Jakarta (ANTARA) - Rencana pemerintah membentuk Superholding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) masih terganjal Undang-Undang Keuangan Negara.
"Pembentukan superholding tergantung revisi Undang-Undang Keuangan Negara, sehingga diperkirakan belum bisa terwujud dalam waktu dekat," kata Sekretaris Menteri Negara BUMN Said Didu di Jakarta, Rabu.
Menurut Said, pembentukan superholding BUMN menjadi bagian dari cetak biru Kementerian BUMN jangka panjang.
Pada tahun 2025 jumlah BUMN akan menjadi hanya 25 perusahaan, dari sebanyak 87 perusahaan pada 2015. Sementara saat ini jumlah perusahaan pelat merah sebanyak 141 BUMN.
Said menjelaskan, rencana penggabungan BUMN terutama yang bidang usahanya sama dan saling mendukung sudah mulai dilakukan namun belum tuntas.
Setidaknya empat sektor yang sedang penuntasan pembentukan holding yaitu BUMN Perkebunan (PTPN I-XIV), BUMN Semen, BUMN Kepelabuhanan, BUMN Karya, BUMN Farmasi, BUMN Perbankan, BUMN Jasa Pengelolaan Kebandarudaraan.
Menurut Said, holding merupakan salah satu cara agar pengelolaan BUMN lebih efektif dan efisien.
"Dengan dibentuknya superholding ini, perlu atau tidaknya keberadaan Kementrian BUMN nanti bisa dipertimbangkan," tambahnya.
Namun diutarakan Said, mengelola seluruh BUMN yang memiliki total aset Rp 3.000-4.000 triliun, dibutuhkan kejelasan soal siapa yang mengelolanya.
Jumlah aset BUMN ini lebih besar dari aset pemerintah yang dikuasai oleh negara.
Dalam UU Keuangan Negara disebut bahwa aset negara di BUMN yang dipisahkan masih dianggap sebagai aset negara dan dikelola menurut mekanisme keuangan negara.
"Maka, harus ada pejabat negara yang mengelola itu," tegasnya.
Menurutnya, Undang-Undang Perseroan Terbatas (PT) sebagai acuan operasional BUMN sudah berubah, sehingga perlu segera diikuti revisi Undang-Undang Keuangan Negara.
Terkait realisasi revisi tersebut, Said memperkirakan bisa dilakukan setelah Pilpres.
"Namun sangat tergantung kemauan pemerintah. Apakah mau cepat atau lebih lama," tegas Said. (*)