Jaksa dan kepolisian di NTB gelar pertemuan bahas UU Kekerasan Seksual

id uu tpks,kekerasan seksual,uu baru

Jaksa dan kepolisian di NTB gelar pertemuan bahas UU Kekerasan Seksual

Wakil Kepala Kejati NTB Enen Saribanon. (ANTARA/Dhimas B.P.)

Mataram (ANTARA) - Jaksa dan kepolisian yang bertugas di wilayah hukum Nusa Tenggara Barat menggelar pertemuan dengan membahas Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang disahkan oleh Presiden RI Joko Widodo pada 9 Mei 2022.

Wakil Kepala Kejati NTB Enen Saribanon yang mewakili kejaksaan dalam pertemuan dengan pihak kepolisian di Polda NTB, Mataram, Rabu, mengatakan pembahasan ini untuk menyatukan persepsi terkait penerapan Undang-Undang RI Nomor 12/2012 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

"Jadi, ke depannya, Undang-Undang TPKS ini yang menjadi dasar penyidik dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Apa saja itu, di antaranya dalam persoalan KDRT, pelecehan seksual, eksploitasi. Semua yang berkaitan dengan kekerasan seksual masuk di undang-undang yang baru ini," kata Enen.

Dalam undang-undang yang baru ini, kata dia, bukan hanya mengatur soal sanksi pidana namun juga tentang perlindungan dan pemenuhan hak bagi korban kekerasan seksual.

"Ada disebutkan dalam Bab IX, Pasal 56, di situ menjelaskan, setelah tahap dua, penyerahan tersangka dan barang bukti dari penyidik ke penuntut umum, jaksa dapat melakukan pertemuan pendahuluan," ujarnya.

Artinya, lanjut dia, ada kewajiban dari aparat penegak hukum secara terpadu bersama lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK) memberikan perlindungan dan memenuhi hak-hak korban.

Dia pun menjelaskan dalam penerapan aturan perundang-undangan yang lama, seperti pada Undang-Undang Perlindungan Anak, korban dengan jaksa hanya bisa bertemu pada saat persidangan.

"Dalam aturan yang baru ini, jaksa bisa bertemu dengan korban sebelum proses persidangan berlangsung. Boleh kita panggil si saksi korban untuk memberikan perlindungan didampingi institusi lain, keluarga dan lainnya," ucap dia.

Pemenuhan hak-hak korban juga demikian. Dalam aturan baru, korban kasus kekerasan seksual boleh tidak hadir di persidangan.

"Jadi, korban bisa memberikan kesaksian di persidangan melalui rekaman virtual," kata Enen.

Lebih lanjut, dia memastikan bahwa kejaksaan dan kepolisian berkomitmen untuk menyosialisasikan aturan baru ini ke masyarakat.

"Sosialisasi itu penting agar masyarakat juga mengetahui tentang aturan baru ini," ujarnya.