Mataram (ANTARA) - Diakui atau tidak, profesi dokter, hingga saat ini, di mana warga dunia sedang menghadapi pandemi COVID-19 adalah bidang pekerjaan yang tetap diidamkan banyak orang karena punya nilai prestisius.
Bukan saja karena persoalan biaya -- karena tidak murah untuk studi di Fakultas Kedokteran (FK) -- namun juga harus memiliki nilai akademik yang cukup untuk bisa diterima di FK. Terlebih bagi anak desa, barangkali menjadi dokter adalah bak peribahasa "bagai pungguk merindukan bulan".
Namun bagi Subagjo kecil yang lahir pada 16 Juni 1953 di Desa Senden Kecamatan Kampak, Kabupaten Trenggalek, Provinsi Jawa Timur, meski ada bayang-bayang bahwa menjadi dokter adalah sesuatu yang amat sulit, ia bertekad untuk bisa menggapainya.
Dengan didikan dari orangtua selaku kepala sekolah dasar (SD) yang bercita-cita besar bagi keberhasilan anak-anaknya, Subagyo terinspirasi untuk mewujudkan cita-cita sang ayah.
"Ayah saya berkeinginan besar untuk memasukkan saya ke Fakultas Kedokteran, sementara pengetahuan publik saat itu, masuk kedokteran 'kan’ perlu biaya besar. Jadi saya betul-betul mengalami dilema," katanya.
Perjuangan untuk menggapai cita-cita menjadi dokter itu penuh jalan berliku. Lulus Sekolah Rakyat (kini Sekolah Dasar) Bendoagung 1 tahun 1965, ia melanjutkan studi ke SMP 1 Tulungagung (lulus 1968) dan SMA Trenggalek (lulus 1971).
Anak kedua dari sembilan bersaudara itu mengaku dilematis selepas menamatkan SMA, meski ia telah bekerja keras untuk bisa masuk jurusan paspal (ilmu pasti dan pengetahuan alam) atau di masa kini adalah jurusan IPA, karena syarat untuk bisa masuk FK harus dari jurusan paspal.
Terlebih, semasa di SMA hanya empat orang dari 30 siswa dalam satu kelas yang bisa masuk paspal. Dilema itu kian memuncak tatkala berpikir pada tahap berikutnya, yakni bagaimana bisa lolos masuk FK, dan setelah lolos pun, bagaimana biayanya. Ia mengaku tidak percaya diri atas kondisi tersebut.
Lagi-lagi berkat dorongan sang ayahlah yang akhirnya membuatnya berani mendaftar. Tapi ternyata mendaftar di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) Surabaya tidak diterima. Subagyo malah diterima di Fakultas Kedokteran Malang. Saat itu namanya Sekolah Tinggi Kedokteran Malang (STKM).
STKM yang didirikan pada 14 September 1963 adalah cikal bakal dari Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya (FK UB). STKM berubah menjadi FK UB pada 1 Januari 1976.
Singkat cerita, karena gemblengan sang ayah, Subagyo menjadi tahan banting, dan kerja keraslah tebusannya, sampai akhirnya lulus menjadi dokter pada 1983. Setahun kemudian ia menikah dengan wanita tercinta yang juga seorang dokter, yakni dr. Saraswati, M.Psi.FIAS.
Subagyo menyebutkan bahwa belahan hatinya itu juga tidak kalah tegarnya dalam mendorongnya untuk terus bergerak ke depan hingga akhirnya melanjutkan studi spesialisasi.
Pria kelahiran Trenggalek itu lulus Spesialis Bedah Umum di Unair tahun 1993 dan Lulus Bedah Toraks Kardiak dan Vaskular (Bedah Jantung Paru Vaskular) pada 1998. Kemudian ia mendapat "fellow" di Austin Hospital Melbourne Australia untuk Bedah Jantung (1999-2000).
Selepas itu ia menjadi Staf Bedah di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Saiful Anwar di Malang (1994-2005) hingga menjabat Ketua Staf Medis Fungsional (SMF)/Kepala Departemen Bedah RSUD Saiful Anwar (2005-2008).
dr. Subagyo sedang memeriksa kesehatan rakyat di Timor Timur (sekarang Timor Leste) tahun 1985 (Dok. pribadi)
Membantu orang kecil
Berangkat dari pengalaman masa kecil yang sering dihadapkan dengan kesulitan orang-orang yang berkekurangan, dr.Subagyo, Sp.B, Sp.BTKV dalam perjalanan hidupnya tidak bisa lepas dari keinginan memperjuangkan kehidupan orang kecil, khususnya dari sisi kesehatan.
