Mataram,  (ANTARA) - Perusahaan tambang tembaga dan emas PT Newmont Nusa Tenggara beroperasi penuh mulai Maret 2000, setelah konstruksi proyek Batu Hijau yang dimulai tahun 1996 dengan dana awal sebesar 1,8 miliar dolar AS, dirampungkan.

     Kontrak Karya (KK) perusahaan tambang itu ditandatangani 2 Desember 1986 dan operasional tambang itu akan berakhir pada 2020.

     PTNNT mengklaim baru menemukan cebakan tembaga porfiri pada 1990, yang kemudian diberi nama Batu Hijau.

     Setelah penemuan tersebut, dilakukanlah pengkajian teknis dan lingkungan selama enam tahun. Kajian tersebut disetujui Pemerintah Indonesia pada 1996 dan menjadi dasar dimulainya pembangunan Proyek Tambang Batu Hijau itu.

     Awalnya perusahaan tambang patungan itu, 80 persen sahamnya dimiliki Nusa Tenggara Partnership, terdiri atas 45 persen saham milik Newmont Indonesia Limited (NIL) dan 35 persen milik Nusa Tenggara Mining Corporation (NTMC) dan 20 persen milik PT Pukuafu Indah.

     Sampai 15 Maret 2010, kepemilikan saham perusahaan tambang itu mengalami perubahan yang cukup signifikan, karena pemerintah daerah di NTB beserta mitra investornya telah menguasai 24 persen saham.

     PT Pukuafu Indah juga telah menjual sebanyak 2,2 persen sahamnya kepada PT Indonesia Masbaga Investama (IMI) sehingga kini PT Pukuafu Indah hanya menguasai 17,8 persen.

     Sementara dari 56 persen saham PT NNT yang dikuasai Nusa Tenggara Partnership, sebanyak 31,5 persen saham merupakan milik Newmont Indonesia Limited (NIL) dan 24,5 persen milik Nusa Tenggara Mining Corporation (NTMC) Sumitomo.

     Sesuai kontrak karya, PTNNT berkewajiban mendivestasikan 51 persen sahamnya kepada pihak nasional yakni pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun perusahaan nasional yang seharusnya sampai posisi April 2010.

     Saham yang harus didivestasikan itu terdiri atas tiga persen jatah divestasi 2006, tujuh persen saham divestasi 2007, dan masing-masing tujuh persen saham divestasi jatah 2008 dan 2009 serta 2010.

     Namun, hingga awal 2008 bahkan sempat diperpanjang hingga 3 Maret 2008, pihak PTNNT belum juga merealisasikan kewajiban melepas saham divestasi 2006 dan 2007,  kendati telah diberikan peringatan dan dikeluarkan default (lalai).

     Pemerintah Indonesia kemudian mengambil langkah arbitrase karena Newmont tidak melaksanakan kewajiban divestasi yakni tiga persen saham tahun 2006 dan tujuh persen saham divestasi tahun 2007 itu.

     Perundingan arbitrase itu dilakukan lima orang para pihak yakni arbiter Pemerintah Indonesia, arbiter Newmont, arbiter independen dan dua orang Jaksa Pengacara Negara (JPN) dari kedua belah pihak.

     Pemerintah Indonesia menunjuk arbiternya yakni pakar hukum dari National University of Singapore, Prof M Sornarajah, sementara Newmont menunjuk Steven Sublle dari New York dan hakim atas persetujuan bersama (independent) yakni Robert Primer dari Swiss.

     Di sela-sela proses perundingan arbitrase PTNNT menawarkan divestasi saham tahun 2008 sebesar tujuh persen yang bernilai 426 juta dolar AS.

     Newmont pun diperbolehkan melakukan aktivitas penambangan seperti biasa dan tetap melaksanakan kewajibannya, namun dalam pengawasan Pemerintah Indonesia, sambil menunggu hasil arbitrase.

     Perundingan arbitrase internasional antara Pemerintah Indonesia dan PTNNT itu berakhir pada 31 Maret 2009, dan memenangkan sebagian gugatan Pemerintah Indonesia atas PTNNT terkait sengketa divestasi saham perusahaan tambang tersebut.

     Sesuai putusan atbitrase, PTNNT diharuskan mendivestasi 17 persen sahamnya kepada pihak nasional Indonesia dalam waktu 180 hari sejak putusan arbitrase dikeluarkan, jika tidak maka pemerintah bisa mencabut kontrak karyanya.

