Dompu (ANTARA) - Minggu, 24 November 2024, masih sangat pagi. Sekitar pukul 05:30 Waktu Indonesia Tengah, kami sudah dijemput di hotel di Kota Mataram untuk menuju ke Dompu, salah satu kabupaten di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.
Dari Kota Mataram kami menuju Pelabuhan Kayangan, Kabupaten Lombok Timur, dengan waktu tempuh sekitar 90 menit.
Rombongan ANTARA yang dipimpin bos Biro NTB, Mas Abdul Hakim menuju Dompu untuk acara pelatihan menulis feature yang didukung oleh PT STM, perusahaan pertambangan.
Dalam rombongan dengan dua mobil itu ada Ketua PWI NTB Haji Nasaruddin, ahli geologi dari ITS Dr M. Haris Miftahul Fajar, pewarta ANTARA dan staf biro. Rombongan kedua, dengan mobil biro, ada mas kepala dan staf.
Sekitar pukul 09:00 WITA, mobil masuk kapal feri. Tak butuh waktu lama, kapal tersebut mulai mengarungi Selat Alas yang permukaannya sangat tenang.
Memanfaatkan waktu mengistirahatkan tubuh, kami memilih rebahan di atas matras yang disediakan penyedia angkutan penyeberangan itu.
Ketika duduk di bagian luar lambung kiri kapal, melintas seorang lelaki setengah baya mengenakan sarung dan sandal jepit kumal, serta tas gendong, membawa ingatan pada suasana penyeberangan kapal Ujung (Surabaya) - Kamal (Madura) di awal tahun 2000-an,, sebelum ada Jembatan Surabaya Madura (Suramadu). Lelaki bersarung itu sangat mirip dengan orang Madura di perdesaan yang biasa mengenakan sarung.
Lepas dari fokus pada lelaki bersarung itu, mata dikejutkan dengan suguhan pulau berbukit. Pulau berbukit tak terlihat kesepian, meskipun pohon-pohon tampaknya enggan menemani. Ya, bukit itu betul-betul gundul, satu dua yang bandel tidak menampakkan hijau daunnya sama sekali. Pulau tak berpenghuni dengan tipikal gundul itu, mirip kepalanya Mas Akhyar yang sesekali menjadi sopir pengganti dalam perjalanan. He heee, maaf ya Mas Akhyar. Terima kasih telah menghibur perjalanan dengan celotehan yang menggelitik.
Kembali ke bukit, tampaknya kegundulannya itu bukan karena pohonnya ditebang, tapi tanahnya memang kurang bersahabat dengan akar pohon. Sepertinya kondisi bukit itu memang terlalu gersang dan curah hujan sangat rendah.
Kapal semakin mendekati dermaga Pelabuhan Poto Tano di Kabupaten Sumbawa Barat. Teringat cerita Mbak Oky, staf biro yang menjemput kami di Bandara Internasional Lombok. Ia menyebut Dompu sebagai kabupaten Seribu Matahari. Sebutan itu merupakan gambaran hiperbolik untuk menjelaskan betapa panasnya suhu udara di kabupaten yang bertetangga dengan Bima itu.
Sebelum kapal feri bersandar di pelabuhan, suhu mulai terasa panas. Keringat membasahi tubuh. Terpaksa kami harus setuju dengan ungkapan Mbak Oky itu.
Keluar dari kapal dan Pelabuhan Poto Tano, mobil munyusuri jalan berkelok mengitari bagian bawah bukit. Satu pemandangan indah, lewat perkawinan alami antara suasana pantai dengan bukit.
Beberapa tumbuhan yang mampu hidup di lereng bukit dan pinggir jalan itu ada mimba, pohon yang daunnya pahit dan biasa dibuat jamu. Pohon itu juga bisa tumbuh di tanah Arab, berkat jasa Bung Karno. Konon, di kota Mekkah, dan Madinah, pohon itu diberi pohon Soekarno.
Selain mimba, ada juga beberapa pohon bidara, dan selebihnya, kami tidak mengenali pohon apa.
Entah memasuki kawasan mana, tapi masih di Kabupaten Sumbawa, keyakinan saya bahwa bukit-bukit itu memang enggan ditumbuhi pohon karena gersang, mulai luntur. Bukit-bukit di kawasan itu memperlihatkan permukaan yang subur, dengan warna tanah hitam. Sebagian permukaan bukit hijau karena rumput. Saya mulai berpikir bahwa bukit-bukit itu gundul karena pohonnya ditebang.
