GUPBI mengusul ke pemerintah manfaatkan babi sebagai solusi tekan sampah

id mepatung,ternak babi,peternak babi,GUPBI Bali,sampah

GUPBI  mengusul ke pemerintah manfaatkan babi sebagai solusi tekan sampah

Arsip foto - Babi di salah satu peternakan babi di Denpasar, Bali, Senin (23/1/2023). ANTARA/Ni Putu Putri Muliantari

Denpasar (ANTARA) - Gabungan Usaha Peternakan Babi Indonesia (GUPBI) Bali mengusulkan ke pemerintah daerah agar memanfaatkan hewan ternak babi sebagai salah satu solusi menekan sampah.

Ketua GUPBI Bali I Ketut Hari Suyasa di Denpasar, Senin, mengatakan bahwa seekor babi memerlukan tiga kilogram makanan per hari yang bisa dipenuhi lewat sisa makanan dapur, sehingga sampah bekas dapur tidak perlu sampai ke tempat pembuangan akhir (TPA).

“Bayangkan jika di kota keluarga memelihara seekor babi, ketika mencari sisa makanan bayangkan perlu berapa dapur yang artinya semua sisa makanan bisa diolah dan mengurangi sampah yang akan dibuang,” kata dia.

GUPBI Bali juga melihat dalam sehari sampah sisa pasar berupa buah dan sayur dapat mencapai dua ton, dimana jika diolah sampah tersebut jadi memiliki nilai ekonomi untuk dijadikan pakan ternak babi.

Apalagi, Hari Suyasa menyebut saat ini juga sudah ada teknologi yang mampu mengolah pakan babi sehingga tidak bau, sementara jika dikaitkan dengan pencemaran, kotoran babi menurutnya tak jauh berbeda dengan kotoran hewan peliharaan di rumah-rumah lainnya.

Di Bali sendiri menurut dia upaya mendorong kembalinya peternak babi rumahan bukan hanya untuk mengurangi masalah sampah dan memberi manfaat ekonomi, melainkan untuk adat dan budaya.

Oleh karena itu asosiasi peternakan mendorong pemerintah memberi akses masyarakat terutama di perkotaan kembali seperti dahulu yaitu memelihara babi rumahan.

GUPBI Bali mencatat dari 27 ribu anggotanya, peternak babi rumahan hanya tersisa separuhnya, pun mereka hanya tersebar di pedesaan, sementara di kota sudah jarang.

Baca juga: Dinas Peternakan Nagekeo perketat ternak cegah ASF

Hal ini menyebabkan semakin sulitnya mencari stok babi, dan berkurangnya semangat bertradisi seperti mepatung atau patungan desa adat membeli babi untuk Hari Raya Galungan.

Dahulu umumnya desa adat akan membeli babi untuk mepatung milik warga peternak, sehingga dengan makin hilangnya peternak rumahan membuat tak ada lagi semangat desa adat mengolah babi bersama di hari raya.

Hari Suyasa menyebut saat ini anggotanya yang peternak rumahan paling banyak tersebar di Klungkung, Karangasem, Jembrana, dan Bangli, sementara kian menipis bahkan sulit ditemui di Denpasar dan Badung.

Baca juga: 500.000 ternak babi mati akibat virus ASF di NTT

Akhirnya fenomena belakangan, masyarakat cenderung individualis membeli daging babi potong dengan harga Rp120 ribu per kilogram atau dua kali lipat dari harga mepatung.

“Jadi menurut mereka itu ribet, sehingga budaya mepatung ini mulai bergeser, semua ambil praktisnya, juga sekarang babi hanya untuk upacara jadi hanya beli daging seperlunya sedangkan yang dikonsumsi saat hari raya daging ayam misalnya,” ujar Hari Suyasa.