     Dari 17 persen saham yang harus segera didivestasi itu, 10 persen di antaranya merupakan hak pemerintah daerah yakni tiga persen hak Pemerintah KSB dan tujuh persen lainnya hak Pemerintah Provinsi NTB dan Kabupaten Sumbawa.

     Saham divestasi yang menjadi hak pemerintah daerah itu terdiri dari tiga persen saham pada 2006 senilai 109 juta dolar AS atau 36,3 juta dolar AS per satu persen saham dan tujuh persen saham pada 2007 senilai 282 juta dolar AS atau 40,3 juta dolar AS per satu persen saham, sehingga totalnya mencapai 391 juta dolar AS. 

     Sementara tujuh persen saham lainnya jatah divestasi 2008 merupakan hak pemerintah pusat atau nasional Indonesia.

     Untuk tujuh persen saham tahun 2008 yang menjadi hak nasional Indonesia itu, PTNNT sempat menawarkan harga 426 juta dolar AS dengan nilai aset 6,09 miliar dolar AS.

     Di kala itu, PTNNT juga menawarkan harga tujuh persen saham divestasi tahun 2009 senilai 348 juta dolar AS dengan aset 4,97 miliar dolar AS. 

Proses divestasi    

     Pascaputusan arbitrase itu, pemerintah kemudian melakukan serangkaian proses pembelian sebagian saham Newmont itu.

     Untuk membeli 10 persen saham yang menjadi hak pemerintah daerah itu, Pemerintah Provins i NTB beserta Pemerintah Kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat membentuk perusahaan konsorsium yang diberi nama PT Daerah Maju Bersaing (DMB).

     Manajemen PT DMB kemudian menggelar "beauty contest" yang melibatkan lima perusahaan nasional dan daerah, hingga PT Multicapital (anak usaha PT Bumi Resources Tbk) yang dinyatakan berhak digandeng untuk mengakuisisi sebagian saham Newmont itu.

     PT DMB dan PT Multicapital kemudian membentuk perusahaan patungan yang diberi nama PT Multi Daerah Bersaing (MDB).

     Pada 6 Nopember 2009, PT MDB membayar 10 persen saham jatah divestasi tahun 2006 dan 2007 sebesar 391 juta dolar AS atau setara dengan Rp4,1 triliun lebih.

     Untuk mengakuisi 14 persen saham jatah divestasi 2008 dan 2009, yang menjadi hak nasional Indonesia itu, pemerintah daerah juga dilibatkan dalam rangkaian proses divestasi itu, hingga pemerintah memutuskan pemda di NTB sebagai "lead" pembelian sebagian saham tersebut.

     Pemerintah RI dan PT NNT kemudian menyepakati harga 14 persen saham divestasi tahun 2008 dan 2009 mengacu pada harga aset 3,52 miliar dolar AS atau lebih rendah dibandingkan 2006 yakni 3,63 miliar dolar AS dan 2007 sebesar 4,03 miliar dolar AS.

     Nilai tujuh persen saham PT NNT tahun 2008 dan tujuh persennya lagi untuk tahun 2009 ditetapkan manajemen PT NNT sebesar 493,6 juta dolar AS atau setara dengan sekitar lima triliun rupiah lebih.

     Namun, pembayaran tujuh persen saham divestasi 2008 lebih dulu direalisasi yakni sebesar 246,8 juta dolar AS atau sekitar Rp2,5 triliun, pada 11 Desember 2009. 

     Sementara pembayaran tujuh persen saham divestasi untuk jatah 2009 yang nilainya mencapai 229,43 juta dolar AS atau sekitar Rp2 triliun, 15 Maret 2010.

     Dengan demikian, sampai Maret 2010, Pemprov NTB, Pemkab Sumbawa dan Sumbawa Barat, beserta mitra investornya sudah menguasai 24 persen saham PTNNT senilai 867,23 juta dolar AS atau setara dengan sekitar Rp8,6 triliun.

     Sejak saat itu, ketiga pemerintahan daerah di NTB itu tetap berkeyakinan akan mampu menguasai tujuh persen saham divestasi 2010, meskipun kewenangan penentuan pembeli saham itu berada di tingkat pusat.

