Lombok Timur (ANTARA) - Keberadaan madrasah dan pondok pesantren telah menjadi identitas tersendiri bagi dinamika pendidikan Islam di Indonesia (baca: Nusantara). Terutama pada daerah-daerah yang mayoritas beragama Islam. Satu di antara daerah itu adalah Lombok yang dulu bagian dari Provinsi Suda Kecil dan kini menjadi Provinsi Nusa Tenggara Barat. Keberadaan pendidikan berbentuk madrasah sesungguhnya telah ada dan eksis jauh sebelum Indonesia merdeka.
Secara historis, Almagfurullahu Tuan Guru Kiai HajiMuhammad Zaenuddin Abdul Majid Nahdhatul Wathan Diniyah Islamiyah (HAMZANWADI) adalah peletak dan pelopor sistem pendidikan madrasah di Nusantara. Lebih khusus di Nusantara bagian timur (baca: Negara Indonesia Timur/NIT). Madrasah Nahdhatul Watahan Diniyah Islamiyah (NWDI) dan Madrasah Nahdhatul Banat Diniyah Islamiyah (NBDI) yang didirikan di Pancor (1936) merupakan jejak perjuangan ulama besar alumni Madrasah Shoulatiyah Mekkah al-Mukarramah, yang pada tahun 2017 dianugrahi sebagai Pahlawan Nasional asal Nusa Tenggara Barat – TGKH. M. Zaenuddin Abdul Majid oleh Pemerintah Republik Indonesia. Sebagai salah satu induk pendidikan Islam di Nusantara ketika itu, NWDI dan NWBDI telah menerapkan model pendidikan madrasah secara lengkap di zamannya. Dari penyelenggaraan pendidikan yang diselenggarakannya, dapat dipahami, bahwa model pendidikan madrasah adalah model dan sistem penyelenggaraan pendidikan Islam dengan penerapan manajerial atas klsifikasi siswa berdasarkantingkatan, usia, kemampuan, materi ajar, kurikulum, pendidik, klasikal terhadap para santri atau santriwati pada sebuah lembaga pendidikan Islam dengan beradaptasi pada kurikulum yang kontekstual menurut zaman dan kebutuhan masa depan.
Model pendidikan madrasah yang dipelopori ini segera menyebar di berbagai desa dan tempat ketika itu, sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, sampai tahun 1945, telah berdiri 9 cabang NWDI (Madrasah as-Sa’adah di Kelayu, Nurul Yakin di Praya, Nurul Iman di Mamben, Shirat al-Mustaqim di Rempung, Hidayah al-Islam di Masbagik, Nurul Iman di Sakra, Nurul Wathan di Mbung Papak, Tarbiyah Islam di Wanasaba, Far’iyah di Pringgasela). Delapan tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1953, telah memiliki 66 cabang madrasah yang tersebar di Lombok Timur, Lombok Tengah dan Lombok Barat. Bahkan untuk Pulau Lombok sendiri sejak dulu, di setiap desa terdapat madrasah yang menjadi jejak perjuangan HAMZANWADI.
Pendirian dan penyelenggaraan madrasah oleh TGKH. M. Zaenuddin Abdul Majid bukan tanpa tantangan dan rintangan. Sebaliknya penuh dengan ujian dan tantangan. Karena keteguhan dan tekad yang kuat dari TGKH. Zaenuddin Abdul Majid sampai berdiri ratusan madrasah dan kini menjadi ribuah madrasah di seluruh Nusantara. Kepeloporan, jasa dan jejak pendirian madrasah ini oleh para murid dan masyarakat luas, Almagfurullah TGKH. M. Zaenuddin Abdul Majid dijuluki dengan panggilan Abul Madaris wal Masajid. Orang yang telah sangat banyak mendirikan, membangun, mempelopori, mengisiasi pendirian madrasah dan masjid.
Lebih jauh, TGKH. M. Zaenuddin Abdul Majidmempelopori penyelenggaraan pendidikan Islam pada madrasah NWDI dan NBDI yang didirikannya itu dengan penerapan masa studi, pelaksanaan ujian, evaluasi, rangking, nilai dan pemberian ijazah pada santri dan santriwati. Model dan pola ini masih digunakan dan diterapkan sampai saat ini di semua madrasah di Tanah Air. TGKH. M. Zaenuddin Abdul Majid lah yang pertama mempekenalkan dan mempraktekkan itu. Sebelumnya, praktek pendidikan yang diselenggarakan para pemuka agama di zamannya tidak familier dengan pola-pola itu. Pelaksanaan pendidikan Islam mayoritas berupa kajian-kajian agama di rumah-rumah para tuan guru (kiai). Tidak mengenal model klasikal, santri lama dan baru digabung, tidak ada ujian, tidak ada perengkingan, tidak ada ijazah, tidak ditentukan masa belajar. Masa atau lama belajar ditentukan oleh tuan guru dan santri sendiri. Tidak ada standar waktu berakhir masa pendidikan. Materi ajar didominasi mengkaji kitab berbahasa Arab melayu dan tidak mengajarkan pelajaran umum.