Oleh karena itu, bukan saja kemudian aktif di organisasi masyarakat (Ormas) yang bergerak membantu dan memperjuangan orang kecil, ia pada saat yang bersamaan mempelajari misteri kehidupan yang disebutnya "Hanya dari Allah SWT jawabannya".
"Berangkat dari sini, bagaimanapun, sebagai abdi Allah SWT, kami siap berbuat kasih dan sayang melalui 'Bismillahirrahmanirrahim' yang bukan saja dalam teori, tetapi yang justru dapat diterima apa hasil dari laku serta perbuatan untuk orang lain serta untuk umat dan Ibu Pertiwi," katanya.
Subagyo yang memberikan penjelasan di sela-sela operasi pasien juga bercerita adanya momentum yang membekas dalam hati dan terus dikenangnya karena membuat sebuah perubahan besar dalam perjalanan hidupnya.
"Saya pernah berada pada posisi keadaan 'mati yang bernafas'," sebutnya, terkait penyakit "lymphoma maligna non-hodgkin's disease" (kanker kelenjar getah bening) yang pernah diidapnya.
Ia bertutur, dimulai setelah gagal dalam pencalonan Wali Kota Batu tahun 2003, dirinya bertekad untuk hidup teratur, bersih-bersih diri, menghindar dari segala pergerakan, dan kemudian naik haji tahun 2005.
Setelah merasa relatif hidup bersih dan diangkat menjadi Kepala Bedah RSUD dr Saiful Anwar, ia menyebut "Turunlah anugerah berupa penyakit "lympoma maligna" tersebut yang kecil kemungkinannya untuk sembuh.
Kemudian, Subagyo menerima metode pengobatan dengan konsep "Rumah Sehat" dari Dr. Gretha Zahar di Otista Jakarta. Pengobatan dengan "terapi balur" itu prinsipnya adalah seperti luluran ataupun spa.
Hanya saja penyembuhan penyakit dengan terapi seperti itu dianggap kontroversial karena dilakukan melalui balur dan disempurnakan dengan penggunaan asap rokok “divine kretek”.
Divine kretek adalah salah satu produk yang menggunakan prinsip nanobiologi serta merupakan hasil konversi teknologi dari rokok yang mengandung radikal bebas menjadi rokok sehat yang berisi nanostruktur kompleks yang dapat menghantarkan elektron sampai ke level milivolt.
Terapi tradisional balur itu ditemukan oleh Dr. Gretha Zahar, seorang ahi kimia radiasi (radikal bebas dan biradikal) dari Unpad dan dikembangkan bersama Guru Besar FMIPA bidang Biologi Sel, Nano Biologi, dan Teknik Observasi Mikroskopis Universitas Brawijaya Prof. Sutiman Bambang Sumitro, SU, D.Sc.
Terapi itu dilakukan untuk menangani penyakit kanker yang dikembangkan menggunakan metode balur berbasis nanosains. Pembaluran yang merupakan nanotherapy itu disempurnakan dengan penggunaan asap rokok divine kretek yang merupakan asli temuan mereka.
Dalam kesaksiannya terkait terapi itu Subagyo menyatakan, sejak menjalani terapi balur nano divine kretek, hingga kini kondisinya sehat dan tidak mengalami masalah saat melaksanakan tugas dan tanggung jawab sehari-hari sebagai dokter.
Karena itu, sebagai ungkapan terima kasih, ia membangun Rumah Sehat di Malang yang sampai sekarang dikelola sang istri dr. Saraswati bersama akademisi di Malang pimpinan Prof. Sutiman Bambang Sumitro dalam bentuk Lembaga Penelitian Peluruhan Radikal Bebas (LPPRB).
Dengan pertolongan Tuhan Yang Maha Esa, terapi balur bisa sangat membantu orang-orang kecil atau orang-orang kurang mampu yang terkena penyakit kronis, terutama kanker stadium lanjut dan yang enggan melakukan kemoterapi.
Satu hal yang paling membuatnya bangga adalah saat bersama Dr. Gretha Zahar dan Prof. Sutiman Bambang Sumitro mengenalkan terapi balur pada suatu kongres di Selandia Baru. Kala itu para peserta kongres dari berbagai negara takjub dengan paparan dan demo mereka.