     Berbagai upaya ditempuh agar berhak membeli saham divestasi 2010 itu yang pada pertengahan Desember lalu disepakati harganya sebesar 271,6 juta dolar AS.

     Gubernur NTB TGH. M. Zainul Majdi, nekad menyurati Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh, sekaligus Menteri Keuangan Agus D.W. Martowardojo, guna menginformasikan bahwa NTB mau membeli saham divestasi terakhir itu.

     "Kami surati Menteri ESDM dan Menteri Keuangan untuk memberi tahu bahwa NTB dan mitra investornya berminat membeli saham itu," kata Majdi, ketika menjelaskan minat pembelian saham Newmont jatah divestasi 2010.

     Setelah sekian bulan menunggu, Menteri ESDM dan Menteri Keuangan belum juga memberi tahu NTB soal tujuh persen saham divestasi 200 itu, malah mencuat kabar melalui media massa yang menyatakan pemerintah pusat akan membeli saham tersebut.

     Gubernur kemudian meminta Komisaris PT DMB untuk mengecek kebenaran informasi tersebut, dan diperoleh kejelasan bahwa pemerintah sudah menyatakan akan membeli tujuh persen saham PTNNT itu, meski belum mengumumkan sumber dananya.

     Heryadi selaku mantan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi NTB yang juga merupakan salah seorang tim penilai harga dalam negosiasi harga saham jatah divestasi 2010 itu, mengatakan, pada Kamis (16/12) siang, Menteri Keuangan bersurat ke Menteri ESDM yang menyatakan pemerintah mau membeli saham itu.

     "Sorenya Dirjen Minerbapum menginformasikan hal itu ke Newmont yang ditindaklanjuti dengan surat resmi ke Newmont. Namun, masih belum jelas sumber dananya, dan pemerintah itu bisa berarti pusat atau daerah," ujarnya.

     Namun, minat Pemerintah Provinsi NTB untuk membeli saham tersebut belum juga surut, dan masih tetap berharap diberi kesempatan untuk membeli tujuh persen saham jatah divestasi 2010 itu agar total saham yang dikuasai NTB beserta investor mitranya mencapai 31 persen.

     Apalagi, Menteri Menteri Koordinator Perekonomian M. Hatta Rajasa, mengatakan, pemerintah masih harus membahas mekanisme pembelian tujuh persen saham PTNNT, setelah memutuskan pemerintah yang akan membeli saham tersebut.

     "Akan dibahas, memang ada pemikiran pemerintah itu bisa pusat atau daerah. Nanti dibahas, akan ada pembicaraan bagaimana yang terbaik," ujar Hatta yang juga Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Amanat Nasional (PAN), usai membuka Musyawarah Wilayah (Muswil) Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PAN NTB, di Mataram, Sabtu (18/12).

     Harapan NTB itu tampaknya bertepuk sebelah tangan, karena keesokan harinya Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Mustafa Abubakar menegaskan bahwa tujuh persen saham divestasi PTNNT itu akan diambil Pemerintah Pusat, kemudian akan menyerahkan saham divestasi itu kepada BUMN yang memiliki likuiditas yang kuat.

     "Oleh pemerintah, sedang diatur Kementerian Keuangan, yang tujuh persen itu. Jadi kita tidak mempersoalkan, apakah di Kementerian BUMN atau Kementerian Keuangan, yang penting tujuh persen itu diharapkan didapat oleh pemerintah pusat," ujarnya.

     Mustafa juga menyatakan bahwa BUMN nontambang punya kesempatan untuk membeli saham divestasi 2010 itu, meski pemerintah lebih memilih perusahaan negara yang finansialnya memadai.

     Boleh jadi, BUMN yang dimaksud Mustafa yakni BUMN pertambangan PT Aneka Tambang Tbk (Antam).

     Kendati demikian, pemda NTB tetap bersikeras mendapatkan saham 2010 itu melalui upaya lobi-lobi dengan para pihak di tingkat pusat karena pembelian saham divestasi itu belum final.

     Direktur Utama PT DMB Andy Hadiyanto, mengatakan, Pemerintah Provinsi NTB masih menagih hak pembelian tujuh persen saham itu.

     "Pemerintah sudah menyatakan akan membeli tujuh persen saham itu, yang berarti pemerintah daerah juga berhak membeli, itu yang kami tagih dan sedang menunggu keputusan pusat," ujarnya.

