barang ekspornya," ujarnya.