Narasi restitusi Pajak dan Ilusi Krisis APBN 2025

id Restitusi pajak,ilusi apbn 2025,apbn 2025,kebijakan fiskal,Penerimaan pajak Oleh Adrian Nalendra Perwira*)

Narasi restitusi Pajak dan Ilusi Krisis APBN 2025

Peneliti ekonomi GREAT Institute, Adrian Nalendra Perwira. ANTARA/HO-GREAT Institute

Jakarta (ANTARA) - Narasi tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang disebut berada di tepi jurang, muncul hampir setiap kali penerimaan pajak menghadapi tekanan. Dalam konteks 2025, kekhawatiran publik atas pelebaran shortfall pajak memang tidak bisa diabaikan, tetapi cara membaca data fiskal menjadi penentu apakah diskursus ini mencerahkan atau justru menyesatkan.

APBN bukan sekadar kumpulan angka statis, melainkan sistem kebijakan yang hidup, dipengaruhi oleh keputusan administratif, dinamika ekonomi, dan manajemen kas negara. Karena itu, kredibilitas APBN tidak semestinya diukur dari satu indikator tunggal, melainkan dari kemampuan negara merespons tekanan secara disiplin, transparan, dan tidak kontraproduktif terhadap perekonomian.

Salah satu kekeliruan yang kerap terjadi dalam membaca kinerja penerimaan pajak adalah menyamakan penurunan pajak neto dengan melemahnya basis pajak. Padahal, terdapat faktor penting yang sering luput dari perdebatan publik, yakni restitusi pajak. Restitusi merupakan hak wajib pajak ketika terjadi kelebihan pembayaran dan dalam perspektif dunia usaha, restitusi berfungsi sebagai penopang arus kas.

Namun, dari sudut pandang kas negara, lonjakan restitusi membuat penerimaan pajak neto terlihat lebih rendah pada tahun berjalan, meskipun secara struktural tidak selalu mencerminkan pelemahan ekonomi atau penurunan kepatuhan.

Data yang dicatat hingga Oktober 2025 menunjukkan restitusi pajak mencapai Rp340,52 triliun, meningkat 36,4 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Angka ini secara kasat mata memang besar, tetapi analisis yang lebih jujur perlu memasukkan faktor timing. Sebagian lonjakan restitusi dipengaruhi oleh backlog pembayaran yang sempat tertunda dan terakumulasi pada periode sebelumnya, sehingga pembayarannya menumpuk pada 2025.

Tanpa penjelasan ini, publik mudah menarik kesimpulan berlebihan bahwa penerimaan pajak sedang runtuh, padahal sebagian tekanan bersifat administratif dan temporer.

Sinyal Kewaspadaan

Kondisi keseimbangan primer hingga Oktober 2025 yang mencatat defisit Rp45 triliun, berbalik dari surplus bulan sebelumnya dan lebih rendah dibandingkan surplus Rp97,3 triliun pada periode yang sama tahun lalu, juga kerap dijadikan dasar narasi krisis.

Padahal indikator ini seharusnya dibaca sebagai sinyal kewaspadaan, bukan vonis kegagalan fiskal.

Perubahan tersebut mencerminkan akselerasi belanja pada paruh akhir tahun serta dinamika penerimaan non-bunga, sesuatu yang lazim terjadi dalam siklus anggaran. Lebih penting untuk dicatat bahwa defisit APBN secara keseluruhan masih berada di kisaran 2,02 persen terhadap Produk Domestik Bruto, jauh di dalam koridor disiplin fiskal yang telah disepakati. Di titik inilah kualitas respons kebijakan menjadi krusial. Alih-alih larut dalam perdebatan apakah APBN berada di tepi jurang atau tidak, fokus seharusnya diarahkan pada bagaimana tekanan jangka pendek dikelola agar tidak berubah menjadi risiko struktural.

Penguatan kepatuhan pajak dan pengawasan berbasis risiko menjadi agenda yang tak bisa ditunda, terutama dengan memanfaatkan data yang semakin kaya. Integrasi data lintas instansi bukan sekadar jargon reformasi, tetapi kebutuhan mendesak untuk mempersempit ruang penghindaran pajak dan meningkatkan efektivitas intensifikasi. Pada saat yang sama, tata kelola restitusi perlu dirapikan agar tidak terus menumpuk dan mengganggu pembacaan kinerja penerimaan neto.

Transparansi mengenai jadwal dan pola restitusi penting untuk membangun pemahaman publik bahwa fluktuasi penerimaan tidak selalu identik dengan kegagalan kebijakan. Restitusi yang dikelola dengan baik justru mencerminkan negara yang menghormati hak wajib pajak sekaligus menjaga kredibilitas sistem perpajakan.

Masih Terkendali

Dari sisi belanja, tantangan yang tak kalah penting adalah menjaga kualitas dan efisiensi. Tekanan penerimaan tidak boleh dijawab dengan pemangkasan belanja secara serampangan, terutama belanja yang bersifat produktif dan berdampak langsung pada pertumbuhan serta kesejahteraan.

Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk menahan belanja yang tidak memberikan nilai tambah, memperkuat evaluasi program, dan memastikan setiap rupiah APBN bekerja optimal. Manajemen kas yang prudent menjadi fondasi agar konsolidasi fiskal tetap berada di jalur yang direncanakan.

Diskursus publik tentang APBN juga memerlukan kedewasaan. Narasi hiperbolik tentang “tubir jurang” mungkin efektif menarik perhatian, tetapi berisiko merusak kepercayaan jika tidak disertai analisis yang proporsional.

Baca juga: Rupiah di Google dan ilusi digital yang menyesatkan

Kepercayaan publik terhadap APBN justru akan tumbuh ketika pemerintah dan para pemangku kepentingan mampu menjelaskan kondisi fiskal apa adanya, termasuk risiko dan strategi mitigasinya, tanpa menutup-nutupi maupun membesar-besarkan.

Fundamental APBN 2025 pada dasarnya masih terkendali. Tekanan penerimaan jangka pendek memang nyata dan membutuhkan respons serius, tetapi indikator utama disiplin fiskal masih berada dalam batas aman.

Tantangan terbesar bukan terletak pada angka defisit semata, melainkan pada konsistensi kebijakan dan kemampuan negara menjaga keseimbangan antara kehati-hatian fiskal dan dukungan terhadap pemulihan ekonomi.

Baca juga: Rupiah di Google dan ilusi digital yang menyesatkan

Ke depan, kepastian arah kebijakan menjadi kunci. Dunia usaha membutuhkan sinyal yang jelas bahwa negara tetap hadir secara rasional dan terukur, bukan reaktif terhadap tekanan sesaat. Kerja teknokratis yang tenang, berbasis data, dan berorientasi solusi jauh lebih dibutuhkan dibandingkan retorika yang memicu kepanikan.

APBN bukan instrumen yang rapuh jika dikelola dengan disiplin tapi justru menjadi jangkar stabilitas ketika kebijakan dijalankan dengan kepala dingin dan keberanian untuk melakukan pembenahan struktural. Dalam konteks inilah, perdebatan tentang APBN seharusnya diarahkan untuk memperkuat, bukan melemahkan, fondasi fiskal nasional.


*) Adrian Nalendra Perwira adalah Peneliti ekonomi GREAT Institute.



Editor: I Komang Suparta
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.