Surabaya, (ANTARA) - Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Prof. Sasa Djuarsa Sendjaja, Ph.D. minta KPI di daerah (KPID) juga dibiayai APBN seperti halnya KPI pusat.
"Saya kira, Undang-undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran memang sudah perlu direvisi," katanya setelah menjadi penguji dalam ujian terbuka doktor di Unair Surabaya (2/2).
Ia mengemukakan hal itu setelah ujian terbuka doktor di Pascasarjana Unair Surabaya untuk staf ahli Menkominfo Henri Subiakto S.H., M.A., dengan promotor Prof. Ramlan Surbakti, PhD.
Ujian terbuka itu dihadiri sejumlah kolega, di antaranya Prof. Sasa Djuarsa (Ketua KPI/UI), Freddy Tulung (Kepala Badan Informasi Publik Kemenkominfo), Dr. Ishadi SK MSc (Presdir Trans-TV), dan Dr. Ahmad Mukhlis Yusuf (Dirut Perum LKBN ANTARA).
Profesor Sasa yang merupakan guru besar Ilmu Komunikasi UI itu mengatakan KPI pusat selama ini dibiayai APBN, sedangkan KPI di daerah-daerah dibiayai APBD setempat.
"Hal itu justru menciptakan kesenjangan antara pusat dan daerah, karena 70 persen KPI di daerah justru gajinya memprihatinkan atau di bawah upah minimum kabupaten (UMK), dan bahkan ada beberapa yang gajinya belum dibayar," katanya.
Menurut dia, penyatuan KPU pusat dengan daerah tidak hanya mengandung konsekuensi dalam anggaran, namun hal itu juga memudahkan koordinasi antara KPU pusat dengan daerah.
"Dengan penyatuan itu, KPI daerah yang `mbalelo` (membandel) akan mudah dikenai sanksi. Mungkin hal itu memunculkan sentralisasi, tapi saya kira sentralisasi yang ada hanya sentralisasi struktur dan bukan sentralisasi program," katanya.
Perubahan penting lainnya adalah perizinan dalam penyiaran seharusnya dilakukan per wilayah, kemudian KPI dipilih oleh presiden juga tak perlu dipersoalkan.
"Saya kira, KPI dipilih DPR atau presiden, yang penting adalah indenpedensi," katanya, menanggapi usul staf ahli Menkominfo Henri Subiakto tentang perlunya KPI di bawah presiden.(*)