Jakarta (ANTARA) -
Menurut dia, tindak pidana korupsi di sektor pertambangan adalah tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki jaringan bisnis yang kuat.
Apabila semua tindak pidana bidang pertambangan ditegakkan dengan hukum administrasi, seperti hanya pencabutan izin, denda atau larangan ekspor (administrative penal law) maka, kata Boyamin, para pelaku korupsi akan mudah menyelesaikannya dan tidak akan terjadi perubahan tata kelola pertambangan yang lebih baik.
"Dampak dari tindak pidana pertambangan ini akan sangat besar bagi kerusakan lingkungan dan mengakibatkan kerugian negara besar," kata Boyamin.
Saat ini, kata dia, Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung sedang menangani perkara tindak pidana korupsi di sektor pertambangan, seperti dalam kasus timah ini telah merugikan kerugian negara sebesar Rp300 triliun berdasarkan nilai penghitungan kerugian negara oleh BPKP.
Dia mengatakan penyidik tindak pidana korupsi, baik kepolisian, kejaksaan maupun KPK berwenang untuk mengusut kasus korupsi, dan tidak ada dan tidak perlu dikhawatirkan, yang satu mencaplok kewenangan yang lain.
"Masyarakat untuk saat ini hanya membutuhkan aparat penegak hukum bersatu padu untuk melawan para koruptor. Keroyok dan ganyang koruptor," kata dia.
Selain itu, MAKI juga mendorong agar penegak hukum lainnya seperti KPK dan kepolisian juga dapat menangani perkara-perkara besar dalam tindak pidana korupsi sektor pertambangan. MAKI, kata dia, pasti akan mengajukan gugatan praperadilan lawan Kejagung apabila penyidikannya tidak menyasar kepada pemilik keuntungan paling besar yaitu inisial RBS.
Dia mengatakan gugatan praperadilan akan didaftarkan pertengahan bulan Juni 2024 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"MAKI akan selalu gugat APH yang lemot dan tidak tuntas tangani perkara korupsi," kata Boyamin.
Sebelumnya, Rabu (29/5), Jaksa Agung Muda Tindak Pidsna Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah menegaskan pihaknya tidak berhenti mengusut korupsi timah yang sudah menetapkan 22 orang tersangka. RBS atau Robert Bonosusatya pernah diperiksa oleh penyidik Jampidsus pada 2 April, selama 13 jam. Kemudian, pengusaha itu kedapatan kembali mendatangi Kejagung pada 3 April 2024, dengan alasan tanda tangan berkas.
Menurut Febrie, pihaknya memeriksa RBS karena mendengar suara dari masyarakat dan beberapa indikasi yang penyidik miliki.
"Tidak saja Robert Bono, siapapun yang ada indikasi karena ini kerugian cukup besar Rp300 triliun, maka akan kami periksa," katanya.
Untuk menetapkan tersangka, lanjut dia, hal itu berdasarkan alat bukti yang ada. Masyarakat dan media bisa melihat dan mencermati kesaksian yang tampil di pengadilan, apakah ada alat bukti yang mengarah ke seseorang yang belum ditetapkan.
Baca juga: Kejagung periksa adik ipar Harvey Moeis terkait kasus timah
Baca juga: Mantan Kepala Pelabuhan Kayangan-NTB dituntut 16 tahun penjara
"Lihat dari jaksa membuka aliran dana, siapa yang menikmati. Kalau dia (RBS) menikmati yang belum ditetapkan, bisa sampaikan kepada kami," katanya.
"Kami akan terbuka dan ini harus kami lakukan sebagaimana keinginan kita semua. Bahwa yang menjadi poin-poin penting pendapatan negara, khusus yang besar akan kami lakukan penelitian semua. Mudah-mudahan segera dapat perbaiki tata kelola," sambung Febrie.