Jakarta (ANTARA) - Perwakilan Program Pembangunan PBB (UNDP) di Indonesia Norimasa Shimomura menegaskan bahwa mengatasi masalah pekerja migran bukan hanya tentang kebijakan, tetapi juga soal hak asasi manusia dan keadilan sosial.
"Dengan memperbaiki tata kelola migrasi, kita dapat memaksimalkan potensi migran untuk berkontribusi terhadap perekonomian, memperkuat kohesi sosial, dan mendukung pembangunan berkelanjutan," kata dia.
Shimomura menyampaikan hal itu dalam "Simposium Nasional: Tata Kelola Migrasi untuk Pembangunan Berkelanjutan" yang digelar oleh Kementerian Luar Negeri (Kemlu RI) dan PBB di Indonesia pada Selasa.
Menurut dia, memperbaiki tata kelola migrasi merupakan peluang untuk menciptakan masa depan, ketika setiap pekerja migran dihargai, dilindungi, dan diberdayakan untuk mencapai kesuksesan.
Program tata kelola migrasi untuk pembangunan berkelanjutan, kata dia, bertujuan untuk meningkatkan tata kelola migrasi di tingkat nasional dan di tingkat daerah.
"Di tingkat daerah, kami telah mengidentifikasi kesenjangan kebijakan dan mendukung pengembangan panduan teknis bagi pemerintah daerah untuk menyusun kebijakan, rencana, dan anggaran migrasi yang sensitif gender," kata Shimomura.
Di tingkat nasional, UNDP telah mendorong kerja sama antarlembaga, menyelaraskan Kesepakatan Global untuk Migrasi (GCM) dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Indonesia untuk periode 2025–2029.
Menurut Shimomura, tata kelola migrasi yang efektif memberikan manfaat bagi jutaan pekerja migran Indonesia dan keluarga mereka, serta menjamin akses terhadap peluang kerja yang aman dan adil, dan meningkatkan ekonomi bagi keluarga dan masyarakat.
Dia juga mengatakan bahwa pihaknya mendorong kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemajuan sosial di negara pengirim dan penerima pekerja migran dengan menyelaraskan kebijakan migrasi dengan tujuan pembangunan secara menyeluruh.
"Oleh karena itu, kita harus berusaha untuk memaksimalkan manfaat yang mencakup peningkatan pengiriman uang, peningkatan keterampilan setelah kembali, dan penguatan hubungan sosial dan ekonomi antarnegara," ujar Shimomura.
Pemerintah Indonesia telah mengadopsi GCM untuk mengatasi masalah yang dihadapi pekerja migran dengan mengadakan program kolaborasi "Tata Kelola Migrasi untuk Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia."
Program kolaborasi yang dilaksanakan pada 2022–2024 itu telah mencapai tiga hasil penting.
Pertama, penguatan tata kelola migrasi yang responsif gender. Program ini telah mengembangkan indikator tata kelola migrasi, sesi pelatihan khusus, dan memfasilitasi dialog tentang migrasi responsif gender di tingkat nasional dan daerah.
Baca juga: Kemenlu China berduka atas meninggalnya Zhang Zhi Jie
Baca juga: Kemenlu mengajak puluhan dubes asing keliling destinasi wisata TNK-NTT
Kedua, peningkatan kapasitas pemerintah di tingkat daerah melalui pelatihan khusus di tingkat daerah. Program ini telah meningkatkan kapasitas lebih dari 3.000 pemangku kepentingan untuk mencegah dan menanggapi kekerasan dan perdagangan manusia.
Ketiga, mempromosikan pembiayaan berkelanjutan yang inovatif. Program ini telah mengembangkan dan menguji tiga inisiatif pembiayaan inovatif dan pemberdayaan ekonomi responsif gender untuk mendukung pekerja migran dalam memberdayakan kapasitas ekonomi mereka.