Dari banyak literatur sejarah mengenai pendidikan Islam di Indonesia sebelum kemerdekaan,dapat diketahui, bahwamayoritas penyelenggaraan pendidikan Islam menggunakan model pembelajaran sorogan dan bandongan. Metode sorogan adalah metode belajar secara individual yang dilakukan oleh seorang santri dalam jumlah kecil di hadapan seorang guru (kiai/tuan guru), dan terjadi interaksi saling mengenal di antara guru murid. Metode sorogan sangat familier di kalangan tuan guru atau kiai yang menyelenggarakan pendidikan Islam ketika itu. Bahkan telah menjadi motode umum dari praktek pendidikan Islam yang ada di Nusantara.
Metode bandongan (wetonan) adalah belajar secara kelompok dalam jumlah yang besar, dimana tuan guru / kiaimenjadi pusat pembelajaran. Metode ini dilaksanakan dengan seksama oleh santri, dimana seorang kiai/tuan guru membaca, mengartikan, memberi pandangan terhadap kitab yang dibacanya di hadapan para santri. Para santri sendiri mencatat, hal-hal yang dianggap penting dari penjelasan yang diberikan oleh kiai/tuan guru.
Kedua metode ini menjadi ciri khas kajian agama sebelum pendidikan madrasah diterapkan. Kedua metode ini dilakukan dalam mengkaji kitab-kitab ulama, dan di Lombok pada masa itu mengkaji kitab-kitab berbahasa Arab Melayu, seperti Kitab Perukunan, Sabilul Muhtadin, Bidayah, dll . Fokus kegiatan pembelajaran adalah pada kajian kitab-kitab berbahasa Arab Melayu, dan beberapa kita berbahasa Arab. Pembelajaran tidak mengenal sistem kelas (klasikal) seperti yang diterapkan oleh TGKH. M. Zaenuddin Abdul Majid yakni model madrasah .
Dalam perkembangan setelah kemerdekaan, kini jejak perjuangan pendidikan HAMZANWADI berupa model pendidikan madrasah hampir diselenggarakan oleh pondok-pondok pesantren di Indonesia. Pondok pondok pesantren hampir menyelenggarakan pendidikan formal dalam bentukmadrasah. Dan hampir sebagian besar pondok pesantren model madrasah menyesuaikan kalender akademiknya dengan pemerintah. Dari itu, dapat dipahami, bahwa model pendidikan madrasah merupakan bagian dari kostribusi besar, jejak dan kiprah perjuangan pendidikan dari ulama besar, pahlawan nasional asal Nusa Tenggara Barat, yaitu TGKH. M. Zaenuddin Abdul Majid.
Pendidikan madrasah yang dipelopori oleh HAMZANWADI sejak sebelum kemerdekaan bisa dipahamisebagai respon dan pengembangan dari bentuk penyelenggaraan pendidikan Islam tradisional ketika itu dalam rangka mencerdaskan dan mengangkat martabat kehidupan ummat dan bangsa. Pada dinamikanya, di Indonesia dalam menyikapi perkembangan dan dinamika sosial politik, pola-pola penyelenggaraan pendidikan nonmadrasah telah banyak mengalami transformasi menjadi madrasah. Bahkan pondok pesantren rata-rata sudah menerapkan sistem pendidikan madrasah pada jenjang pendidikan formal yang dikelolanya. Sehingga sampai saat ini tercatat, data bulan September 2024, terdapat 87.397 madrasah di seluruh Indonesia.
HAMZANWADI telah menjadi ikon penting dunia pendidikan Islam di Indonesia. Khususnya pendidikan madrasah. Dari madrasah-madrasah yang dipeloporinya, baik di Lombok, di Tanah Air pada umumnya, telah sangat banyak memberikan konstribusi / sumbangan bagi kemajuan bangsa Indonesia. Kini perjuangan dan jejak pendirian madrasah yang ditinggalkan HAMZANWADI terus menginspirasi para murid,para pecinta dan masyarakat untuk berjuang mendirikan, memajukan, mengembangkan, menyebarkan, mamakmurkan madrasah sebagai bagian dari cara meneruskan perjuangan dan berterima kasih kepada HAMZANWADI dan bersyukur kepada Alloh Swt.
*) Penulis adalah Wakil Rektor IAI HAMZANWADI Pancor/ Kader NWDI