Jakarta (ANTARA ) - Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh meminta sekolah umum tidak menolak siswa berkebutuhan khusus (inklusif) untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar seperti layaknya peserta didik lainnya karena tidak semua daerah telah memiliki sekolah khusus.
"Saya mengharapkan agar sekolah umum terutama di daerah memberikan kesempatan bagi anak-anak yang memiliki kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial atau sebaliknya memiliki potensi kecerdasan dan bakatt istimewa," kata Mohammad Nuh saat membuka Rakor Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (PSLB) di Surabaya, Sabtu malam.
Mendiknas mengingatkan penolakan karena alasan akses bagi anak-anak inklusif sama saja dengan tindakan diskriminasi sebab berbagai keterbatasan yang disampaikan pihak sekolah umum untuk bisa menerima anak inklusif sebenarnya bisa dicarikan solusinya.
"Harus dapat dimaklumi pula mengingat anak berkebutuhan khusus sebagian besar tinggal di pelosok desa-desa dan kecamatan, sedangkan keberadaan sekolah luar biasa (SLB) atau sekolah khusus, seperti sekolah bagi anak-anak TKI, sekolah bagi anak di pulau-pulau terluar dan sekolah bagi anak Lapas hanya berada di kota/kabupaten," katanya.
Karena itu, pada 2010 ini pemerintah terus memperluas implementasi program pendidikan inklusif pada tingkat SD, SMP, SMA dan SMK umum atau sekolah reguler sehingga anak berkebutuhan khusus yang tinggal di desa, kecamatan berpeluang untuk belajar bersama-sama dengan peserta didik lain di sekolah biasa/umum yang terdekat dengan tempat tinggalnya, katanya.
Selain itu, Kementerian Pendidikan Nasional akan mengakomodasi fasilitas bagi anak berkebutuhan khusus dengan kelainan fisik baik dalam pembangunan sekolah baru maupun proses rehabilitasi gedung sekolah, katanya.
"Kami akan mulai tahun 2010 sehingga fasilitas bagi penyandang cacat seperti jalur khusus bagi kursi roda, kamar mandi khusus sudah menjadi satu paket dalam pembangunan sekolah baru ataupun rehabilitasi sekolah," katanya.
Lebih lanjut Mohammad Nuh mengatakan, pemerintah akan memberikan perhatian khusus bagi pendidikan khusus yang termarginalkan melalui peningkatan alokasi anggaran bagi pendidikan khusus serta melakukan penataan manajemen pengelolaan sentra pendidikan khusus.
Sebelumnya, Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa (PSLB) Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen), Eko Djatmiko mengakui hingga kini masih banyak sekolah reguler/umum yang enggan menerima siswa dengan kategori inklusif karena berbagai macam alasan.
"Diantaranya seperti tidak tersedia guru khusus yang bisa melayani anak inklusif, sekolah tidak memiliki fasilitas memadai untuk anak inklusif, dan kekhawatiran penolakan secara sosial dari peserta didik lainnya," katanya.
Akibat penolakan tersebut, ujar Eko telah membuat keprihatinan sejumlah orang tua anak inklusif dan suakrelawan untuk mendirikan sekolah atau lembaga yang memberikan layanan inklusif.
"Minat untuk menjadi guru pendidikan bagi anak inklusif sangat rendah, kebanyakan merasa tidak sanggup karena memang dibutuhkan kesabaran, kecermatan dan ketekunan. Sementara kesejahteraan yang diterima relatif kecil sehingga tidak heran bila minat untuk menjadi guru sekolah luar biasa rendah," katanuya.
Eko mengatakan, saat ini sekolah luar biasa (SLB) dan pendidikan inklusif lainnya kebanyakan ditopang oleh tenaga-tenaga sukarelawan yang memiliki kepedulian terhadap anak-anak tersebut.
Saat ini, peningkatan pelayanan terhadap anak dengan kebutuhan khusus diberikan dalam bentuk beasiswa khusus sebesar Rp900 ribu per siswa, disamping dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk siswa inklusif di tingkat SD dan SMP.(*)