Kurang satu jam masuk kota Kabupaten Dompu, kami berhenti untuk menikmati jagung ketan. Pikiran saya tertuju pada ingatan ketan putih yang dimasak kemudian ditaburi parutan kelapa dan bubuk kedelai. Penganan ini sangat terkenal di Kota Batu, Jawa Timur.
Begitu dilayani oleh penjual, saya kaget, karena yang keluar adalah jagung rebus bulirnya berwarna putih. Entah mengapa disebut jagung ketan.
H Nasaruddin Zein, wartawan RRI Mataram yang juga Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Nusa Tenggara Barat (NTB) menjelaskan kemungkinan makanan itu disebut jagung ketan karena rasanya mirip ketan. Tidak seperti jagung rebus yang biasa dijual di kota-kota. Pada jagung putih itu ada rasa pulen ketan saat dikunyah. Komentar ini tentu bukan dalam kapasitas sebagai ketua PWI. Ini hanya perbincangan soal rasa lidah mengenai kekayaan kuliner bangsa kita.
Dari pinggir jalan tempat penjual jagung ketan ini, kami bisa melihat ke lembah di antara dua bukit. Sangat terlihat bahwa perbukitan itu sebetulnya subur. Rumput menghijau dan beberapa juga berdaun rindang.
Kami kembali naik ke mobil, mas Akhyar yang berada di samping sopir, entah berapa kali berujar bahwa Kota Dompu sudah dekat. "Tinggal satu bukit lagi ini," katanya tertawa. Maksudnya menghibur kami yang sudah jenuh duduk lama di mobil.
Kota yang dituju tak kunjung terlihat, membuat kami bercanda, sepertinya kota itu terus menjauh dari lokasi sebelumnya.
Tapi, alhamdulillah, Kota Dompu tidak betul-betul menjauh. Sekitar pukul 19.00 kami tiba di hotel yang lokasinya berdekatan dengan kantor bupati. Lega rasanya menyelesaikan satu etape perjalanan untuk acara pelatihan, Senin (25/11).
Setelah semua anggota rombongan istirahat, mandi, dan shalat, kami keluar untuk makan malam. Selesai makan malam, kami kembali ke hotel. Istirahat.
Besoknya, Senin, kegiatan dilaksanakan. Alhamdulillah pelatihan berjalan lancar. Selesai acara, siang kami langsung kembali ke Mataram. Kondisi atau stamina tubuh mulai turun. Setidaknya ada dua orang dari kami yang mulai pusing, serasa mau muntah.
Meskipun demikian, semua masih kuat untuk meneruskan perjalanan, apalagi setelah mendapat amunisi dari makan di warung Lamongan di kota Kabupaten Sumbawa.
Sekitar pukul 23:10 menit, kami tiba di pintu Pelabuhan Poto Tano. Terasa lega kembali, karena telah lepas dari jalanan berkelok, mungkin seribu kelok, seperti gambaran seribu Matahari untuk Dompu.
Begitu masuk KMP Ajax, semua mencari fasilitas matras untuk merebahkan tubuh. Dengan naik ke atas kapal, Kota Mataram sudah di ujung pandang(an), meskipun pelayaran ke Pelabuhan Kayangan masih membutuhkan waktu sekitar 2 jam dan lanjut ke Kota Mataram tambah 1,5 jam lagi.
Pengalaman pertama ke Pulau Sumbawa yang mengasyikkan. Mungkin ini kunjungan pertama, sekaligus terakhir ke Dompu. Entahlah, nurut kehendak Nenek Kaji Sak Quase.
*) Penulis adalah Redaktur Karkhas Kantor Berita ANTARA
Berita Terkait
Bukit gundul di Sumbawa memanggil penyelamat
Senin, 25 November 2024 18:49
Kemarin, Kantor Camat Wojo Dompu terbakar, jelang pencoblosan hingga setop sapi dari Sumbawa
Senin, 25 November 2024 5:26
Imigrasi Sumbawa buat inovasi ciptakan Duta Imigrasi tingkat desa
Minggu, 24 November 2024 21:53
Distan Mataram setop sapi dari Pulau Sumbawa
Minggu, 24 November 2024 19:20
Sumbawa Barat programkan surfing masuk sekolah
Sabtu, 23 November 2024 21:36
Pjs Bupati Sumbawa Barat laksanakan lima tugas pokok dari Kemendagri
Jumat, 22 November 2024 20:40
Galeri Informasi Sejarah tingkatkan literasi masyarakat di Sumbawa Barat
Senin, 18 November 2024 18:07
Tim SAR evakuasi mayat nelayan di Perairan Labuan Badas Sumbawa
Senin, 18 November 2024 14:53