Jakarta (ANTARA) - Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae menyebutkan, sebanyak 1.206 Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan BPR Syariah (BPRS) telah memenuhi modal inti minimum Rp6 miliar per April 2024.
Bahkan, catat Dian, sebanyak 103 BPR dan BPRS di antaranya memiliki modal inti di atas Rp50 miliar pada periode yang sama. Hal ini sejalan dengan upaya OJK untuk terus mendorong penguatan BPR dan BPRS dari seluruh aspek.
“Sesuai dengan POJK No. 7 tahun 2024 tentang BPR dan BPRS, sebetulnya ini adalah upaya kita untuk secara terus-menerus sesuai dengan roadmap untuk memperkuat kelembagaan BPR dan BPRS ini dari semua aspek, termasuk dalam proses konsolidasi dan dalam konteks penguatan permodalan,” kata Dian dalam konferensi pers Hasil Rapat Dewan Komisioner OJK Bulanan Mei 2024 di Jakarta, Senin.
Sejak tahun 2022, OJK terus melakukan proses penggabungan dan peleburan BPR-BPRS. Dian juga mencatat, hingga April 2024 terdapat 48 BPR dan BPRS yang telah selesai melaksanakan proses konsolidasi sehingga lebih ramping menjadi 15 BPR dan BPRS.
“Sesuai dengan roadmap, banyak sekali konsolidasi yang akan kita lakukan, tentu saja akan sejalan dengan penguatan permodalan (BPR-BPRS) yang masih belum memenuhi Rp6 miliar itu,” ujar dia.
Dian mengatakan, konsolidasi juga akan dilakukan pada BPR-BPR yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah (Pemda) yang dalam hal ini tingkat kabupaten/kota. OJK telah menjalin komunikasi dengan para pemangku kepentingan, termasuk Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), mengenai konsolidasi seluruh BPR.
“Seluruh BPR di setiap provinsi itu akan seluruhnya dikonsolidasikan menjadi satu BPR yang nanti di bawahi oleh Bank Pembangunan Daerah (BPD). Sehingga nanti kita akan melihat BPR ini betul-betul akan berfungsi secara optimal, bisa dikatakan dalam memberikan kontribusi terhadap UMKM di daerah itu,” kata dia.
Dian mengatakan bahwa BPD memiliki potensi yang baik di dalam konteks penyelamatan apabila sampai terjadi sesuatu pada BPR. Ini berbeda dengan Pemda terkait penyediaan anggaran dan prosedur-prosedur yang harus memakan waktu lama apabila suatu BPR yang bermasalah hendak diselamatkan.
“Pada waktu yang bersamaan, kita juga membentuk kelompok usaha bank (KUB) untuk BPD karena BPD sendiri pun harus kita perkuat tentu saja permodalannya,” ujar dia.
Baca juga: Soal Muhammadiyah tarik dana, OJK: Tak ada isu yang perlu dikhawatirkan
Baca juga: Kredit korporasi tumbuh 18 persen di April, tunjukkan pemulihan
Terkait dengan pencabutan izin BPR bermasalah, OJK terus melakukan pemeriksaan intensif terhadap seluruh BPR untuk memastikan bahwa mereka sanggup untuk melaksanakan tugas sebagaimana yang diamanahkan oleh Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK).
OJK, kata Dian, tidak lagi mentolerir adanya BPR-BPR bermasalah apalagi terkait dengan masalah fundamental seperti fraud sehingga dipastikan OJK akan menutup bank tersebut. Dia memastikan, penutupan BPR bermasalah tidak berdampak terhadap nasabah sama sekali mengingat adanya peran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
“Saya kira pendewasaan masyarakat kita, sikapnya terhadap bank itu semakin realistis. Bank ini kan bagian dari bisnis biasa, kalau BPR ada yang bangkrut ya biasa. Tetapi sudah ada LPS, OJK, Bank Indonesia (BI), dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), kalaupun ada bank umum bangkrut pun saya kira kita bisa selesaikan dengan sangat baik dan seharusnya tidak menimbulkan persoalan kepada masyarakat karena sistem kita sekarang sudah lebih establish,” kata Dian.