Mataram, 28/12 (ANTARA) - Staf khusus Menteri Kehutanan bidang Pemberdayaan Masyarakat Prof San Afri Awang mengemukakan "Sangkep Beleq" (pertemuan akbar) pemangku kepentingan dinilai tepat untuk menyelesaikan konflik kawasan hutan Desa Sesaot, Kecamatan
Narmada, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.

        "Kegiatan 'Sangkep Beleq' ini jangan dianggap enteng, ini adalah
konsultasi sosial, budaya, politik dan lingkungan, antara rakyat dan
pemimpinnya untuk menyelesaikan perbedaan," katanya kepada ANTARA di Mataram, Selasa, di sela lokakarya bertema "Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat dan Pengelolaan Jasa Lingkungan Lestari serta Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Pembangunan Berkelanjutan".

        Lokakarya itu digagas Pemkab Lombok Barat dengan Konsorsium untuk
Studi dan Pengembangan Partisipasi (Konsepsi) NTB serta Kementerian kehutanan.

        Kegiatan yang juga didukung "Ford Foundation", ACCES Phase II, Lembaga Ekolabel Indonesia, ICRAF, FKKM, ICEL, FFI, Dewan Kehutanan Nasional, "World Neighbors" dan Lapera itu merupakan  kegiatan pembuka sebelum pelaksanaan puncak "Sangkep Beleq" III/2010 YANG dipusatkan di Dusun Kumbi, Desa Lebah Sempaga, Kecamatan Narmada, Rabu (29/12).

        Konflik yang hingga kini terjadi di kawasan hutan Sesaot terkait  adanya keinginan masyarakat setempat, didukung Bupati Lombok Barat H Zaini Arony, yang menginginkan skema hutan kemasyarakatan (HKM) segera ditetapkan.

        Namun Gubernur dan Dinas Kehutanan Provinsi NTB mengusulkan skema taman hutan raya (Tahura).

        Menurut San Afri Awang, resolusi konflik yang ditawarkan untuk
mengatasi persoalan antara aspirasi HKM dan keinginan Tahura itu
adalah mediasi kepentingan Dishut versus kepentingan masyararakat.

        "Masalah ini perlu diselesaikan dengan kumpul bersama untuk membicarakan masalah yang ada, dan momentum 'Sangkep
Beleq' itu dapat dijadikan ajang menyuarakan persoalan yang
terjadi," katanya.

         Momentum ini mesti dipakai dengan benar untuk konsultasi antara
seorang gubernur dan rakyatnya, atau bupati dan rakyat, dan ini
bisa dijadikan solusi.

        "Ini luar biasa dan bisa didanai APBD karena di sinilah tempat konsultasi," kata Guru Besar Ilmu Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu.

        Ia menjelaskan, di Yogyakarta ada mekanisme yang dikenal dengan
"Pisowanan Agung", di mana Raja Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono
bertemu langsung dengan rakyatnya, yakni rakyat dapat bertanya kepada
raja, dan raja menjawab pertanyaan rakyat.

        "Sekarang kita di NTB ini punya 'Sangkep Beleq', dan tidak semua
daerah punya. Di sini bisa datang 1.500 orang, ini luar biasa, jadi
momentumnya mesti dipakai dengan maksimal," katanya.

         Ia mengatakan, kalau ada yang mengatakan ada unsur politiknya, memang ada, memang harus dikemas begitu. "Kita punya masalah, maka harus kita ajukan kepada pejabat  berwenang. Itulah kewajiban
pemimpin, mereka harus datang, karena kita yang dari pusat
saja datang untuk menyaksikan proses tersebut," katanya.

         Ketua Forum Kawasan Hutan Sesaot Ahmad Mulyadi menjelaskan, masyarakat sekitar hutan memiliki keterikatan yang  erat dengan hutan di wilayahnya.

        Demikian juga keterikatan masyarakat yang ada di wilayah Sesaot, di mana saat ini hutan Sesaot dikelola oleh petani yang tergabung dalam empat kelompok HKm, yaitu KMPH, Wana Lestari, Wana Darma, dan Wana Abadi.

         Di antara empat kelompok tersebut, KMPH telah mendapatkan izin HKm dari bupati untuk mengelola areal seluas 185 hektare (ha).

         Terkait lokakarya tersebut, Direktur Konsepsi Rahmat Sabani
mengatakan, kegiatan itu akan merumuskan juga masukan dari
Pemkab Lombok Barat kepada Kementerian Kehutanan terkait diakuinya pola pengelolaan HKm, karena pemerintah daerah telah menyatakan
dukungannya terhadap pola tersebut.

        "Saya harapkan rumusan konkret bisa dihasilkan melalui bertemunya para pihak terkait. Masukan ini yang akan disampaikan oleh bupati kepada Kementerian Kehutanan agar pengelolaan dengan skema Tahura bisa ditinjau kembali dan pengelolaan dengan skema HKm sesuai keinginan masyarakat bisa diwujudkan" katanya.

          Ia menjelaskan, "Sangkep Beleq" pada 29 Desember 2010  di Dusun Kumbi, Lebah Sempage, akan dihadiri pejabat dari dari Kementerian Kehutanan, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, Kementerian Koperasi dan UKM, dan Gubernur NTB.

        Selain itu juga akan hadir Bupati Lombok Barat,  Lombok Timur, Lombok Utara, Dinas Kehutanan tingkat provinsi dan  kabupaten, Dinas Koperasi dan UKM tingkat provinsi dan kabupaten serta pemerintahan kecamatan, aparat kepolisian, pemerintahan desa, lembaga swadaya masyarakat serta ketua blok dan anggota kelompok/penggarap HKm, hingga pihak swasta.

         Salah satu agenda dalam "Sangkep Beleq" adalah dialog multipihak,
antara masyarakat, pemerintah dan kalangan swasta. Melalui
dialog tersebut diharapkan ada kesepahaman para pihak untuk
memperluas akses dan kontrol masyarakat dalam pengelolaan sumber daya
alam dan jasa lingkungan berbasis masyarakat lestari.

         "Di samping itu, ada rencana strategis untuk pengembangan
ekonomi masyarakat yang berdomisili di sekitar kawasan hutan menuju
pengelolaan hutan lestari (PHL) dan kesejahteraan masyarakat," katanya. (*)

  

Pewarta :
Editor :
Copyright © ANTARA 2025