Yogyakarta (ANTARA) - Kami berdua sepakat dengan ide dari penerjemah buku ini (Rhomayda A. Aimah), menurutnya masa lalu bersama seharusnya bisa didekati bersama juga (hlm. iii). Hal ini pula yang membuat kami, yang mempunyai masa lalu bersama, tertarik untuk memahami buku ini dan ekplorasi dalam resensi ini.
Keseimbangan narasi
Hal pertama yang perlu dipahami dalam pendekatan bersama adalah mengandaikan keduanya berada di posisi yang setara. Dalam konteks ini, masing-masing pihak mempunyai akses dan otoritas yang sama terhadap masa lalu yang dilalui bersama. Penerjemahan De postkoloniale spiegel: De Nederlands-Indische letteren herlezen (2021) ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Cermin Poskolonial: Membaca Kembali Sastra Hindia Belanda (2024) merupakan salah satu usaha yang perlu diapresiasi dan penting dalam membuka akses pengetahuan dan kesadaran bagi penutur Indonesia yang tidak bisa berbahasa Belanda. Hanya sayangnya jumlah artikel yang diterjemahkan hanya separuhnya yaitu 13 artikel dari total 26 artikel yang diterbitkan oleh Leiden University Press. Terlepas dari pertimbangan editor (Rick Honings, Coen van’t Veer, dan Jacqueline Bel) yang melatarbelakangi kebijakan tersebut, struktur buku tetap sama yaitu terbagi menjadi tiga bagian berdasarkan periodesasi sejarah yaitu, Hindia Belanda paruh kedua abad 19 (tiga artikel), paruh pertama abad 20 (tiga artikel) dan periode 1945 hingga kontemporer (tujuh artikel). Meskipun demikian, kami tetap berharap ada penerjemahan lanjutan dari tigabelas artikel yang tersisa sebagai bagian dari kesetaraan akses.
Masa lalu bersama antara Belanda dan Indonesia (Hindia) di masa kolonial selama ini representasinya lebih sering didekati dengan studi sejarah dibanding dengan studi sastra, khususnya sastra Hindia Belanda. Padahal pendekatan sastra menawarkan dimensi psikologis, pola pikir sebuah zaman atau perasaan batin manusia saat itu (hlm 6-7). Editor buku ini menegaskan bahwa teks sastra tidak hanya merepresentasikan realitas tapi juga ikut membentuk realitas. Dengan kata lain, teks merupakan aktor dalam membentuk realitas kolonial. Salah satu contoh karya sastra yang sejauh ini menjadi tonggak dari sastra Hindia Belanda adalah novel Multatuli berjudul Max Havelaar (1860).
Meskipun masih banyak karya sastra yang muncul setelah Max Havelaar, sastra Hindia Belanda cenderung diposisikan sebagai salah satu cabang dari sastra Belanda. Disini, penerjemah atau Rhomayda, mengartikan sastra Hindia Belanda atau Nederlands-Indische letteren sebagai karya sastra yang ditulis dalam Bahasa Belanda pada masa kolonialisme Belanda di Indonesia atau yang mengangkat tema Hindia Belanda. Namun menariknya, penerjemah sebagai orang Indonesia merasakan kegelisahan dan mempertanyakan posisi dan peran Indonesia yang penting (subjek) dalam sastra Hindia Belanda. Apakah relasi antara Indonesia dengan sastra Hindia Belanda berakhir atau tetap berkesinambungan setelah terjadi dekolonisasi? Penerjemah merasa senang ketika terdapat ulasan karya novel penulis Indo-Eropa dan Indonesia seperti Suwarsih Djojopuspito dan Arti Purbani (nama pena dari Partini Djajadiningrat, termasuk pelibatan peneliti Indonesia dalam kajian sastra Hindia Belanda. Ia juga mendorong pendekatan transnasional untuk melihat kembali sastra Hindia Belanda, sekaligus memposisikannya sebagai sebuah entitas yang berdiri sendiri. Penerjemah meyakini bahwa sastra Hindia Belanda perlu didekati menggunakan pendekatan lain seperti kajian sastra dan sejarah Indonesia (hlm iv-v).