     Andi juga mengungkapkan bahwa pihaknya belum mendapat pemberitahuan resmi tentang lembaga yang akan membeli tujuh persen saham jatah divestasi 2010 itu, meski telah mengetahui dari pemberitaan media massa bahwa Pemerintah Indonesia yang akan membeli saham tersebut.

     "Karena beranggapan masih ada ruang bagi daerah untuk mendapatkan saham itu, Pak Gubernur kemudian menyurati menteri terkait untuk mendapatkan hak pembelian. Itu yang kami tunggu," ujarnya.

   

Pertanyakan 

    Berbagai kalangan di NTB mempertanyakan alasan yang mendasari pemerintah pusat ingin membeli tujuh persen saham divestasi terakhir itu, padahal sebelumnya telah memberi ruang kepada pemerintah daerah beserta investor mitranya untuk mengusai 24 persen saham PTNNT.  

    Tentu saja, Gubernur NTB dan dua bupati masing-masing Bupati Sumbawa Barat KH Zulkifli Muhadly dan Bupati Sumbawa Drs. H. Jamaluddin Malik, beserta jajarannya harus berpikir keras untuk menemukan jawabannya.

     Sejumlah kalangan justru beranggapan, keputusan pemerintah pusat mengambil hak pembelian saham divestasi PTNNT hanya tujuh persen itu, sebagai jalan tengah karena proses pembelian saham divestasi terakhir itu sarat masalah bagi pemerintah daerah.

     Beberapa waktu lalu, manajemen PT DMB sempat dilanda kebimbangan dalam menetapkan investor mitra pembelian tujuh persen saham divestasi 2010 itu.

     Menurut Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi NTB Eko Bambang Sutedjo, Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat belum menyetujui investor mitra PT Multicapital yang membeli saham itu, seperti 24 persen saham divestasi sebelumnya.

     Pemkab Sumbawa Barat masih mempersoalkan sejumlah permasalahan seperti deviden dan berbagai kewajiban yang harusnya direalisasikan PT Multicapital namun belum juga terealisasi, sehingga belum menyetujui investor mitra itu melanjutkan pembelian saham jatah divestasi 2010 itu.

     Selain itu,  PT Pukuafu Indah (PI) gencar "merayu" Pemkab Sumbawa Barat agar digandeng untuk membeli tujuh persen saham itu, dengan iming-iming lima persen diantaranya akan diserahkan ke perusahaan bersama tiga pemerintah  daerah itu.

     "Rupanya PT Pukuafu juga ingin membeli saham Newmont jatah divestasi 2010 sehingga memengaruhi Pemkab Sumbawa Barat melalui jalur legislatif," ujarnya.

     Bahkan, dalam beberapa pekan terakhir ini, kelompok masyarakat tertentu di Kabupaten Sumbawa Barat terus saja menggelar aksi untuk menguggah pemerintah pusat dan provinsi agar dapat menyetujui sikap Bupati Sumbawa Barat dan jajarannya itu.

     Sikap berubah haluan yang ditunjukkan Pemkab Sumbawa itu membuat Gubernur NTB berang dan menuding manajemen PT Pukuafu sebagai bidang keroknya.

     "Tolong ditulis ya, semenjak Pukuafu menguasai sebagian saham Newmont, sampai sekarang belum ada satu anak NTB pun yang diberi makan," ujar Gubernur Majdi.

     Karena itu, Eko berharap solusi atas pertentangan pandangan dalam menentukan investor mitra pembelian tujuh persen saham Newmont itu, akan dicapai dalam RUPS PT MDB selaku perusahaan patungan tiga pemerintah daerah NTB (PT DMB) dengan PT Multicapital.

     Diagendakan dalam RUPS PT MDB itu, penjelasan atas berbagai kewajiban yang harusnya telah dipenuhi PT Multicapital namun masih tertunda karena berbagai penyebab.

     RUPS PT MDB itu sedianya akan digelar setelah RUPS PT DMB yang sudah terlaksana pada 11 Nopember 2010, namun hingga kini belum juga terlaksana.

     "Kalau saja RUPS PT MDB sudah terlaksana, mungkin persoalannya menjadi lain. Pemerintah pusat pun dapat memberi hak pembelian tujuh persen saham divestasi 2010 itu kepada daerah," ujarnya. (*)

 

 


Pewarta :
Editor :
Copyright © ANTARA 2025