Standar ganda melindungi yang bersalah

id Israel,Palestina ,Lebanon,Iran

Standar ganda melindungi yang bersalah

Ribuan pengunjuk rasa berkumpul pada Sabtu (5/10/2024) di Piazza Ostiense, Roma, menentang larangan polisi untuk memperingati satu tahun serangan Israel di Jalur Gaza. /ANTARA/Anadolu/py

Jakarta (ANTARA) - Tanggal 7 Oktober 2023 merupakan hari di mana Israel melakukan serangan ke Jalur Gaza setelah kelompok Hamas melakukan serangan lintas batas sebagai salah satu bentuk perjuangan Palestina melawan pendudukan ilegal Israel yang sudah dilakukan selama puluhan tahun.

Menurut Israel, serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 itu menewaskan 1.139 warga Israel dan sekitar 250 orang dijadikan sandera.

Dengan memakai alasan "berhak membela diri", Israel melancarkan serangan balasan yang terus dilakukan hingga satu tahun kemudian, yang sudah menewaskan lebih dari 41.800 warga Palestina dan lebih dari 96.800 lainnya terluka.

Tidak berhenti di situ, pada 23 September Israel mulai melakukan serangan udara besar-besaran ke Lebanon dan pada 1 Oktober Israel melaksanakan serangan darat ke Lebanon, dengan alasan, -- yang lagi-lagi --, untuk "membela diri" dari serangan Hizbullah.

Hingga saat ini, jumlah korban tewas serangan Israel di Lebanon sudah mencapai 2.011 orang, sekitar 9.500 lainnya terluka serta 1,2 juta warga mengungsi.

Sudah dua negara yang diserang Israel dengan memakai alasan "membela diri" dan banyak korban warga sipil yang berjatuhan karena alasan itu, tetapi tidak ada sanksi, seperti larangan ekspor dan impor, pembekuan aset, yang dijatuhkan kepada Israel untuk "memaksa" Israel menghentikan serangan mereka.

Hanya publik saja yang berupaya memboikot semua produk yang dimiliki Israel dan produk pendukung Israel.

Beberapa negara pun seolah "membeo" dengan apa yang dikatakan oleh Israel; saat Israel menyebutkan bahwa mereka berhak membela diri dengan melakukan serangan ke Jalur Gaza. Negara pendukung utama Israel, yakni Amerika Serikat, justru mendukung pernyataan "membela diri" dari Israel tersebut.

Meski pada akhirnya AS menyerukan gencatan senjata setelah mengetahui puluhan ribu warga sipil Palestina meninggal dunia, --sambil tetap mengirimkan bantuan militer kepada Israel--, hingga saat ini seruan itu belum membuahkan hasil yang nyata.

Selain menyerang Palestina dan Lebanon, Israel juga menyerang Suriah karena Israel menganggap Suriah sebagai proksi dari Iran. Iran sendiri merupakan sponsor utama kelompok Hamas yang menentang Israel.

Di saat Israel melabeli Hamas sebagai kelompok teroris, AS dan beberapa negara Barat lainnya juga ikut menyatakan hal yang sama, meski yang dilakukan Hamas itu merupakan reaksi dari aksi ilegal yang dilakukan Israel terhadap Palestina, sejak puluhan tahun yang lalu.

Iran pun pernah menyerang fasilitas militer Israel sebagai balasan atas hancurnya gedung konsulat Iran di Damaskus, Suriah, akibat serangan udara Israel. Akan tetapi, alih-alih "menegur" Israel yang memprovokasi Iran, AS malah memperingatkan Iran untuk tidak membalas serangan Israel itu.


Dukungan ke Palestina

Meski ada standar ganda yang dilakukan oleh beberapa negara Barat terhadap konflik Israel dan Palestina, perlahan tapi pasti, mulai ada negara Barat, seperti Spanyol, Norwegia, dan Irlandia, yang menyuarakan dukungan terhadap Palestina dan mulai mengkritik Israel.

Bahkan Spanyol bergabung dengan Afrika Selatan melaporkan tuduhan kejahatan genosida yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina di Jalur Gaza ke Mahkamah Internasional (ICJ).

Mahkamah Internasional sendiri telah memutuskan bahwa pendudukan Israel di wilayah Palestina adalah ilegal dan memerintahkan Israel untuk segera keluar dari wilayah Palestina.

