"Dengan teknologi enzymatic, TKKS yang semula tidak diinginkan karena dapat menjadi tempat bertumbuhnya hama penyakit kelapa sawit, dapat diolah menjadi produk industri biokimia untuk substitusi impor, termasuk untuk produksi bioetanol, asam-asam organik, dan bahan kimia bernilai tambah lainnya,” kata Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika di Jakarta, Rabu.
Putu Juli mengatakan, inovasi pengelolaan biomassa sawit yang diinisiasi pihaknya yakni pengembangan teknologi fraksionasi TKKS yang menjadi aneka prekursor bahan kimia terbarukan, seperti glukosa, xylosa, dan lignin.
Ia menjelaskan prekursor adalah bahan baku dasar untuk menghasilkan aneka produk kimia berbasis nabati yang menjadi kunci penumbuhan hilirisasi industri.
Lebih lanjut, menurut dia, pihaknya kini memiliki Pilot Plant Fraksionasi TKKS berkapasitas 1 ton biomassa per hari untuk mendukung pertumbuhan industri bioetanol, industri asam organik, dan prekursor bioplastik atau biopolimer bernilai tambah tinggi.
Baca juga: Kemenperin membantu alat tenun untuk perajin di Lombok Tengah
Baca juga: Industri manufaktur serap 18,82 juta pekerja
Baca juga: Kemenperin membantu alat tenun untuk perajin di Lombok Tengah
Baca juga: Industri manufaktur serap 18,82 juta pekerja
"Dengan mengolah biomassa sawit menjadi bahan baku yang berguna, kita tidak hanya menciptakan nilai tambah bagi industri kelapa sawit, tetapi juga mendukung upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, Inovasi ini sejalan dengan komitmen kita untuk menuju kebijakan industri yang berkelanjutan dan pro-lingkungan,” kata dia.
Sebagai komoditas yang paling siap mendukung pencapaian NZE pada sektor industri tahun 2050, Roadmap Sawit Indonesia Emas 2045 telah dirancang dengan fokus untuk mengeliminasi emisi karbon dalam industri nasional.
Inisiatif ini bertujuan untuk mengoptimalkan potensi kelapa sawit sebagai salah satu solusi dalam mengurangi dampak perubahan iklim, sekaligus menjaga keberlanjutan produksi dan menguntungkan perekonomian Indonesia.