Surabaya (ANTARA) - Raperda Pemajuan Kebudayaan dan Nilai-nilai Kepahlawanan di Surabaya tengah menuai perdebatan. Ada yang menyoroti hilangnya frasa “nilai-nilai kejuangan”, ada pula yang meyakini semangat itu sudah tercakup dalam kepahlawanan. Padahal, keduanya ibarat akar dan mahkota: tak bisa saling meniadakan. Raperda ini menjadi peluang emas untuk merangkul seni, budaya, dan semangat juang dalam satu payung kebijakan yang menghidupkan kembali ruh Kota Pahlawan.
Surabaya adalah kota yang dibangun dari keringat, darah, dan tekad pantang menyerah. Dari Tugu Pahlawan hingga Gang Dolly yang kini berubah wajah, dari suara petasan di 10 November hingga lantunan ludruk di gang-gang kampung, semangat juang itu menyusup ke setiap lorong sejarah dan kehidupan warganya. Kepahlawanan adalah mahkota, kejuangan adalah akarnya. Memperdebatkan keduanya tanpa menyadari bahwa mereka berasal dari pohon yang sama hanya akan membuat kita kehilangan energi untuk menumbuhkannya.
Sejarah membuktikan, perlawanan arek-arek Suroboyo pada 1945 tidak lahir dari panggung upacara atau seremoni belaka, melainkan dari keberanian anak muda, ibu rumah tangga, pedagang pasar, hingga ulama kampung yang bersatu mempertahankan martabatnya. Itulah nilai kejuangan: daya hidup yang tidak mengenal kata menyerah. Dan ketika daya hidup itu berpadu dengan keberanian, pengorbanan, dan keteladanan, lahirlah kepahlawanan.
Kini, hampir delapan dekade kemudian, semangat itu perlu diwariskan kembali, terutama kepada generasi muda yang menghadapi tantangan berbeda—bukan lagi pertempuran fisik melawan penjajah, tetapi kompetisi global yang menuntut kecerdasan, kreativitas, dan ketangguhan karakter. Raperda Pemajuan Kebudayaan dan Nilai-nilai Kepahlawanan, jika dirumuskan dengan tepat, bisa menjadi jembatan antara warisan sejarah dengan kebutuhan zaman.
Perdebatan yang muncul dalam pembahasan raperda ini menunjukkan adanya kesadaran kolektif tentang pentingnya arah kebijakan budaya. Sebagian pihak mempersoalkan hilangnya frasa “nilai-nilai kejuangan” dari naskah rancangan awal. Kekhawatiran ini wajar, karena kejuangan memiliki makna khas dalam sejarah Surabaya. Namun di sisi lain, penyusun raperda meyakini bahwa semangat kejuangan sudah terwadahi dalam terminologi “nilai-nilai kepahlawanan” sebagaimana tercantum di Bab 3 Pasal 6 ayat (2).
Untuk mencari titik temu, kita perlu memahami perbedaan makna keduanya. Nilai-nilai kepahlawanan sering dimaknai secara luas: keberanian, pengorbanan, keteguhan hati, keteladanan, dan cinta tanah air. Sementara itu, nilai-nilai kejuangan lebih menekankan pada daya juang: sikap pantang menyerah, kerja keras, solidaritas, dan keberpihakan kepada kepentingan bersama. Kepahlawanan dapat dipandang sebagai puncak dari proses panjang perjuangan; kejuangan adalah akar yang menopangnya.
Dengan memahami relasi ini, jelas bahwa keduanya bukan untuk dipertentangkan. Kepahlawanan tanpa kejuangan akan hampa, karena mahkota tidak mungkin tumbuh tanpa akar yang kokoh. Sebaliknya, kejuangan tanpa arah kepahlawanan akan kehilangan makna luhur yang mempersatukan.
Raperda ini sendiri merupakan langkah maju Pemerintah Kota Surabaya untuk menafsirkan budaya secara lebih luas. UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan mengamanatkan bahwa kebudayaan tidak hanya terbatas pada seni pertunjukan, musik, atau tari, melainkan mencakup seluruh hasil cipta, rasa, karsa, dan karya masyarakat. Tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, pengetahuan tradisional, bahkan sikap mental seperti kejuangan dan kepahlawanan, semuanya adalah bagian dari kebudayaan.
Dengan kerangka itu, Raperda Pemajuan Kebudayaan dan Nilai-nilai Kepahlawanan seharusnya menjadi payung kebijakan yang merangkul semua aspek: pelestarian seni, penguatan karakter generasi muda, penghormatan terhadap jasa para pahlawan, serta penanaman sikap juang yang relevan dengan tantangan zaman.
Yang tidak kalah penting adalah memastikan raperda ini tidak berhenti di tataran seremonial. Banyak kebijakan kebudayaan yang hanya indah di atas kertas namun minim pelaksanaan. Kita perlu memastikan ada program turunan yang konkret: pendidikan sejarah dan budaya di sekolah, festival kebudayaan yang melibatkan masyarakat akar rumput, revitalisasi situs sejarah, pembinaan komunitas seni, hingga penguatan narasi kejuangan melalui media digital.
Dengan begitu, nilai kejuangan tidak hanya hadir di buku sejarah atau pidato peringatan hari besar, tetapi benar-benar hidup di ruang-ruang publik. Generasi muda Surabaya akan memahami bahwa kejuangan tidak hanya berarti mengangkat senjata, tetapi juga bekerja keras, berinovasi, dan berkontribusi untuk kemajuan kotanya.
Perdebatan dalam proses legislasi ini sebenarnya sehat. Ia menunjukkan bahwa masih ada energi moral di masyarakat untuk menjaga jati diri kota. Tantangannya adalah mengubah perdebatan itu menjadi kolaborasi—mencari rumusan yang mampu mengakomodasi kekhawatiran sekaligus mempertahankan substansi kebijakan.
Mari kita jadikan pembahasan raperda ini sebagai ruang dialog yang jernih dan konstruktif. Tidak ada yang perlu merasa dikalahkan, karena tujuan akhirnya adalah sama: memastikan Surabaya tetap menjadi Kota Pahlawan, bukan hanya dalam simbol, tetapi juga dalam perilaku warganya. Kepahlawanan dan kejuangan adalah dua nyala api yang harus terus dijaga.
Jika raperda ini berhasil dirumuskan dengan semangat inklusif, ia akan menjadi warisan penting bagi generasi mendatang. Warisan yang mengajarkan bahwa budaya bukan sekadar artefak masa lalu, tetapi juga kekuatan hidup yang membentuk masa depan. Warisan yang memastikan Surabaya selalu siap menghadapi tantangan zaman, dengan akar juang yang kokoh dan mahkota kepahlawanan yang megah.
Surabaya, 13 Agustus 2025
*) Penulis adalah Praktisi Pendidikan Ramah Anak dan Lembaga Perlindungan Anak ( LPA ) Jatim, Dosen di STT Multimedia Internasional Malang, Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya dan Wakil Ketua ICMI Jatim