Sayangnya, keputusan Mahkamah Internasional itu hanya dianggap angin lalu oleh Israel dan beberapa negara pendukungnya.

Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pun berusaha mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap beberapa pejabat Israel, seperti Benjamin Netanyahu, atas dugaan kejahatan perang dan pelanggaran HAM yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina di Jalur Gaza.​​​​​​​

ICC juga berupaya mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap pejabat Hamas, seperti Ismail Haniyeh, atas dugaan melakukan kejahatan perang dan pelanggaran HAM.

Tetapi beberapa senator AS mengecam upaya ICC tersebut dan mengatakan bahwa serangan Israel di Jalur Gaza adalah tindakan membela diri, –yang menewaskan 41.800 warga Palestina dan lebih dari 96.800 lainnya terluka–, yang dapat dibenarkan.

Para senator AS itu pun mengancam akan menjatuhkan sanksi kepada para pegawai ICC, rekanan ICC dan anggota keluarga ICC jika surat perintah penangkapan tersebut dikeluarkan.

Gedung Putih juga menyatakan bahwa ICC tidak memiliki yurisdiksi apa pun untuk mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap pejabat Israel.

Presiden AS Joe Biden juga mengecam upaya ICC untuk mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap pejabat Israel dan Hamas itu dan mengatakan tidak ada kesetaraan antara Israel dan Hamas.

Biden pun secara konsisten menyatakan bahwa AS akan selalu mendukung Israel dalam melawan ancaman terhadap keamanan Israel.

Meskipun upaya ICC tersebut mendapat tentangan dari AS, Prancis – salah satu negara anggota G7 – mendukung upaya ICC tersebut.

Prancis mulai mengambil sikap tegas terhadap Israel dan mengkritik sikap AS yang selalu memveto resolusi gencatan senjata Dewan Keamanan PBB.


Perlahan tapi Pasti

Hampir setahun setelah serangan Israel di Jalur Gaza yang menewaskan puluhan ribu warga sipil dan melukai puluhan ribu lainnya, beberapa negara Barat mulai mengubah sikap mereka terhadap Israel.

Sulit bagi mereka untuk terus "menutup mata" atas jumlah warga sipil Palestina yang tewas akibat serangan Israel, terutama setelah Israel membombardir rombongan relawan asal negara-negara Barat yang mengirimkan bantuan makanan untuk warga Palestina di Jalur Gaza.

Meski tidak langsung menjatuhkan sanksi terhadap Israel atau memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel, beberapa negara Barat mulai bereaksi terhadap Israel yang terus melancarkan serangan ke negara lain.

Saat Israel melakukan serangan ke Lebanon, Presiden Prancis Emmanuel Macron menghubungi Netanyahu dan mengatakan untuk tidak memperluas konflik dengan Lebanon, meski Netanyahu merespons bahwa Israel tidak akan berhenti hingga tujuan mereka tercapai.

Macron sendiri mulai menyerukan embargo senjata terhadap Israel, yang digunakan dalam operasi militer Israel di Gaza, untuk meredakan ketegangan di kawasan sembari menegaskan bahwa prioritas Prancis sekarang adalah menghindari eskalasi.

Baca juga: Liga Arab dan OKI mendukung Palestina


Perlahan tapi pasti, meski beberapa negara Barat mengatakan bahwa mereka "setia" dengan Israel, mereka juga mulai melihat bahwa Israel tidak akan pernah berhenti menyerang negara yang Israel anggap sebagai musuh, sekeras apa pun seruan dari mereka untuk melakukan gencatan senjata atau meminta Israel tidak melakukan penyerangan.

Meski membutuhkan hampir setahun untuk "membuka mata" beberapa negara Barat terhadap Israel, bukan tidak mungkin mereka bisa menghentikan agresi Israel tersebut, selama yang dilakukan bukan hanya seruan, melainkan tindakan nyata, --seperti sanksi, embargo atau larangan--, agar bisa efektif menghentikan Israel.

Baca juga: Serangan udara Israel di Gaza Palestina tewaskan 14 orang

Tindakan nyata perlu dilakukan untuk mencegah bertambahnya korban warga sipil yang tewas dan terluka akibat serangan Israel. Selama setahun, Palestina sudah kehilangan 41.800 warganya dan Lebanon, hanya dalam dua minggu, sudah kehilangan lebih dari 2.000 warganya dalam serangan Israel. Tunggu apa lagi?