Jakarta (ANTARA) - Sastrawan sekaligus Anggota Tim Kurator Sastra Masuk Kurikulum, Okky Madasari, menyatakan bahwa menggunakan buku-buku sastra sebagai bahan ajar dalam kurikulum dapat memancing diskusi kritis antara siswa dan guru.
"Karya sastra adalah ruang interpretasi, maka dibutuhkan kemampuan dari guru untuk menginterpretasikan kemudian memancing diskusi kritis. Kalau kita bicara metode atau jalan pengajaran (pedagogis), maka ini akan melibatkan banyak diskusi kritis antara guru dan siswa," katanya dalam temu media tentang sastra masuk kurikulum di Jakarta, Jumat.
Selain itu, menurutnya, lewat sastra guru dapat memancing rasa ingin tahu siswa lebih dalam untuk mempelajari cerita-cerita yang lain.
"Dengan buku sastra, dipantik keingintahuan siswa untuk mempelajari pengetahuan sesuai tujuan dari kurikulum merdeka, jadi itu pendekatan pedagogis yang dilakukan dalam proses kurasi buku," ujar dia.
Ia melanjutkan, kurasi atau pemilihan buku oleh para tim kurator dilakukan secara bebas dari buku-buku yang sudah beredar, banyak dibaca, atau mendapatkan banyak pembicaraan, bahkan dari buku-buku yang terlupakan tetapi memiliki makna yang dalam.
"Dalam proses kurasi, yang kita lihat value (nilai) apa yang bisa diajarkan dalam proses belajar-mengajar melalui buku ajar karya sastra, dan ini sifatnya hanya daftar rekomendasi, bukan untuk memberikan penghargaan mana penulis-penulis yang menulis karya sastra terbaik," ucapnya.
Sementara itu, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek Anindito Aditomo mengemukakan bahwa program sastra masuk kurikulum ingin memotivasi guru menggunakan karya sastra, karena karya sastra banyak menawarkan nilai-nilai yang sulit didapatkan dari buku-buku non-fiksi.
Baca juga: Guru bebas memilih ketika ajarkan sastra pada siswa
Baca juga: Sastra masuk kurikulum perkaya pengetahuan budaya
"Belajar sejarah misalnya, dengan baca buku Bumi Manusia itu jauh lebih menarik, melalui kisah Minke misalnya, itu jadi titik masuk yang sangat membantu guru untuk memperdalam pemahaman dan empati murid tentang seperti apa rasanya menjadi orang Indonesia di zaman kolonial," katanya.
Menurutnya, tanpa bantuan karya sastra, akan sulit bagi guru untuk membawa murid mempelajari sejarah menuju alam alam pikir atau perasaan di masa kolonial atau sebelum kemerdekaan. Meski begitu, ia menegaskan bahwa penggunaan sastra sebagai bahan ajar bukanlah sebuah kewajiban.
"Pendekatannya tidak diwajibkan karena kita tahu bahwa kesiapan guru juga berbeda-beda. Ini perlu waktu panjang sekali," tuturnya.