Politik Bahasa dan Kritik Poskolonial
Menurut editor, diabaikannya perspektif dari Indonesia dalam teks sastra Hindia Belanda, salah satunya disebabkan oleh minimnya karya penulis Indonesia yang berbahasa Belanda (counter-archives). Walaupun ada, tetapi bisa dihitung dengan jari atau ‘cukup untuk sebuah skripsi, tapi kurang untuk sebuah disertasi’. Penyebab utamanya adalah adanya politik apartheid Bahasa Belanda, dimana penduduk koloni dibatasi akses (tidak diajarkan) dan penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari, kecuali segelintir kalangan elit saja. Meskipun ada peningkatan jumlah penduduk koloni yang bertutur bahasa Belanda setelah penerapan politik etis, jumlahnya tetap tidak lebih dari satu persen dari jumlah total penduduk (hlm 20).
Menurut Peter Van Zonneveld (1996), terdapat dua cara untuk mengisi perspektif Indonesia yang minim yaitu dengan meneliti bagaimana orang Indonesia direpresentasikan dalam sumber – sumber Belanda dan mengkaji teks-teks berbahasa Belanda dari penulis Indonesia (hlm 21). Menurut kami, cara yang bisa membantu dan sudah dilakukan adalah alih bahasa karya penulis Indonesia yang bertema masa kolonial seperti Pramudya Ananta Toer ke Bahasa Belanda. Dalam konteks Vergangenheitsbewältigung Belanda atau sebuah proses terbuka dengan masa lalunya (kolonial), semakin banyak belakangan ini teks sastra atau sejarah berbahasa Belanda yang terbit lebih kritis dan dengan perspektif Indonesia.
Satu hal yang membedakan buku ini dengan kajian sastra Hindia Belanda yang lain sebelumnya adalah penggunaan pendekatan poskolonial yang membatasi diri pada genre roman, novel dan cerita fiksi (hlm 12). Bunga rampai ini memang bertujuan untuk mengungkap relasi kuasa yang timpang dan strategi othering dengan metode analisis wacana kritis pada karya sastra. Hasilnya adalah cermin yang pecah belah, terurai berai, karena masa tempo doeloe ternyata penuh dengan potret kekerasan, rasisme, penindasan, dan pengucilan (hlm 22).
Seperti artikel pertama tulisannya Jacqueline Bel (hlm 33-65) mengenai Max Hevelaar karya Multatuli, meskipun terbit pertama kali tahun 1860, karya ini masih tetap relevan saat ini dan terus melahirkan interpretasi baru. Dari yang menganggap sebagai karya yang mengkritik kolonial sekaligus pendukung kolonial dan berbau orientalisme. Yang perlu digarisbawahi dari tulisan ini adalah analisis yang tidak hanya bersumber pada teks tapi juga ekstratekstual (hlm 63).
Dua tulisan berikutnya dari periode paruh kedua abad 19, Rick Honings tentang P.A. Daum dan Elleke Boehmer & Coen van ’t Veer mengenai Louis Couperus, menunjukkan dengan jelas narasi kolonialis yang eurosentris dalam karya punggawa utama sastra Hindia Belanda tersebut. Mengingat selama ini karya klasik sastra Hindia Belanda lebih sering didekati menggunakan perspektif biografis dan historis kultural. Namun pada tulisan ketiga, penulis menambahkan pendekatan queer atau hiperdekadensi sehingga karya yang dibahas yaitu ‘De stille kracht’ milik Louis Couperus dianggap sebagai karya yang kolonial sekaligus anti kolonial (hlm 132).
Tulisan keempat yang membahas cerita anak popular ‘Ot dan Sien’ di periode awal abad 20, oleh Amalia Atsari dan Rick Honings, ternyata dengan pendekatan poskolonial mampu mengungkap bahwa cerita yang ‘polos’ secara implisit mengandung propaganda dan visi hubungan kolonial (hlm 155). Periode ini juga menyajikan pembahasan potret Indo-Eropa di Hindia Belanda lewat karyanya Viktor Ido. Menggunakan pendekatan interseksional menunjukkan bahwa pengucilan tidak hanya factor warna kulit, tapi juga kurangnya pendidikan, status sosial dan perbedaan budaya dengan Barat (hlm 182). Situasi sebagai Indo-Eropa lebih di eksplorasi dalam karya-karya Tjalie Robinson, dimana identitas hybrid dan kegelisahan sebagai kelompok marginal muncul dalam karakter cerita. Hal ini terjadi karena posisi mereka sebagai generasi kedua penulis Indo yang tumbuh pada periode pasca kemerdekaan (hlm 298).