Hingga kini, selain dari berbagai daerah di dalam negeri, para pasien yang dilayani di Rumah Sehat di Malang juga berasal dari manca negara seperti dari Timur Tengah, Australia, Singapura, Malaysia, Norwegia, Amerika Serikat, dan Jerman.
Bukan saja karena persoalan biaya -- karena tidak murah untuk studi di Fakultas Kedokteran (FK) -- namun juga harus memiliki nilai akademik yang cukup untuk bisa diterima di FK. Terlebih bagi anak desa, barangkali menjadi dokter adalah bak peribahasa "bagai pungguk merindukan bulan".
Namun bagi Subagjo kecil yang lahir pada 16 Juni 1953 di Desa Senden Kecamatan Kampak, Kabupaten Trenggalek, Provinsi Jawa Timur, meski ada bayang-bayang bahwa menjadi dokter adalah sesuatu yang amat sulit, ia bertekad untuk bisa menggapainya.
Dengan didikan dari orangtua selaku kepala sekolah dasar (SD) yang bercita-cita besar bagi keberhasilan anak-anaknya, Subagyo terinspirasi untuk mewujudkan cita-cita sang ayah.
"Ayah saya berkeinginan besar untuk memasukkan saya ke Fakultas Kedokteran, sementara pengetahuan publik saat itu, masuk kedokteran 'kan’ perlu biaya besar. Jadi saya betul-betul mengalami dilema," katanya.
Perjuangan untuk menggapai cita-cita menjadi dokter itu penuh jalan berliku. Lulus Sekolah Rakyat (kini Sekolah Dasar) Bendoagung 1 tahun 1965, ia melanjutkan studi ke SMP 1 Tulungagung (lulus 1968) dan SMA Trenggalek (lulus 1971).
Anak kedua dari sembilan bersaudara itu mengaku dilematis selepas menamatkan SMA, meski ia telah bekerja keras untuk bisa masuk jurusan paspal (ilmu pasti dan pengetahuan alam) atau di masa kini adalah jurusan IPA, karena syarat untuk bisa masuk FK harus dari jurusan paspal.
Terlebih, semasa di SMA hanya empat orang dari 30 siswa dalam satu kelas yang bisa masuk paspal. Dilema itu kian memuncak tatkala berpikir pada tahap berikutnya, yakni bagaimana bisa lolos masuk FK, dan setelah lolos pun, bagaimana biayanya. Ia mengaku tidak percaya diri atas kondisi tersebut.
Lagi-lagi berkat dorongan sang ayahlah yang akhirnya membuatnya berani mendaftar. Tapi ternyata mendaftar di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) Surabaya tidak diterima. Subagyo malah diterima di Fakultas Kedokteran Malang. Saat itu namanya Sekolah Tinggi Kedokteran Malang (STKM).
STKM yang didirikan pada 14 September 1963 adalah cikal bakal dari Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya (FK UB). STKM berubah menjadi FK UB pada 1 Januari 1976.
Singkat cerita, karena gemblengan sang ayah, Subagyo menjadi tahan banting, dan kerja keraslah tebusannya, sampai akhirnya lulus menjadi dokter pada 1983. Setahun kemudian ia menikah dengan wanita tercinta yang juga seorang dokter, yakni dr. Saraswati, M.Psi.FIAS.
Subagyo menyebutkan bahwa belahan hatinya itu juga tidak kalah tegarnya dalam mendorongnya untuk terus bergerak ke depan hingga akhirnya melanjutkan studi spesialisasi.
Pria kelahiran Trenggalek itu lulus Spesialis Bedah Umum di Unair tahun 1993 dan Lulus Bedah Toraks Kardiak dan Vaskular (Bedah Jantung Paru Vaskular) pada 1998. Kemudian ia mendapat "fellow" di Austin Hospital Melbourne Australia untuk Bedah Jantung (1999-2000).
Selepas itu ia menjadi Staf Bedah di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Saiful Anwar di Malang (1994-2005) hingga menjabat Ketua Staf Medis Fungsional (SMF)/Kepala Departemen Bedah RSUD Saiful Anwar (2005-2008).
Membantu orang kecil
Berangkat dari pengalaman masa kecil yang sering dihadapkan dengan kesulitan orang-orang yang berkekurangan, dr.Subagyo, Sp.B, Sp.BTKV dalam perjalanan hidupnya tidak bisa lepas dari keinginan memperjuangkan kehidupan orang kecil, khususnya dari sisi kesehatan.
