Oleh Edy M Ya'kub dan Sigit Pinardi

          Surabaya,  (ANTARA) - Tanpa bermaksud mendahului takdir, kandidat Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Gerakan Pemuda (GP) Ansor NU dalam Kongres XIV di Surabaya (13-17/1) agaknya berkutat di tangan para politisi.

         Bahkan, perebutan jabatan Ketua Umum GP Ansor NU diprediksi mengerucut pada empat politisi, yakni Nusron Wahid (anggota DPR RI/Golkar), Khatibul Umam Wiranu (anggota DPR RI/Demokrat), Marwan Jakfar (anggota DPR RI/PKB), dan Syaifullah Tamliha (anggota DPR RI/PPP).

         "Kalau maju sendiri-sendiri maka peluang Nusron Wahid memenangkan pertarungan cukup besar," kata Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Survei Nusantara (Laksnu), Gugus Joko Waskito, di Surabaya (15/1).

         Menurut Gugus, pertarungan akan cukup seru jika terjadi "koalisi hijau" atau "koalisi biru" untuk menghadapi Nusron yang merupakan politisi Partai Golkar itu.

         "Koalisi hijau" mengacu pada kandidat yang didukung PKB, yakni Marwan Jakfar atau Syaifullah Tamliha yang didukung PPP, sedangkan "koalisi biru" merujuk pada Khatibul Umam Wiranu yang berasal dari Partai Demokrat.

         Nusron Wahid diakui oleh sejumlah tim sukses kandidat lain sebagai calon yang memiliki peluang paling besar untuk lolos putaran pertama pemilihan ketua umum.

         Bahkan, mantan Ketua Umum PB PMII itu juga disebut-sebut sempat menawarkan posisi kedua di Ansor NU kepada Marwan Jakfar jika bersedia berkoalisi.

         Namun, Ketua FKB DPR RI yang didukung Ketua Umum DPP PKB H Muhaimin Iskandar itu enggan menerima tawaran Nusron. Dengan dukungan resmi dari PKB, Marwan justru optimistis mampu meraih kemenangan.

         "Perhitungan kita, kekuatan kita justru lebih besar dari Nusron dan calon yang lain," kata salah seorang anggota tim sukses Marwan, Sulthonul Huda.

         Sulthon yang turun langsung di lapangan mengklaim telah mengkonsolidasikan 315 dari 516 Pengurus Wilayah dan Cabang Ansor NU selaku pemilik suara.

         Tanda-tanda bakal terjadinya koalisi antarkandidat memang sudah mulai tampak dengan adanya komunikasi yang semakin intensif diantara beberapa calon, yakni Khatibul Umam Wiranu, Syaifullah Tamliha, Malik Haramain dan Chairul Sholeh Rasyid.

         Pendukung keempat kandidat itu telah sukses menghadang usulan yang diduga dari kubu Nusron, agar dalam tata tertib pemilihan diatur ketentuan bagi bakal calon yang berhasil meraih 50 persen suara tambah satu saat penjaringan calon langsung ditetapkan secara aklamasi sebagai ketua umum.

         Kans kandidat dari kalangan politisi itu diakui dua kandidat nonparpol, yakni Munawar Fuad dan Choirul Sholeh Rasyid.

         "Ini memang kongres antarparpol, tapi saya tidak akan mundur, kita cari celahnya," kata Munawar yang juga mantan Sekjen GP Ansor.

         Senada dengan itu, Chairul Sholeh juga menandaskan tidak akan mundur dari pencalonan.

         "Kandidat nonparpol justru bisa menjadi alternatif ketika persaingan antarkandidat parpol semakin mengeras," katanya.

    
Bukan "underbow" parpol
    Kendati peluang kandidat dari parpol tampak "di atas angin" dalam Kongres XIV Ansor NU di Surabaya, namun hal itu tidak serta merta akan mendorong Ansor NU menjadi "underbow" partai politik (parpol) tertentu.

         "Ansor NU tidak mungkin diarahkan untuk menjadi 'underbow' parpol tertentu, bahkan oleh ketua umumnya sekalipun," kata kandidat Ketua Umum PP GP Ansor NU, Syaifullah Tamliha.

         Selain Ansor NU itu merupakan organisasi di bawah NU, katanya, afiliasi politik individu kader Ansor NU juga tersebar ke sejumlah partai politik yang mustahil untuk diseragamkan.

         Pernyataan itu merujuk para kandidat seperti dirinya dari PPP, atau Nusron Wahid (Partai Golkar), Khatibul Umam Wiranu (Partai Demokrat), Marwan Jakfar dan Malik Haramain (PKB), sehingga minimal ada empat parpol.

         Bahkan, kandidat nonparpol dan profesional juga ada, seperti Choirul Sholeh Rasyid, Munawar Fuad, dan Yoyo Arifardhani (Ketua Ansor NU Kalimantan Selatan) yang juga komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha/KPPU).

         Menurut Syaifullah Tamliha, siapapun ketua umum yang nanti terpilih juga tidak mungkin melarang kader Ansor NU yang sudah terlanjur menjadi politisi untuk tidak melakukan kegiatan politik praktis.

         "Seorang Ketua Umum GP Ansor NU tidak boleh dan tidak mungkin memaksa kader Ansor NU yang sudah terlanjur menjadi politisi untuk tidak berpolitik praktis," katanya.

         Oleh karena itu, lanjut anggota Komisi IV DPR RI tersebut, dirinya lebih tertarik pada upaya pemberdayaan ekonomi kader Ansor NU dan langkah konkret lainnya sebagai "pekerjaan rumah" pimpinan Ansor NU mendatang.

         "Saya akan bekerja untuk itu bila terpilih. Karena saya jadi seperti sekarang terus terang, ya karena Ansor," kata Syaifullah Tamliha yang telah aktif di Ansor sejak 1991 dan baru bergabung di PPP mulai tahun 2002.

         Pandangan itu juga dibenarkan kandidat Ketua Umum PP GP Ansor NU dari kalangan nonparpol, yakni Yoyo Arifardhani yang juga Ketua PW Ansor NU Kalimantan Selatan (Kalsel).

         "Tidak semua kader Ansor bersikap pragmatis, politis, atau hanya mendahulukan kepentingan sesaat. Saya kira banyak teman pengurus yang masih peduli dengan masa depan Ansor," katanya.

         Menurut doktor hukum internasional itu, Ansor NU ke depan harus lebih mandiri secara ekonomi, mampu memberikan kesejahteraan kepada anggotanya, sehingga lebih bisa menegakkan martabat.

         "Saya orang daerah, jadi saya paham bagaimana kita di wilayah dan cabang harus mengajukan proposal ke sejumlah pihak ketika menggelar kegiatan organisasi. Ke depan, kita harus bisa membiayai sendiri kegiatan organisasi," katanya.

         Bahkan, PW Ansor Kalsel yang dipimpinnya telah merintis jalan agar bisa mandiri dan menjalin kemitraan dengan sejumlah perusahaan untuk pelatihan maupun kerja sama usaha. "Saya ingin membawa pola ini ke tingkat pusat," katanya.

         Walhasil, Ansor NU di tangan politisi atau bukan agaknya nasib Ansor pasca-kongres merupakan pertaruhan yang jauh lebih penting dibandingkan dengan kongres yang hanya beberapa hari. (*)

Pewarta :
Editor :
Copyright © ANTARA 2025