Perjuangkan Sampah Aisyah Bertolak ke Negeri Sakura

id Aisyah Odist

Perjuangkan Sampah Aisyah Bertolak ke Negeri Sakura

Aisyah sedang memberi contoh pembuatan produk daur ulang (Ist)

Saya bahkan sudah beberapa kali memberikan materi enterpreneur kepada mahasiswa untuk membukakan wawasan betapa sampah pun prospektif untuk dibisniskan

Menjejaki berbagai macam pekerjaan pada lintas kehidupannya, mulai dari berjualan bakso, bisnis distro, pemandu (guide) di kawasan Asia, produser film dan musik, pada akhirnya Aisyah Odist malah mantap mendamparkan dirinya pada lini usaha bank sampah.

Bank itu didirikan pada tahun 2012 dengan tujuan utama untuk menyadarkan masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan, serta mengingatkan warga betapa berbahayanya sampah plastik.

"Modal awal mendirikan bank sampah itu antara Rp200 ribu - Rp300 ribu, ditanggung saya dan dua sahabat saya Rina Pugh dan Tene Permatasari. Kami bertiga inilah pendiri bank sampah yang belakangan diberi nama NTB Mandiri," kata perempuan kelahiran Lingkungan Banjaran, Ampenan, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Pada awal pendirian bank, ketiga perempuan itu masih mencari formula yang tepat tentang tata kelolanya, sehingga mengadakan studi banding ke Bandung, Yogyakarta, dan Jakarta. Meski demikian, bukan berarti hasil studi banding diterapkan langsung, melainkan dilakukan penyesuaian agar gampang diterima masyarakat setempat.

Enam bulan berselang, kegiatan produksi dari sampah-sampah plastik mulai dilakukan. Melalui pembelajaran dari dunia internet, Aisyah, Rina dan Tene bereksperimen membuat berbagai kerajinan dengan menggunakan bahan sampah plastik.

Produk daur ulang sampah ini kemudian ditawarkan ke hotel-hotel dan pameran UMKM untuk dikenalkan pada konsumen. Bermula dari pengenalan ini, produk daur ulang itu mulai menarik minat masyarakat, khususnya orang asing yang sedang berwisata ke Lombok.

Produk yang dibikin Aisyah hingga kini telah mencapai lebih 50 jenis. Antara lain, tas anyaman, replika bonsai, boneka Jepang, ingka atau wadah buah, berbagai jenis bunga, dompet dan lainnya.

"Kisaran harga produk paling murah jenis dompet yang dijual Rp25 ribu sampai yang paling mahal tas anyaman eksklusif yang harganya mencapai Rp600 ribu per item. Omzet yang didapat rata-rata Rp20 juta per bulan," katanya.


Jangan Kalah Sama Plastik

Ketika akhirnya Tene pindah Jakarta dan Rina bermukim di Darwin, Australia, tinggal Aisyah yang seorang diri meneruskan laju bank sampah itu, dan terbukti telah berhasil menggapai kemajuan setapak demi setapak.

"Sampai sekarang, ada konsumen empat negara yang sering memesan produk sama saya, yakni Prancis, Australia, Jerman dan Belgia. Produk yang dipesan cenderung variatif, tapi memang yang disukai adalah beragam macam tas," katanya.

Demi memperluas pengenalan produk pada pasar mancanegara, Aisyah pun membuka paket belajar membuat produk daur ulang. Salah satu paket yang diminati, dibandrol dengan harga Rp65 ribu, di mana orang bersangkutan akan mendapatkan `goody bag` yang berisi sampah plastik siap pakai untuk bahan baku, gunting, benang dan jarum. Paket ini menghabiskan waktu sehari, sampai orang itu menyerap materi yang diberikan. Setelah itu, seseorang itu bisa melanjutkan pembelajaran pada tahap pemantapan, dan tidak lagi dipungut biaya.

"Jika nanti banyak orang yang menguasai pembuatan produk daur ulang, saya tidak akan kecil hati. Toh ide seseorang bisa terus mengalir. Masing-masing orang mempunyai ide produk berlainan. Saya berprinsip asal ada kemauan, kita bisa menciptakan apa saja yang kita rencanakan. Asal jangan kalah sama plastik saja," ujar
pimpinan di Amors Talent Agency dan Pimpinan di Amor's Bintang Production.

