Mataram (ANTARA) - Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, menyebutkan kasus pernikahan usia anak di Mataram masih terjadi dan sampai Kamis (26/11) tercatat ada sembilan kasus pernikahan usia anak.
"Kalau melihat jumlah kasus pernihakan usia anak yang sekarang, menurun dibandingkan tahun 2019 sebanyak 10 kasus. Tapi tahun 2020, masih satu bulan lagi," kata Kepala DP3A Kota Mataram Hj Dewi Mardiana Ariany di Mataram, Kamis.
Menurutnya, dari sembilan kasus tersebut usia rata-rata anak perempuan yang menikah dini itu adalah bervariasi di bawah 17 tahun, intinya masih usia sekolah yakni bahkan ada juga masih sekolah tingkat SMP, tapi putus sekolah.
"Kasus pernikahan dini di tengah kota memang sangat memprihatinkan tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi kalau ada nikah karena kasus. Dari 9 kasus yang ada, 6 pernikahan usia anak kita rekomendasikan dan 3 karena kasus," kata Dewi yang enggan menyebut kasus yang dimaksud.
Dewi mengatakan, untuk antisipasi terjadinya pernikahan usia anak, pihaknya aktif melakukan sosialisasi tentang kesehatan reproduksi dalam setiap kesempatan baik di kalangan remaja maupun orang tua agar bisa mengedukasi anak-anaknya.
Bahkan saat ini, pihaknya sedang menyiapkan regulasi berupa Peraturan Wali (Perwal) tentang Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP), yang akan menjadi turunan dari Perda NTB tentang PUP.
PUP, katanya, merupakan upaya untuk meningkatkan usia pada perkawinan pertama, sehingga mencapai usia minimal pada saat perkawinan yaitu 20 tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria.
PUP bukan sekedar menunda sampai usia tertentu saja tetapi mengusahakan agar kehamilan pertamapun terjadi pada usia yang cukup dewasa. Selain itu harus diusahakan apabila seseorang gagal mendewasakan usia perkawinannya, maka penundaan kelahiran anak pertama harus dilakukan.
"Untuk itulah, kami juga mendorong agar kelurahan membentuk awig-awig terkait dengan pernikahan anak usia dini. Dari 50 kelurahan, baru 7 kelurahan yang memiliki awig-awig tersebut dan itu cukup efektif," katanya.
"Kalau melihat jumlah kasus pernihakan usia anak yang sekarang, menurun dibandingkan tahun 2019 sebanyak 10 kasus. Tapi tahun 2020, masih satu bulan lagi," kata Kepala DP3A Kota Mataram Hj Dewi Mardiana Ariany di Mataram, Kamis.
Menurutnya, dari sembilan kasus tersebut usia rata-rata anak perempuan yang menikah dini itu adalah bervariasi di bawah 17 tahun, intinya masih usia sekolah yakni bahkan ada juga masih sekolah tingkat SMP, tapi putus sekolah.
"Kasus pernikahan dini di tengah kota memang sangat memprihatinkan tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi kalau ada nikah karena kasus. Dari 9 kasus yang ada, 6 pernikahan usia anak kita rekomendasikan dan 3 karena kasus," kata Dewi yang enggan menyebut kasus yang dimaksud.
Dewi mengatakan, untuk antisipasi terjadinya pernikahan usia anak, pihaknya aktif melakukan sosialisasi tentang kesehatan reproduksi dalam setiap kesempatan baik di kalangan remaja maupun orang tua agar bisa mengedukasi anak-anaknya.
Bahkan saat ini, pihaknya sedang menyiapkan regulasi berupa Peraturan Wali (Perwal) tentang Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP), yang akan menjadi turunan dari Perda NTB tentang PUP.
PUP, katanya, merupakan upaya untuk meningkatkan usia pada perkawinan pertama, sehingga mencapai usia minimal pada saat perkawinan yaitu 20 tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria.
PUP bukan sekedar menunda sampai usia tertentu saja tetapi mengusahakan agar kehamilan pertamapun terjadi pada usia yang cukup dewasa. Selain itu harus diusahakan apabila seseorang gagal mendewasakan usia perkawinannya, maka penundaan kelahiran anak pertama harus dilakukan.
"Untuk itulah, kami juga mendorong agar kelurahan membentuk awig-awig terkait dengan pernikahan anak usia dini. Dari 50 kelurahan, baru 7 kelurahan yang memiliki awig-awig tersebut dan itu cukup efektif," katanya.