Mataram (ANTARA) - Provinsi Nusa Tenggara Barat (BPS) kembali mengalami defisit neraca perdagangan akibat nilai impor yang tercatat lebih tinggi daripada nilai ekspor pada Februari 2025.
"Defisit cukup lumayan besar sekitar 6,55 juta dolar AS. Neraca perdagangan minus," kata Kepala BPS NTB Wahyudin di Mataram, Senin.
Sejak Januari hingga Februari 2025, aktivitas perdagangan ekspor yang dilakukan Nusa Tenggara Barat hanya berasal dari komoditas non tambang dengan angka yang terbilang sedikit.
Pemerintah pusat melarang PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) untuk mengekspor konsentrat lantaran perusahaan tambang tembaga itu sudah memiliki fasilitas smelter yang berfungsi meningkatkan nilai tambah bagi produk mentah hasil tambang.
Baca juga: BPS: Neraca perdagangan di NTB defisit 38,56 juta dolar AS
Nilai ekspor Nusa Tenggara Barat tercatat sebanyak 7,28 juta dolar pada Februari 2025, sedangkan nilai impor mencapai 13,82 juta dolar AS.
Komoditas ekspor berupa udang kaki putih dan lobster, mutiara yang belum diolah, daging dan ikan olahan, rumput laut, kacang mete, maupun batu apung.
Adapun komoditas impor yang masuk ke Nusa Tenggara Barat berupa mesin-mesin/pesawat mekanik, karet dan barang dari karet, produk keramik, berbagai produk kimia, mesin/peralatan listrik, serta benda-benda dari besi dan baja.
Baca juga: APBD Perubahan NTB mengalami defisit Rp300 miliar dampak COVID
Wahyudin mengungkapkan secara kumulatif neraca perdagangan Nusa Tenggara Barat pada tahun 2025 masih mengalami defisit sebesar 40,78 juta dolar AS.
Dia berharap komoditas non tambang yang dihasilkan dari sumber daya alam Nusa Tenggara Barat bisa terus berkembang dan produk yang diekspor semakin beragam.
"Mudah-mudahan muncul komoditas non tambang baru yang berasal dari Nusa Tenggara Barat," pungkas Wahyudin.
Baca juga: DPRD NTB harapkan pj gubernur tuntaskan masalah defisit anggaran