Makin tingginya minat pasar terhadap produk daur ulang, tidak lantas membuat Aisyah terobsesi untuk mengembangkan bisnis semata. Baginya, yang terpenting adalah dirinya bisa berperan aktif dalam mengurangi sampah plastik di bumi sebagai langkah penyelamatan lingkungan.

Begitu intensnya perhatian Aisyah pada penyelamatan lingkungan, maka di saat-saat senggang dirinya selalu menyempatkan diri untuk mengedukasi masyarakat mengenai perlunya memperhatikan lingkungan.

Tidak hanya di sekitar Mataram, Aisyah pun tidak keberatan meluangkan waktu mengedukasi masyarakat hingga ke berbagai desa di kawasan Lombok. Seperti, Lembah Cempaga - Sesaot, Dusun Duduk - Lombok Barat dan wilayah lainnya.

Kepiawaiannya mengedukasi masyarakat dan kemampuannya menciptakan produk kreatif, membuat Aisyah sering mendapatkan undangan untuk melakukan pelatihan di berbagai tempat. Seperti di Bima, Sumbawa, dan beberapa kota besar di Indonesia.

Kegiatan nyaris tiada henti ini, bagi Aisyah justru merupakan anugerah baginya karena makin memperluas jaringan untuk mengkampanyekan pelestarian lingkungan. Untuk mengasah kemampuan, Aisyah pun tidak segan pergi ke negeri sakura, Jepang, untuk menjalani training pengelolaan sampah.

"Setelah menerjuni profesi yang berkenaan dengan sampah, kegiatan saya nyaris tiada henti. Setiap hari, selalu ada tamu yang datang ke workshop entah untuk sekedar melihat hasil produk atau belajar. Sampah membawa saya pada kehidupan yang memang saya sukai, untuk senantiasa berinteraksi dan saling membawa nilai positif tentang lingkungan hidup dengan manusia berbagai suku dan negara," ujarnya.

Menekuni bank sampah, sekarang menjadi fokus kehidupan Aisyah. Meski sebelumnya dirinya pernah menekuni berbagai macam pekerjaan, namun menjadi pelaku bisnis di bidang sampah, membawa nilai baru baginya.

"Dulu saya pernah dagang macam-macam. Pernah dagang bakso juga. Selain itu, pernah bikin distro, buat desain, menjadi produser musik dan film dan macam-macam lagi profesi yang saya terjuni. Tapi entah kenapa, berkecimpung di bidang sampah, menawarkan hal positif yang ingin terus dan terus saya terjuni," katanya.


Paradigma Baru

Sampah sering diidentikkan dengan orang-orang yang berpakaian lusuh dan berwajah kuyu. Hal ini ingin diubah Aisyah dalam paradigma baru, bahwa menerjuni bidang sampah pun bisa dilakukan oleh oleh masyarakat kelas menengah ke atas.

"Saya bahkan sudah beberapa kali memberikan materi enterpreneur kepada mahasiswa untuk membukakan wawasan betapa sampah pun prospektif untuk dibisniskan," ujarnya.

Bisnis daun ulang menggunakan bahan baku sampah, kata perempuan yang pernah menjadi guide selama 13 tahun di kawasan Asia ini, bahkan memiliki keunggulan dikarenakan serba `paling, yakni paling minim modalnya namun banyak untungnya, paling santai pengerjaannya, paling sedikit risikonya dan paling sedikit pula pesaingnya.

"Kalau ditekuni serius, keuntungan dari bisnis menggunakan bahan sampah ini pun sangat bagus. Namun, saya tetap berpegang bahwa bisnis ini sebagai jawaban pertanyaan masyarakat, kalau sudah pandai membuat produk, lantas diapakan? Nah, pertanyaan itu saya jawab dengan menyalurkan produk ke konsumen dan tetap ingin menerobos pasar mancanegara seluas-luasnya," ucap anak bungsu dan 11 bersaudara ini.

*) Tri Vivi Suryani adalah penulis buku dan artikel