Maraknya urbanisasi usai Lebaran
Jakarta (ANTARA) - Fenomena perpindahan penduduk dari desa ke kota pasca-mudik Lebaran masih terus terjadi. Fenomena ini seolah sudah menjadi tradisi setiap tahun yang terjadi di Indonesia.
Para pemudik seringkali membawa saudara/kenalan dari kampung halaman untuk ikut merantau dan mencoba mengadu nasib di kota. Ada dari mereka yang memang memiliki keahlian yang dapat digunakan untuk melamar pekerjaan, ada pula yang hanya modal nekat atau sekadar ikut-ikutan.
Maraknya penduduk desa yang ingin meraih keberuntungan di kota sebenarnya tidak masalah. Ini justru menunjukkan bahwa masih ada kemauan dan semangat dari para angkatan kerja di desa untuk terus berusaha meningkatkan taraf hidupnya.
Tentu ini merupakan hal yang sangat positif, namun di sisi lain hal ini juga mencerminkan masih minimnya lapangan pekerjaan di desa. Hal ini juga mencerminkan bahwa penduduk usia produktif yang merantau, cenderung tidak tertarik pada sektor pertanian yang identik berada di perdesaan.
Seiring banyaknya urbanisasi yang terjadi, membuat perdesaan semakin ditinggalkan oleh penduduk usia produktif. Hal ini tentu akan berpengaruh pada pembangunan desa yang dikhawatirkan juga akan tersendat. Dalam jangka panjang, hal ini juga akan berpengaruh pada semakin ditinggalkannya sektor pertanian.
Minimnya kesejahteraan para petani yang terlihat oleh masyarakat di desa, mungkin menjadi faktor yang membuat mereka menjadi tidak tertarik untuk terjun pada sektor pertanian.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS), rata-rata upah buruh dengan lapangan pekerjaan pertanian pada Agustus 2023 hanya sebesar Rp2,37 juta. Angka ini masih di bawah rata-rata upah buruh nasional yang sebesar Rp3,18 juta.
Selain itu, jika dilihat dari nilai tukar petani (NTP), juga terindikasi pendapatan yang diterima petani hanya sedikit lebih tinggi dibanding pengeluarannya. Terlebih lagi, dari sisi status sosial, pekerjaan petani juga dianggap rendah oleh sebagian besar masyarakat. Hal ini juga mungkin menjadi salah satu pendorong kuat yang membuat banyak orang enggan terjun ke sektor pertanian dan memilih merantau ke perkotaan.
Berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2023 yang diselenggarakan BPS, petani milenial yang berumur 19–39 tahun, hanya 6.183.009 orang atau 21,93 persen dari total petani di Indonesia yang sebanyak 28.192.693 orang. Sementara itu, sisanya sudah berusia 39 tahun ke atas.
Angka tersebut tentu masih kecil dan perlu terus diupayakan agar semakin banyak anak muda tertarik ke sektor pertanian.
Selain menahan arus urbanisasi, jika banyak generasi muda yang bekerja di sektor pertanian, maka dengan penguasaan teknologi yang lebih baik, nantinya pertanian akan lebih maju dan desa akan lebih terbangun. Dalam jangka panjang, isu kerawanan pangan yang bisa saja terjadi di masa depan juga dapat diminimalisir.
Tak hanya berdampak di desa, adanya arus urbanisasi yang jika tidak diatasi, maka akan menimbulkan banyak masalah sosial ekonomi di perkotaan. Ketidaksiapan kota untuk menerima para pendatang, tentu akan membuat kota semakin padat penduduk.
Padatnya penduduk dengan latar belakang dan kondisi yang sangat bervariasi juga akan meningkatkan ketimpangan, kriminalitas, dan lain sebagainya.
Nyatanya, jika melihat data, tingkat ketimpangan yang dilihat dari angka gini ratio, menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan di wilayah perkotaan selalu lebih tinggi dibanding angka nasional. Pada Maret 2023, angka gini ratio secara nasional sebesar 0,388, sedangkan di perkotaan mencapai 0,409.
Jika diperhatikan, memang banyak dari penduduk yang merantau pada akhirnya sulit mendapatkan pekerjaan. Alih-alih meningkatkan taraf hidup, banyak dari mereka justru terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Mendapatkan pekerjaan dan menambah pendapatan di kota, nyatanya tidak semudah yang dibayangkan.
Tingginya biaya hidup di kota dan pekerjaan yang belum kunjung didapat, membuat perantau tersebut justru lebih menderita. Oleh karena itu, terkadang perlu ditampilkan sulitnya hidup di kota, agar kalaupun harus merantau, para calon perantau tersebut menyiapkan kemungkinan terburuknya.