Oleh karena itu, bukan saja kemudian aktif di organisasi masyarakat (Ormas) yang bergerak membantu dan memperjuangan orang kecil, ia pada saat yang bersamaan mempelajari misteri kehidupan yang disebutnya "Hanya dari Allah SWT jawabannya".
"Berangkat dari sini, bagaimanapun, sebagai abdi Allah SWT, kami siap berbuat kasih dan sayang melalui 'Bismillahirrahmanirrahim' yang bukan saja dalam teori, tetapi yang justru dapat diterima apa hasil dari laku serta perbuatan untuk orang lain serta untuk umat dan Ibu Pertiwi," katanya.
Subagyo yang memberikan penjelasan di sela-sela operasi pasien juga bercerita adanya momentum yang membekas dalam hati dan terus dikenangnya karena membuat sebuah perubahan besar dalam perjalanan hidupnya.
"Saya pernah berada pada posisi keadaan 'mati yang bernafas'," sebutnya, terkait penyakit "lymphoma maligna non-hodgkin's disease" (kanker kelenjar getah bening) yang pernah diidapnya.
Ia bertutur, dimulai setelah gagal dalam pencalonan Wali Kota Batu tahun 2003, dirinya bertekad untuk hidup teratur, bersih-bersih diri, menghindar dari segala pergerakan, dan kemudian naik haji tahun 2005.
Setelah merasa relatif hidup bersih dan diangkat menjadi Kepala Bedah RSUD dr Saiful Anwar, ia menyebut "Turunlah anugerah berupa penyakit "lympoma maligna" tersebut yang kecil kemungkinannya untuk sembuh.
Kemudian, Subagyo menerima metode pengobatan dengan konsep "Rumah Sehat" dari Dr. Gretha Zahar di Otista Jakarta. Pengobatan dengan "terapi balur" itu prinsipnya adalah seperti luluran ataupun spa.
Hanya saja penyembuhan penyakit dengan terapi seperti itu dianggap kontroversial karena dilakukan melalui balur dan disempurnakan dengan penggunaan asap rokok “divine kretek”.
Divine kretek adalah salah satu produk yang menggunakan prinsip nanobiologi serta merupakan hasil konversi teknologi dari rokok yang mengandung radikal bebas menjadi rokok sehat yang berisi nanostruktur kompleks yang dapat menghantarkan elektron sampai ke level milivolt.
Terapi tradisional balur itu ditemukan oleh Dr. Gretha Zahar, seorang ahi kimia radiasi (radikal bebas dan biradikal) dari Unpad dan dikembangkan bersama Guru Besar FMIPA bidang Biologi Sel, Nano Biologi, dan Teknik Observasi Mikroskopis Universitas Brawijaya Prof. Sutiman Bambang Sumitro, SU, D.Sc.
Terapi itu dilakukan untuk menangani penyakit kanker yang dikembangkan menggunakan metode balur berbasis nanosains. Pembaluran yang merupakan nanotherapy itu disempurnakan dengan penggunaan asap rokok divine kretek yang merupakan asli temuan mereka.
Dalam kesaksiannya terkait terapi itu Subagyo menyatakan, sejak menjalani terapi balur nano divine kretek, hingga kini kondisinya sehat dan tidak mengalami masalah saat melaksanakan tugas dan tanggung jawab sehari-hari sebagai dokter.
Karena itu, sebagai ungkapan terima kasih, ia membangun Rumah Sehat di Malang yang sampai sekarang dikelola sang istri dr. Saraswati bersama akademisi di Malang pimpinan Prof. Sutiman Bambang Sumitro dalam bentuk Lembaga Penelitian Peluruhan Radikal Bebas (LPPRB).
Dengan pertolongan Tuhan Yang Maha Esa, terapi balur bisa sangat membantu orang-orang kecil atau orang-orang kurang mampu yang terkena penyakit kronis, terutama kanker stadium lanjut dan yang enggan melakukan kemoterapi.
Satu hal yang paling membuatnya bangga adalah saat bersama Dr. Gretha Zahar dan Prof. Sutiman Bambang Sumitro mengenalkan terapi balur pada suatu kongres di Selandia Baru. Kala itu para peserta kongres dari berbagai negara takjub dengan paparan dan demo mereka.
Hingga kini, selain dari berbagai daerah di dalam negeri, para pasien yang dilayani di Rumah Sehat di Malang juga berasal dari manca negara seperti dari Timur Tengah, Australia, Singapura, Malaysia, Norwegia, Amerika Serikat, dan Jerman.