Pada periode inilah muncul perspektif Indonesia yang terang benderang lewat novel yang dikarang orang Indonesia dalam Bahasa Belanda yaitu Suwarsih Djojopuspito dan Arti Purbani. Kedua karya mereka dengan baik menunjukkan adanya kesadaran nasional dan idealisme berbagai faksi politik yang akan berpengaruh pasca kemerdekaan (hlm 212).
Di periode paruh kedua abad 20 hingga kini, kecenderungan karya sastra Hindia Belanda mulai bergeser positif kearah retrospeksi dan mulai muncul usaha penulisan balik. Meskipun di karya awal, masa penjajahan Jepang dan awal kemerdekaan, masih terdapat unsur kolonialnya, tetapi di karya berikutnya sudah tampak unsur poskolonialnya. Seperti yang tercermin dari karya – karya Rob Nieuwenhuys (hlm 244). Sedangkan pada karya-karya Jeroen Brouwers dan Adriaan van Dis, pengulangan-pengulangan narasi kolonial bermaksud untuk mempengaruhi citra relasi kolonial (hlm 327) serta bermakna positif karena mencerminkan usaha dan semangat untuk terus meruntuhkan kebuntuan dalam membuka kembali sejarah-sejarah (hlm 349). Pada pengarang perempuan seperti Maria Dermout, gaya narasi cerita yang dipilih cenderung kearah meruntuhkan, mematahkan konvensi yang dianggap normal di masa kolonial (hlm 272). Begitu juga Dido Michelsen yang memilih menampikan tokoh marjinal (nyai) sebagai protagonis sekaligus membuatnya sebagai tokoh parodi. Teknik ini yang dalam poskolonial disebut sebagai restorative history (hlm 401).
Dari serangkaian tulisan di atas yang menggunakan kerangka poskolonial, mencerminkan adanya keragaman perspektif. Kita sebagai penutur Bahasa Indonesia dapat belajar banyak perihal praktik analisis poskolonial dalam karya sastra. Disaat yang sama, kita bisa melakukan usaha lebih jauh dalam membuka diri atau berdamai dengan masa lalu (kolonial) termasuk dengan masa-masa peralihan negeri ini tiap orde.
Judul buku: Cermin Poskolonial: Membaca Kembali Sastra Hindia Belanda De Postkoloniale Spiegel: De Nederlands-Indische letteren herlezen (judul asli) Leiden University Press, 2021
Editor: Rick Honings, Coen van’t Veer, dan Jacqueline Bel
Penerjemah: Rhomayda Alfa Aimah
Cetakan pertama: Januari 2024
Ukuran buku: 17 x 24 sentimeter
Tebal buku: xviii + 430 halaman
Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Profil penulis
Rezza Maulana
Berlatarbelakang Pendidikan sosiologi dan antropologi. Tertarik dengan isu tentang kelompok minoritas, media dan warisan budaya. Melakukan penelitian lapangan Bersama beberapa Lembaga universitas dan independent di berbagai pelosok negeri. Pernah menjadi asisten editor sebuah jurnal ilmiah di universitas. Sekarang bergabung sebagai peneliti di LIKe Indonesia Yogyakarta. Kontak surel: Rezza.maulana@gmail.com no hp: 08174119211.
Muslimah
Alumni Pendidikan Bahasa jerman saat S1 dan kajian tradisi lisan saat ambil S2. Meneruskan kerja budaya di kampung halamannya (Bima, NTB) bersama Yayasan Pajumonca. Sekarang merintis usaha kedai makan khas daerah Bima di Yogyakarta bernama Rumah Tambora. Kontak surel: muslimah.hilir@gmail.com