Daya tarik perkotaan memang tak dapat dipungkiri. Kemewahan yang sering terlihat di televisi dan media sosial menjadi magnet tersendiri bagi masyarakat desa.
Di Jakarta, misalnya, menurut Pemprov DKI Jakarta, pasca-lebaran tahun ini, selama 16-22 April 2024 sudah tercatat sedikitnya 1.038 orang pendatang baru dari berbagai daerah yang tiba di Jakarta. Dari data tersebut, 78,53 persen pendatang hanya berpendidikan di bawah sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA atau SMA), sisanya, sebanyak 21,47 persen berpendidikan lebih tinggi dari SLTA.
Semakin meningkatnya orang berpindah dari desa ke kota ini tentu perlu menjadi perhatian bersama agar tidak menimbulkan berbagai masalah lainnya. Apalagi daerah perkotaan dapat dibilang sudah sangat padat.
Berdasarkan hasil pendataan Long Form SP2020 yang dilaksanakan BPS pada 2022,terdapat 56,40 persen penduduk Indonesia, atau dengan kata lain lebih dari separuh penduduk tinggal di perkotaan. Pada tahun 2035, angka ini diestimasi akan mencapai 66,60 persen. Bahkan, Bank Dunia memprediksi angka ini akan mencapai sekitar 70 persen di tahun 2045.
Ditambah lagi, menurut data terakhir, yakni Maret 2023, kemiskinan di wilayah perkotaan masih lebih tinggi dibanding kondisi sebelum pandemi COVID-19. Pada Maret 2023, jumlah penduduk miskin di perkotaan masih 11,74 juta orang, atau sebesar 7,29 persen dari total penduduk Indonesia.
Sementara itu, pada September 2019, persentase penduduk miskin di wilayah perkotaan sudah mencapai 6,56 persen (9,86 juta orang). Artinya, dari sebelum pandemi, jumlah penduduk miskin di perkotaan bertambah1,88 juta orang.
Dengan adanya urbanisasi yang terus terjadi dan menimbulkan peningkatan jumlah penduduk di perkotaan, maka diperlukan adanya kebijakan agar penambahan jumlah penduduk tersebut tidak menimbulkan banyak masalah, termasuk kemiskinan dan ketimpangan. Perlu adanya kebijakan pembangunan desa yang lebih konkrit dan juga kesiapan kota ketika jumlah penduduknya melejit.
*) Lili Retnosari adalah statistisi di Badan Pusat Statistik (BPS)
Para pemudik seringkali membawa saudara/kenalan dari kampung halaman untuk ikut merantau dan mencoba mengadu nasib di kota. Ada dari mereka yang memang memiliki keahlian yang dapat digunakan untuk melamar pekerjaan, ada pula yang hanya modal nekat atau sekadar ikut-ikutan.
Maraknya penduduk desa yang ingin meraih keberuntungan di kota sebenarnya tidak masalah. Ini justru menunjukkan bahwa masih ada kemauan dan semangat dari para angkatan kerja di desa untuk terus berusaha meningkatkan taraf hidupnya.
Tentu ini merupakan hal yang sangat positif, namun di sisi lain hal ini juga mencerminkan masih minimnya lapangan pekerjaan di desa. Hal ini juga mencerminkan bahwa penduduk usia produktif yang merantau, cenderung tidak tertarik pada sektor pertanian yang identik berada di perdesaan.
Seiring banyaknya urbanisasi yang terjadi, membuat perdesaan semakin ditinggalkan oleh penduduk usia produktif. Hal ini tentu akan berpengaruh pada pembangunan desa yang dikhawatirkan juga akan tersendat. Dalam jangka panjang, hal ini juga akan berpengaruh pada semakin ditinggalkannya sektor pertanian.
Minimnya kesejahteraan para petani yang terlihat oleh masyarakat di desa, mungkin menjadi faktor yang membuat mereka menjadi tidak tertarik untuk terjun pada sektor pertanian.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS), rata-rata upah buruh dengan lapangan pekerjaan pertanian pada Agustus 2023 hanya sebesar Rp2,37 juta. Angka ini masih di bawah rata-rata upah buruh nasional yang sebesar Rp3,18 juta.
Selain itu, jika dilihat dari nilai tukar petani (NTP), juga terindikasi pendapatan yang diterima petani hanya sedikit lebih tinggi dibanding pengeluarannya. Terlebih lagi, dari sisi status sosial, pekerjaan petani juga dianggap rendah oleh sebagian besar masyarakat. Hal ini juga mungkin menjadi salah satu pendorong kuat yang membuat banyak orang enggan terjun ke sektor pertanian dan memilih merantau ke perkotaan.
Berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2023 yang diselenggarakan BPS, petani milenial yang berumur 19–39 tahun, hanya 6.183.009 orang atau 21,93 persen dari total petani di Indonesia yang sebanyak 28.192.693 orang. Sementara itu, sisanya sudah berusia 39 tahun ke atas.
Angka tersebut tentu masih kecil dan perlu terus diupayakan agar semakin banyak anak muda tertarik ke sektor pertanian.
Selain menahan arus urbanisasi, jika banyak generasi muda yang bekerja di sektor pertanian, maka dengan penguasaan teknologi yang lebih baik, nantinya pertanian akan lebih maju dan desa akan lebih terbangun. Dalam jangka panjang, isu kerawanan pangan yang bisa saja terjadi di masa depan juga dapat diminimalisir.
Tak hanya berdampak di desa, adanya arus urbanisasi yang jika tidak diatasi, maka akan menimbulkan banyak masalah sosial ekonomi di perkotaan. Ketidaksiapan kota untuk menerima para pendatang, tentu akan membuat kota semakin padat penduduk.
Padatnya penduduk dengan latar belakang dan kondisi yang sangat bervariasi juga akan meningkatkan ketimpangan, kriminalitas, dan lain sebagainya.
Nyatanya, jika melihat data, tingkat ketimpangan yang dilihat dari angka gini ratio, menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan di wilayah perkotaan selalu lebih tinggi dibanding angka nasional. Pada Maret 2023, angka gini ratio secara nasional sebesar 0,388, sedangkan di perkotaan mencapai 0,409.
Jika diperhatikan, memang banyak dari penduduk yang merantau pada akhirnya sulit mendapatkan pekerjaan. Alih-alih meningkatkan taraf hidup, banyak dari mereka justru terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Mendapatkan pekerjaan dan menambah pendapatan di kota, nyatanya tidak semudah yang dibayangkan.
Tingginya biaya hidup di kota dan pekerjaan yang belum kunjung didapat, membuat perantau tersebut justru lebih menderita. Oleh karena itu, terkadang perlu ditampilkan sulitnya hidup di kota, agar kalaupun harus merantau, para calon perantau tersebut menyiapkan kemungkinan terburuknya.
Daya tarik perkotaan memang tak dapat dipungkiri. Kemewahan yang sering terlihat di televisi dan media sosial menjadi magnet tersendiri bagi masyarakat desa.
Di Jakarta, misalnya, menurut Pemprov DKI Jakarta, pasca-lebaran tahun ini, selama 16-22 April 2024 sudah tercatat sedikitnya 1.038 orang pendatang baru dari berbagai daerah yang tiba di Jakarta. Dari data tersebut, 78,53 persen pendatang hanya berpendidikan di bawah sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA atau SMA), sisanya, sebanyak 21,47 persen berpendidikan lebih tinggi dari SLTA.
Semakin meningkatnya orang berpindah dari desa ke kota ini tentu perlu menjadi perhatian bersama agar tidak menimbulkan berbagai masalah lainnya. Apalagi daerah perkotaan dapat dibilang sudah sangat padat.
Berdasarkan hasil pendataan Long Form SP2020 yang dilaksanakan BPS pada 2022,terdapat 56,40 persen penduduk Indonesia, atau dengan kata lain lebih dari separuh penduduk tinggal di perkotaan. Pada tahun 2035, angka ini diestimasi akan mencapai 66,60 persen. Bahkan, Bank Dunia memprediksi angka ini akan mencapai sekitar 70 persen di tahun 2045.
Ditambah lagi, menurut data terakhir, yakni Maret 2023, kemiskinan di wilayah perkotaan masih lebih tinggi dibanding kondisi sebelum pandemi COVID-19. Pada Maret 2023, jumlah penduduk miskin di perkotaan masih 11,74 juta orang, atau sebesar 7,29 persen dari total penduduk Indonesia.
Sementara itu, pada September 2019, persentase penduduk miskin di wilayah perkotaan sudah mencapai 6,56 persen (9,86 juta orang). Artinya, dari sebelum pandemi, jumlah penduduk miskin di perkotaan bertambah1,88 juta orang.
Dengan adanya urbanisasi yang terus terjadi dan menimbulkan peningkatan jumlah penduduk di perkotaan, maka diperlukan adanya kebijakan agar penambahan jumlah penduduk tersebut tidak menimbulkan banyak masalah, termasuk kemiskinan dan ketimpangan. Perlu adanya kebijakan pembangunan desa yang lebih konkrit dan juga kesiapan kota ketika jumlah penduduknya melejit.
*) Lili Retnosari adalah statistisi di Badan Pusat Statistik (BPS)